Setelah menggunakannya sehari-hari, pernahkah Anda bertanya, bagaimana bahasa Indonesia bisa terbentuk? Dari sekian banyaknya bahasa daerah di gugusan pulau Nusantara, mengapa kita menggunakan bahasa Indonesia?
Secara historis, bahasa Indonesia memiliki akar yang kuat dari bahasa Melayu. Seiring berjalannya waktu, bahasa kita ini pun diperkaya dengan serapan-serapan dari bahasa lainnya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa sembilan dari sepuluh kata dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa asing. Bahasa kita sudah melewati banyak fase perubahan ejaan, mulai dari Ejaan Van Ophuijsen (1901), Ejaan Soewandi atau Republik (1947), dan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan atau EYD (1972). Pada 2015, lahirlah Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) yang ditandai dengan terbitnya Permendikbud 50/2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.
Perkembangan ejaan hanyalah satu aspek dalam suatu fenomena kebahasaan. Banyak perkembangan lainnya yang terjadi, baik yang telah ditetapkan oleh pemerintah maupun murni lahir dari kebiasaan masyarakat. Namun, dari perjalanan panjang tersebut, kita bisa melihat beberapa pola yang konsisten dalam perkembangan bahasa Indonesia. Barangkali, pola-pola tersebut dapat berdiri sebagai ciri bahasa Indonesia.
Imbuhan
Bahasa Indonesia memiliki kesederhanaan dalam pembentukan kata. Dalam kata kerja misalnya, untuk mengubah sebuah kata dasar menjadi kata kerja tidak harus mengubah struktur kata tersebut secara drastis. Kita hanya perlu menambahkan imbuhan (afiks) dan kata tersebut akan memberikan makna yang berbeda. Contohnya adalah kata sapu. Untuk mengubah kata benda ini menjadi sebuah aktivitas, kita hanya perlu menambahkan prefiks me- atau di- demi membentuk kata menyapu dan disapu.
Dalam bahasa Indonesia, imbuhan memegang peranan yang penting pada pola pembentukan kata. Kita punya me-, di-, te-, be-, pe-, misalnya, sebagai imbuhan awal atau prefiks. Sebagai imbuhan akhir atau sufiks, kita punya -i, -an, dan -kan. Kemudian, sebagai sisipan, ada pula imbuhan infiks, seperti -el- dan -em- pada kata selidik dan gemetar.
Tanpa Kala, Plural, dan Gender
Berbeda dengan bahasa Inggris, bahasa Indonesia tidak memiliki ciri khusus untuk menandakan kala atau tense. Dalam kalimat, kita menggunakan kata pelengkap lain untuk menjelaskan kejadian yang sudah berlalu. Kemudian, bahasa Indonesia juga tidak memiliki memiliki unsur penanda makna plural, seperti fungsi /s/ dalam akhir kata pada bahasa Inggris. Lebih lanjut lagi, bahasa kita tidak memiliki penanda gender, seperti dalam bahasa Jerman atau bahasa Arab.
Tanpa Perbedaan Nada
Dalam bahasa Mandarin dan bahasa Vietnam, misalnya, perubahan nada saat berbicara bisa mengubah arti dari sesuatu yang ingin disampaikan. Hal tersebut tidak terjadi secara eksplisit pada bahasa Indonesia. Biasanya, kita memakai penekanan tertentu—bukan nada—untuk menyampaikan pertanyaan atau perintah. Terkadang, penekanan tersebut juga bisa menandakan amarah.
Konsistensi Pelafalan
Pelafalan dalam bahasa Indonesia biasanya konsisten dengan apa yang tertulis. Kita hanya perlu mempelajari pelafalan setiap huruf. Tidak perlu repot-repot, bukalah KBBI, baik daring maupun luring. Di sana ada tanda diakritik yang bisa memandu kita untuk mengucapkan e dalam enak dan entah.
Saya tidak bilang bahwa bahasa Indonesia selalu 100% konsisten dalam menggunakan pola-pola tersebut. Namun, dapat dibilang hingga saat ini, empat poin di atas cukup bisa menjelaskan permukaan bahasa Indonesia. Peran imbuhan; ketiadaan penanda kala, makna plural, dan ciri gender; ketiadaan nada dalam membentuk makna denotatif; dan konsistensi pelafalan merupakan sebagian ciri dari perjalanan panjang bahasa Indonesia.
Rujukan:
- Lanin, Ivan. 2020. “Perbedaan antara EYD dan EBI“. Diakses pada 27 Oktober 2020.
- Sriyanto. 2014. Seri Penyuluhan Bahasa Indonesia: Ejaan. Jakarta.
- Teguh, Irfan. 2020. “Ejaan yang Disempurnakan & Sejarah Pembakuan Bahasa Indonesia“. Diakses pada 27 Oktober 2020.
Penulis: Yudhistira
Sumber: Narabahasa.id