Mungkin tak ada topik yang begitu serius dikhotbahkan di ruang publik kita beberapa tahun belakangan, melebihi topik moderasi beragama berikut soal toleransi dan deradikalisasi sebagai turunannya. Topik-topik itu intens menyapa kita, dari platform politik maupun intelektual.
Topik itu, tentu saja lebih banyak menyentuh umat Islam, sebagai entitas agama terbesar. Artinya, berbicara moderasi beragama di Indonesia, terutama sekali adalah berbicara soal moderasi ber-Islam. Dan ada hal yang cukup sukar dimengerti, bahwa wacana moderasi yang digalakkan dengan amat berkobar-kobar, sering kali menampilkan hal-hal yang tak wajar. Bagaimana agenda moderasi yang digalakkan misalnya, justru kerap menegaskan sikap intoleransi.
Banyak hal yang dapat kita soal; perihal rekrutmen tenaga kerja di berbagai institusi negara misalnya, yang disisipi dengan ragam materi uji yang mempersoalkan perkara keyakinan dan amaliah pribadi umat Islam, yang itu padahal tak ada relevansinya dengan kadar loyalitas terhadap negara atau komitmen bermoderasi atau juga dengan kualitas-kualitas kerja. Ada pelanggaran hak konstitusional di sana.
Apa yang sesungguhnya hendak dituju dari agenda moderasi begitu? Apakah moderasi itu menghendaki umat Islam untuk bersikap sepele saja dengan keislamannya karena kesungguhan pada agama dianggap dapat melunturkan kesetiaan pada negara dan bangsa? Begitu barangkali loncatan kesimpulan yang dibuat dengan sembarang saja.
Umat Islam Indonesia kini seperti sedang berurusan dengan kampanye moderasi yang melampaui batas, yang menghendaki desakralisasi agama, sesuatu yang justru menyelisihi semangat Pancasila, meski ia selalu dibawa-dibawa, sebagai dalih. Pancasila padahal tidak mengusung semangat desakralisasi agama. Bahkan Pancasila—dalam wujudnya yang mutakhir—justru tidak akan lahir tanpa ruh sakralitas agama.
Kita perlu mengingat, bahwa titik taut berbagai gagasan yang berbeda soal dasar negara dalam BPUPK ada di Panitia Sembilan (yang dikerucutkan dari Panitia 38). Panitia Sembilan adalah representasi dari kaum Islamis dan nasionalis dalam BPUPK yang akhirnya berhasil mencapai sepakat soal format dasar negara.
Format yang lahir dari panitia itu bertahan seutuhnya, kecuali tujuh kata yang dihapus yang sudah kita maklumi bersama. Akan tetapi, penghapusan itu tidak menandai perubahan mendasar dari semangat atau ruh Pancasila sebagai modus bersama dari golongan Islam dan nasionalis itu.
Sukarno sendiri dalam dekritnya kemudian, juga menegaskan bahwa Piagam Jakarta (yang memuat tujuh kata yang sudah dihapus) turut menjiwai dan merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945—yang berlaku hingga sekarang. Jadi, semestinya kita tidak mengabaikan arti penting sikap atau aspirasi keagamaan yang mengilhami Pancasila itu.
Selain itu, kampanye moderasi beragama yang digalakkan juga tidak perlu menderek tiap umat dengan keimanannya masing-masing, agar menganggap sama saja setiap sistem keyakinan yang ada. Atau seolah-olah, kita mesti juga mengafirmasi kebenaran agama lain dan, bila perlu, sesering mungkin turut dalam ritual ibadah agama lain.
Bermoderasi tidak mesti menyurutkan kita dari dialektika kebenaran agama dengan latar ekslusivitas yang, secara asali, memang merupakan watak inheren banyak agama. Kita sering terlalu menyederhanakan persoalan dengan menganjurkan hal-hal yang kita anggap baik namun sesungguhnya mengusik.
Kita cenderung ingin melupakan bahwa Pancasila lahir dari semangat dialektik; semangat untuk berani mengargumentasikan keyakinan yang kita anggap benar. Pancasila tidak lahir dari sikap manut-manut dan rendah diri terhadap paham atau keyakinan pihak lain. Sukarno pernah bilang kira-kira begini, “Tidak ada satu staat yang betul-betul hidup”, kata Sukarno, “kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya.”
Yang harus kita pastikan bersama, bahwa dalam moderasi, suatu dialektika atau pergelutan paham mestilah berlangsung dalam cara-cara berkeadaban dan santun, dengan tetap menegakkan tenggang rasa dan tidak memaksakan kehendak dan tahu bersikap bijak dalam berbagai keadaan. Itulah yang dimaksud Sukarno dengan Ketuhanan yang berkebudayaan, yaitu ketuhanan yang berbudi pekerti luhur dan hormat-menghormati satu sama lain.
Maka kita perlu memahami Pancasila secara wajar untuk menegakkan moderasi yang sesuai kadar. Semangat moderasi yang dianjurkan Pancasila bukanlah untuk mendesakralisasi agama, bukan pula untuk mempropagandakan pluralisme dan sinkretisme agama.
Moderasi bisa tegak tanpa desakralisasi dan tanpa menjerumuskan diri ke dalam pluralisme atau sinkretisme agama. Lihatlah moderasi yang ditegakkan oleh Rasulullah di Madinah; tak ada kampanye pluralisme agama di sana. Di sana, moderasi tegak lurus dalam keberimanan yang penuh, toleransi terselenggara dalam kesadaran yang tetap menyala tentang kebenaran agama masing-masing.
Moderasi tak seharusnya menghalangi kita untuk berpihak dan terlibat secara intens dalam sistem keyakinan tertentu yang kita anggap benar. Saya mengingat satu pernyataan Paul Tillich, bahwa tiap-tiap manusia itu, kata Tillich, berada dalam keadaan involved (terlibat). Dan sungguh akan sulit bagi siapa pun untuk seenaknya mengurangi arti dari keterlibatan itu.
Untuk menegakkan moderasi beragama secara layak, kita mesti sadar, bahwa agama, bagaimanapun perkembangan dunia modern atau pascamodern ini, tetaplah ia—meminjam istilah para cendekiawan—merupakan problem of ultimate concern (suatu hal yang menjadi perhatian utama); kenyataan yang senantiasa melingkupi kita. Dengan kesadaran itu, kita tidak akan sewenang-wenang mengusik keintiman beragama tiap umat beragama.
Ketidakinsafan akan hal itu, akan membuat agenda-agenda moderasi jadi kontraproduktif karena tidak tepat sasaran dan kerap memicu keributan atau penentangan. Para pengemban kebijakan dan awak cendekiawan perlu menimbang dalam-dalam, bagaimana agenda atau wacana moderasi digulirkan secara wajar dan tanpa memojokkan hingga dapat disambut dengan simpatik oleh setiap umat, terutama umat Islam yang kerap jadi sasaran.
Sikap antimoderasi yang berkembang perlu dicari penawar yang tepat. Para pelaku terorisme, misalnya, perlu dihadapi dengan argumentasi keislaman berlandaskan dalil-dalil keislaman yang otoritatif, seperti Ibnu Abbas mengatasi ribuan khawarij pada masa Khalifah Ali. Takfirisme sebagai sikap ekstrem dalam berislam tidak takluk dengan cara mengampanyekan moderasi beragama dengan muatan desakralisasi. Itu malah dapat menebalkan kebencian mereka pada negara.
Kelompok-kelompok anti-Pancasila—seperti HTI dan semisalnya—perlu didekati secara intens melalui dialog bilhikmah. Mereka mesti diberikan pemahaman bahwa Pancasila itu adalah satu konsensus, dalam term keislaman; al-`uhuud wal mawaatsiq, yang itu juga ada presedennya dalam praktik politik Rasulullah. Mereka mesti diajak untuk meninjau sejarah dan kenyataan secara lebih utuh.
Narasi-narasi begitulah yang perlu dikobarkan dan dikembangkan, jika niatannya adalah untuk membangun kesadaran beragama yang ideal dan wasathan (moderat), bukan untuk meminggirkan siapa saja yang berbeda. Yang jelas, semangatnya Pancasila adalah semangat untuk merangkul, bukan memukul.
Penulis: Nauval Pally Taran
Sumber: Kumparan