2 November 1917, nyaris hampir seratus tahun silam, sepucuk surat (Deklarasi Balfour) dari menteri luar negeri Inggris, Arthur James Balfour kepada seorang bankir sekaligus Zionis terkemuka, Lord Rothschild, menjadi awal dari mimpi buruk bagi Palestina, hadirnya para pendatang baru dengan membawa slogan “tanah tanpa bangsa bagi suatu bangsa tanpa tanah”. Sebuah slogan yang mengkhawatirkan bagi orang-orang di “tanah tanpa bangsa” itu.
Bagaimana tidak, nantinya tanah tersebut dengan begitu cepat akan berubah nama menjadi Israel. Sehingga wilayah tersebut akhirnya berlarut-larut menjadi satu wilayah yang paling bermasalah untuk klaim yang bersaing antara nasionalisme versus negara-bangsa-isme.
Mimpi buruk itu berlangsung lama sekali. Bahkan hingga Silk Road (jalur sutra), rute perdagangan kuno yang pernah menghubungkan timur dan barat telah berhasil dihidupkan kembali oleh Cina, Palestina masih saja belum merdeka.
Al-Fa’l (optimis)
Namun demikian, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam lebih menyukai al-Fa’l (sikap optimis) daripada lawannya, “Tidak ada Adwa’ dan tidak ada Thiyarah, tetapi Fa’l menyenangkan diriku”, para sahabat bertanya: apakah Fa’l itu? Beliau menjawab: “yaitu kalimah thayyibah (kata-kata yang baik)” (Muhammad at-Tamimi, 2008: 105-106).
Israel bukan sesuatu yang mampu melakukan apa saja. Banyak fakta menunjukkan bahwa penjajahan Israel terhadap Palestina bukan tidak mungkin untuk diakhiri. Ada banyak kabar gembira, selain dari berkibarnya bendera Palestina di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang sempat disalahpahami banyak pihak sebagai kemerdekaan Palestina.
Mitos superioritas Israel dan pihak-pihak yang mendukungnya, sebenarnya sudah lama tidak dapat dipercaya. Dua peristiwa yang sama-sama terjadi pada tahun 1973, menjadi alasan mendasar yang telah meruntuhkan mitos tersebut. Pertama, Perang Yom Kippur yang awalnya dimenangkan oleh negara-negara Arab, meskipun Israel akhirnya mampu membalikkan arus setelah menerima pengiriman senjata besar-besaran dari Amerika Serikat. Kedua, embargo pengiriman dari negara-negara pengekspor minyak (OPEC) yang sebagian besar adalah negara-negara Islam, kepada negara-negara yang mendukung Israel.
Langkah kedua itu ternyata cukup mengejutkan. Seorang yang tinggal di Oregon pada waktu itu berkata, “Saya teringat, bangun jauh sebelum fajar, setiap hari pada musim dingin itu untuk mengamankan tempat mengantre di sebuah stasiun pompa bensin lokal demi kesempatan mendapatkan komoditas langka itu. Kadang-kadang, bensin telah habis pada saat saya sampai di sana. Saya pikir saya sudah melihat akhir dari peradaban” (Tamim Ansary, 2015: 540).
Pun, Amerika Serikat sebagai sahabat terdekat, tidak selalu berada di sisi Israel. Akhir tahun lalu, Paman Sam lebih memilih abstain terhadap Resolusi 2334 (2016) Dewan Keamanan PBB yang menyerukan pembangunan pemukiman Israel di wilayah pendudukan Palestina untuk dihentikan. Tahun ini, Israel juga tidak mampu berbuat banyak untuk menolak Palestina menjadi bagian dari Interpol (organisasi kepolisian internasional).
Berita-berita gembira tersebut, di samping berita-berita gembira lainnya yang terus berdatangan, kiranya sudah cukup memberikan alasan agar kaum Muslim tidak perlu inferior terhadap Israel. Sejarah Palestina belum berakhir, justru semakin tampak menarik.
Terencana dan Terus-Menerus
Akan tetapi, optimis saja belum cukup, perlu seperti apa yang Ustad Ahmad Hendrix katakan dalam Al-Maqaalaat (Kumpulan Makalah-Makalah) 3, “Jika seseorang bersabar niscaya dia akan menang… jika dia bersabar dan terus bersabar disertai dengan menempuh jalan yang bisa menyampaikan kepada maksud; akan tetapi tanpa mengejutkan dan tanpa provokasi, justru dengan cara yang tersusun rapi.”
Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTT-LB) Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada tahun 2016 di Indonesia yang menghasilkan “Deklarasi Jakarta” sedikit banyak telah memberikan gambaran tentang apa yang harus dan mampu dilakukan. Dua puluh tiga poin rekomendasi yang dihasilkan cukup memungkinkan untuk diwujudkan.
“Memperkuat dukungan media untuk Palestina untuk memobilisasi dan membangun kesadaran opini publik internasional terhadap Palestina” misalnya. Bukan sesuatu yang begitu sulit, tulisan ini adalah sebuah upaya dari sisi ini. Namun demikian, penting disampaikan bahwa membangun kesadaran opini publik terhadap Palestina bukan dengan menyebarkan berita palsu (fake-news) dan juga berita bohong (hoax).
Selain itu, salah satu rekomendasi paling penting dari “Deklarasi Jakarta” itu telah menjadi nyata. Baru-baru ini, Fatah dan Hamas akhirnya sepakat untuk mengakhiri perpecahan, rekonsiliasi nasional Palestina di bawah kepemimpinan Presiden Mahmoud Abbas.
Namun sayangnya, kerap kali dukungan terhadap Palestina merdeka begitu menggelegak, terdengar keras, tetapi kemudian menjadi sayup-sayup, lalu menghilang begitu saja. Padahal dukungan terhadap Palestina merdeka harus diupayakan secara terus-menerus. Bukan hanya ketika terjadi sesuatu yang menyebabkan eskalasi konflik antara Israel dan Palestina meningkat seperti beberapa waktu yang lalu. Doa-doa tiada henti-hentinya harus dipanjatkan, di dunia yang nyata.
Pertanyaannya, sampai kapan semua itu, al-Fa’l, doa dan menempuh jalan yang bisa menyampaikan kepada maksud dilakukan? Jawabannya tentu saja sampai maksud tersebut tercapai, yakni sampai kemerdekaan Palestina terjadi.
Oleh: Teuku Zulman Sangga Buana