Namanya shuffah, ruang sederhana yang dimaksudkan secara khusus untuk menyukseskan agenda maha penting bagi umat. Institusi pendidikan, yang juga merupakan pondok pesantren pertama bagi umat. Shuffah mendahului institusi-institusi politik. Ia hadir sebagai agenda awal yang membersamai pembangunan masjid: program pertama Rasulullah di Madinah.
Di dalam shuffah para pelajar yang kurang mampu menetap. Patut diduga, mereka adalah golongan awal dari umat ini yang menikmati pendidikan gratis. Tentu saja Rasulullah saw. sebagai pelopornya. Dari Musnad Al-Imam Ahmad dan Siyar A‘lam An-Nubala, kita bisa melacak satu kebijakan mulia, di mana Rasulullah saw. mengimbau para sahabatnya agar berpartisipasi untuk ketersediaan konsumsi gratis bagi para pelajar.
Tak ada kesepakatan tentang jumlah pelajar yang menetap di sana. Di dalam Hilyatul Aulia, Abu Nu‘aim menginformasikan bahwa jumlah para pelajar yang tinggal di dalam shuffah tidaklah tetap. Para pelajarnya dikenal sebagai ahlus shuffah, sebagian muhajirin dan sebagian ansar. Shuffah dengan segala isinya adalah luapan dari semangat pengentasan kebodohan.
Bagaimana generasi awal umat ini benar-benar melihat pendidikan Islam sebagai prioritas, tentu tidak terlepas dari pesan-pesan penting dalam kitab suci. Wahyu pertama yang dibebankan kepada Rasulullah saw. berupa perintah untuk membaca (iqra‘), adalah pemicu kuat akan tumbuhnya semangat ilmu pada diri Rasulullah yang secara baik ditularkan kepada murid-muridnya (para sahabat).
Semangat ilmu itu, apinya terus dijaga pada hari-hari berikutnya dari peradaban baru yang dimulai dengan perintah iqra‘ ini. Terkadang, untuk menjaga api itu, Allah Swt. secara langsung memaklumatkan melalui firman-Nya; bahwa pendidikan bagi umat mesti terus bergulir, bahkan dalam keharusan berperang sekalipun. Allah Swt. berfirman, “Tidak sepatutnya orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (berjihad ke medan perang). Mengapa tidak, dari tiap-tiap golongan di antara mereka ada beberapa orang yang pergi untuk memperdalam ilmu agama agar dapat memberi peringatan bagi kaumnya apabila mereka (yang berperang) telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (QS. at-Taubah: 122).
Ruh Pendidikan Islam
Upaya untuk memahami ruh pendidikan Islam, tidak akan mungkin tanpa melihat bagaimana generasi awal (para sahabat) memaknai hakikat ilmu (Islam) itu sendiri. Ibnu Mas‘ud, sebagai guru dan ilmuwan terkemuka dari kalangan sahabat, memberikan penjelasan pada kita tentang hal ini. Di dalam Al-Fawaaid, Ibnul Qayyim menukil perkataan Ibnu Mas‘ud tersebut, “Ilmu bukanlah banyaknya kumpulan ingatan tentang riwayat-riwayat, namun ilmu adalah khasyah (rasa takut kepada Allah).”
Dengan menghayati ruh ilmu tersebut, generasi awal umat ini melihat diri dan dunianya atas dasar ketertundukan pada Allah Swt. Itu merupakan inti dari tauhid dan Islam itu sendiri. Dari pandangan dunia itulah ikhtiar pendidikan Islam bertolak dan berkelindan. Dalam padanya, memahami dan mengikuti segala petunjuk yang Allah turunkan dengan Rasulullah sebagai penjabarnya, menjadi pokok terpenting dalam hidup.
Maka bagaimana sejarah mencatat tentang superioritas umat yang telah wujud pada abad pertama Hijriah, tidaklah terlepas dari semangat dan kualitas pendidikan yang telah membentuk dan memperkukuh identitas para sahabat sebagai muwahhidun (insan bertauhid). Secara totalitas mereka tunduk kepada Allah Swt. dan loyal pada agama-Nya.
Pendidikan Islam di tengah muwahhidun itu juga mengingatkan tema penting tentang misi penyelamatan universal, maka mereka terlibat aktif pula dalam mengemban dan menyebarkan risalah Islam di lintas peradaban, dengan determinasi tinggi, jiwa kepahlawanan, dan penuh keberanian. Mereka bukan saja tak gentar jika harus berhadapan dengan musuh, lebih dari itu, mereka juga merindukan kematian. Kematian bagi mereka adalah perjumpaan yang disegerakan dengan yang maha memiliki kehidupan.
Kekaisaran Bizantium dan Imperium Persia adalah dua kekuatan superpower yang saat itu telah kukuh berabad-abad lamanya. Di antara keduanya, selama 700 tahun belum pernah sampai selesai saling menguasai. Namun kurang dari setengah abad saja, seluruh wilayah Persia itu dan teritori Bizantium di Syam, takluk dalam kekuasaan umat Islam.
Dalam skala lebih luas; 1.000.000 mil persegi pada masa Rasulullah saw., 200.000 mil persegi pada masa Abu Bakar, 1.500.000 mil persegi pada masa Umar, dan 800.000 mil persegi pada masa Utsman, dalam waktu singkat dikooptasi oleh umat Islam. Sebagian melalui deputasi (kafilah dakwah), dan sebagian lainnya melalui ekspansi militer.
Usia juang 35 tahun dengan capaian 3,5 juta mil persegi (meliputi dua kekuatan adidaya), dari bangsa yang baru berusia tiga dasawarsa, tanpa tata kelola militer yang dapat dikatakan mapan serta prestasi perang yang membanggakan, diliputi kapasitas pasukan dan persenjataan yang serba minimalis, adalah kurang masuk akal dalam kalkulasi militer yang wajar. Namun, fakta unik ini telah menarik perhatian jumhur sejarawan lintas iman untuk meneliti bagaimana capaian yang luar biasa itu ditoreh.
Logika Keimanan
Adapun mukmin yang insaf, tahu betul, bahwa capaian itu adalah soal logika keimanan (asbab syar‘iyyah). Mereka yakin akan janji Allah Swt. dalam firman-Nya, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan-Ku.” (QS. an-Nur: 55).
Menjadi persoalan kini; bagaimana sejumlah besar manusia di banyak tempat yang mengafiliasikan imannya pada Islam, namun tampaknya tak juga beroleh janji Allah berupa kekuasaan/kejayaan itu? Tentu kita tak akan berkata bahwa Allah Swt. telah mengingkari janjinya. Dengan penuh kesadaran, kita mesti menunjuk kepada kualitas keberislaman kolektif kita. Pada generasi awal, fakta kualitas menaklukkan perasaan lemah sebagai minoritas. Sedangkan kini, kita ramai, namun sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Seperti buih.”
Di tubuh keberislaman kita, hiruk-pikuk gelombang pendidikan Islam dengan segala modelnya memang begitu riuh. Namun, sudahkah secara signifikan mampu memengaruhi umat kolektif? Mengembalikan cita, identitas, dan rasa percaya diri seorang mukmin yang kian lenyap di tengah derasnya semangat zaman.
Sesungguhnya, masalah kita amatlah serius. Ruh Islam sendiri seakan terlepas dari banyak ikhtiar pendidikan umat. Pendidikan agaknya tak lagi dicitakan demi memahami diri dan mengabdi semata kepada Allah Swt. Namun, demi pengabdian pada diri sendiri dan demi kepuasan, kekuasaan, kemasyhuran, dan sederet “prestise hawa nafsu” lainnya. Wallahul musta`an.
Penulis: Nauval Pally Taran
Sumber: Serambinews.com