Seorang ekstremis Kristen berusia 28 tahun berpaspor Australia, jadi biang keladi kebakaran besar di mimbar Saladin, kompleks Masjid Al Aqsa, Yerusalem. Datang dengan paspor turis, ia menyalakan api dengan minyak tanah pada pagi hari 21 Agustus 1969, persis setelah waktu salat Subuh. Api melahap habis 3 koridor dan sebagian balkon sayap timur, serta mihrab Zakaria.
Dalam waktu kurang dari 24 jam, polisi berhasil menangkap Denis Michael Rohan, sang pelaku. Ia mengaku sengaja membakar kompleks yang dibangun pada abad ke-12 itu karena yakin tindakannya adalah perintah langsung dari Tuhan.
Dalam pengakuannya di persidangan, ia melakukan pembakaran dengan tujuan menyiapkan situs itu untuk dibangun kembali sesuai dengan keperluan menyambut kedatangan Tuhan. Rohan mungkin tidak menduga tindakannya membakar salah satu situs paling suci dalam kebudayaan Islam, berpotensi besar melahirkan teori konspirasi dan kemarahan mendalam di Timur Tengah. Aksi itu memicu munculnya kesadaran dunia Islam untuk konsolidasi.
Amin al-Husseini, mantan Mufti Yerusalem, menyebut pembakaran itu adalah kejahatan Yahudi dan mendesak dunia Islam internasional untuk mengadakan pertemuan akbar. Sekitar sebulan setelah api dipadamkan, pertemuan besar diselenggarakan di Rabat, Maroko. Dua puluh empat perwakilan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim hadir. Tiga hari kemudian, pada 25 September 1969, tepat hari ini 51 tahun yang lalu, pertemuan itu menghasilkan sebuah resolusi: pemerintah negara-negara Islam akan bersama-sama melindungi aset Islam di dunia.
Melanjutkan resolusi itu, pertemuan di Rabat juga memutuskan untuk mendirikan Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang ditujukan untuk menjadi suara kolektif peradaban Islam di dunia. Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) pertama di Jeddah, Arab Saudi, pada Maret 1970, tiga puluh negara menjadi anggota OKI. Tunku Abdul Rahman, Perdana Menteri Malaysia, terpilih sebagai Sekretaris Jenderal. Konferensi pertama ini kemudian menetapkan Jeddah sebagai lokasi sekretariat.
Dua tahun kemudian, sebuah pertemuan lanjutan di Jeddah menghasilkan piagam organisasi. Piagam ini dengan tegas menyebutkan bahwa pembentukan OKI ditujukan untuk terus bekerja sama, saling membantu dalam hal ekonomi, kebudayaan, dan spiritual, dengan landasan ajaran Islam yang abadi. Tujuan pendirian ini juga dilanjutkan dengan kesepakatan negara-negara anggota untuk saling menjaga solidaritas perdamaian dan keamanan internasional, serta meningkatkan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pertemuan di Jeddah itu melibatkan 30 negara anggota pertama OKI. Indonesia menolak untuk menjadi anggota karena berdasarkan UUD 1945, Indonesia bukan negara Islam. Selain itu, politik luar negeri yang bebas aktif dinilai bertentangan dengan tujuan pendirian OKI yang berdasarkan nilai-nilai Islam. Baru pada Desember 1991, ketika Presiden Suharto menghadiri KTT OKI ke-6 di Senegal, peran Indonesia dalam OKI mulai aktif.
Beberapa kiprah Indonesia dalam OKI di antaranya ikut mendukung kemerdekaan Bangladesh dari Pakistan, membela Pakistan dalam konflik dengan India, mendukung percepatan pertikaian Moro dengan pemerintah Filipina, memperjuangkan kedaulatan Palestina, dan lain-lain.
Menghadapi Kritik Internal dan Eksternal
Setelah resmi berdiri, OKI terjun membahas berbagai isu internasional yang penting. Mereka memiliki delegasi permanen di PBB dan European Union. Karena anggota mereka terdiri atas negara-negara yang berasal dari 4 benua, bahasa resmi dalam OKI adalah bahasa Inggris, Arab, dan Prancis.
Lantaran mereka beraktivitas dengan mengutamakan nilai-nilai Islam, rangkaian kontroversi ikut mengiringi keterlibatan mereka dalam berbagai isu seperti aborsi, hak asasi, kebebasan berpendapat, jihad, dan sebagainya.
Deborah Weiss dalam The Organization of Islamic Cooperation’s Jihad on Free Speech (2015: 15) berpendapat bahwa nilai-nilai Islam membuat OKI tidak bisa mengambil sikap sesuai dengan yang tertera di piagamnya.
“Piagam OKI mengeklaim bahwa mereka akan mempromosikan perdamaian, simpati, toleransi, keadilan dan martabat sesama manusia, serta perlawanan terhadap terorisme. Akan tetapi, konsep-konsep mereka sangat terpaku pada syariah dan definisi kata-kata. Posisi dan aksi mereka sangat berlawanan dengan klaim itu”, tulisnya.
Weiss memberi contoh lain. Dalam menanggapi isu mengenai hak asasi manusia, misalnya, pemahaman OKI terlihat sangat terbatas pada apa yang diizinkan oleh syariah. Meskipun menggambarkan dirinya sebagai organisasi yang moderat, mereka tak bisa menghindar dari kesan organisasi supremasi Islam yang bertujuan untuk mengimplementasikan syariah dalam skala internasional.
Sementara itu, internal organisasi juga tidak luput dari masalah. Kiprah politik OKI jadi salah satu pemicunya. Perkara Taliban di Afganistan membuat negara itu diskors dari keanggotaannya pada 1980—1989, meski sudah terlibat sejak rapat besar pertama di Rabat. Pemicunya adalah kemenangan Taliban dalam pertikaian dengan pemerintah.
Selain Afganistan, Mesir juga pernah diskors dari keanggotaan pada era transisi kepemimpinan dari Sufi Abu Taleb ke Presiden Husni Mubarak. Dalam kasus lain, Zanzibar justru terang-terangan mengundurkan diri dari OKI pada 1993 dengan menuding OKI hanya fokus pada masalah politik dan mengabaikan masalah mendesak di sekitar ekonomi, sosial, dan budaya.
Setelah memutuskan hubungan dengan OKI, Zanzibar justru berkembang lebih sejahtera di antara negara-negara Afrika. Salah satu faktor pentingnya adalah keberhasilan mereka menghapus perbudakan dan meningkatkan pemasukan lewat rempah-rempah dan sektor pariwisata yang diurus dengan baik.
Selain politik dan ideologi, OKI juga mengambil sikap dalam kebudayaan. Salah satu isu besar yang dibahas dalam pertemuan menteri luar negeri OKI pada 1989 adalah novel The Satanic Verses karya Salman Rushdie. Delegasi Libya yang mewakili OKI dalam pertemuan dengan PBB mengatakan, novel itu bertentangan dengan syariah. Maka itu, berdasarkan syariah, Salman Rushdie bisa dihukum.
Di tahun yang sama, pertemuan tingkat menteri luar negeri OKI memutuskan para anggota OKI harus terus melawan tindakan penghinaan terhadap Islam dan tokoh Islam. Dalam dokumen Final Communiqué, 1989, yang dikeluarkan sebagai hasil pertemuan tingkat menteri luar negeri ke-18, untuk pertama kalinya dokumen resmi OKI mencantumkan kata “Blasphemy”, penistaan agama.
Dalam artikel “The OIC and Freedom of Expression: Justifying Religious Censorship Norms with Human Rights Language”, Heini í Skorini mencatat bahwa dokumen itu juga memuat kesepakatan para anggota OKI yang telah mendeklarasikan blasphemy tidak bisa ditoleransi atas dasar kebebasan berekspresi. Oleh karenanya, Salman Rushdie harus ditetapkan sebagai murtad.
Semangat OKI dalam memperjuangkan syariah dan melindungi aset Islam di dunia tidak pernah luntur. Pada 1999, OKI memperjuangkan agar fitnah terhadap dunia Islam dimuat dalam resolusi PBB mengenai Hukum Internasional. Masalahnya, meski menginginkan agar fitnah itu bisa dimuat dalam daftar kriminal, mereka tidak pernah membuat definisi yang presisi tentang fitnah yang dimaksudkan. PBB menolaknya karena terlalu berisiko mengaplikasikan tuduhan fitnah pada kasus-kasus yang sama sekali bertentangan dengan definisinya yang masih abu-abu.
Dari semula hanya 30 negara anggota, kini anggota OKI telah berkembang menjadi 57 negara dan bertransformasi menjadi organisasi internasional terbesar kedua di dunia setelah PBB. Akan tetapi, kritik tidak pernah jauh dari OKI. Peran mereka dianggap tidak signifikan karena tidak memberikan solusi nyata dalam menyelesaikan konflik-konflik Islam di dunia.
Pada 28 Juni 2011, dalam pertemuan tingkat menteri luar negeri ke-38 di Astana, Kazakhstan, mereka mengubah logo organisasi dan namanya berganti dari Organisasi Konferensi Islam menjadi Organisasi Kerja Sama Islam.
Penulis: Tyson Tirta
Sumber: tirto.id