Vaksin dan vaksinasi merupakan salah satu pencapaian penting dalam dunia ilmu kedokteran dan kesehatan. Inovasi demi inovasi terus dilakukan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mulai dari ilmu imunologi, virologi, farmakologi, molecular biology, sampai dengan teknologi purifikasi protein dan rekayasa genetik.
Banyak pihak yang mengaitkan vaksinasi sebagai program Yahudi untuk melemahkan umat Islam. Namun, fakta justru berbicara sebaliknya. Teknologi vaksinasi yang dikenal luas saat ini, justru berasal dari teknik variolasi yang sudah sejak lama dipraktikkan umat Islam pada zaman Dinasti Utsmaniyyah.
Hal ini sebagai usaha untuk mencegah penyakit cacar nanah (smallpox) yang mewabah ketika itu. Tulisan singkat ini akan memaparkan sejarah penemuan vaksin dan pengembangnnya sampai pada era modern seperti sekarang ini.
Smallpox: Sejarah Kelam Peradaban Manusia
Pada abad ke-17 (tahun 1600-an), masyarakat di Benua Eropa dan di belahan dunia lainnya menyaksikan sendiri bagaimana ganasnya penyakit cacar nanah yang disebabkan oleh virus smallpox. Smallpox (variola) berbeda dengan chickenpox (cacar air) yang kita kenal saat ini.
Pada saat itu, ±400.000 orang di Eropa meninggal dunia setiap tahun karena smallpox. Smallpox adalah penyakit mematikan dan menyerang semua lapisan masyarakat, baik masyarakat kelas atas (bangsawan) maupun kelas bawah.
Gejala smallpox muncul dengan tiba-tiba, ditandai dengan munculnya demam tinggi dan munculnya bintil–bintil di seluruh permukaan tubuh. Angka kematian sangat tinggi, bervariasi dari 20% hingga 60%. Di antara yang masih bertahan hidup, sepertiga mengalamai kebutaan. Mereka yang bertahan hidup juga memiliki bekas luka yang di sekujur tubuh yang tidak enak dipandang.
Pada anak-anak, angka kematian jauh lebih tinggi lagi. Di London, Inggris, angka kematian tercatat mencapai 80%, sedangkan di Berlin, Jerman, mencapai 98%. Artinya, jika menyerang anak-anak, hampir bisa dipastikan tidak akan selamat (bertahan hidup).
Berbagai usaha dilakukan untuk mencegah atau mengobati penyakit smallpox, termasuk dengan menggunakan obat-obatan herbal, baju khusus untuk mencegah penularan, dan sebagainya. Sudah diketahui oleh semua orang ketika itu bahwa mereka yang bertahan hidup setelah terkena smallpox, maka dia akan kebal terhadap smallpox.
Mungkin dari rahasia umum ini, muncullah ide sebuah teknik bernama inokulasi untuk mencegah penyakit smallpox. Teknik inokulasi berasal dari bahasa Latin inoculare yang berarti ‘mencangkok’ (seperti praktek cangkok ginjal yang kita kenal saat ini).
Lalu, bagaimana inokulasi dilakukan? Pertama-tama, luka penderita smallpox yang berupa pustula (bintil di kulit berisi nanah) diambil dengan menggunakan semacam pisau bedah. Selanjutnya, bahan dari pustula ini diberikan ke orang lain (yang dianggap belum kebal terhadap smallpox) dengan cara dimasukkan di bawah kulit lengan atau kaki.
Ternyata, inokulasi adalah metode paling sukses dan paling ampuh untuk mencegah penyakit smallpox, dari berbagai metode lain yang dipraktikkan ketika itu. Teknik inokulasi juga dikenal dengan istilah variolasi.
Asal Usul Teknik Variolasi atau Inokulasi
Inokulasi (variolasi), metode paling ampuh untuk mencegah penyakit smallpox itu ternyata berasal dari praktik masyarakat muslim di kota Istanbul, Turki, pada masa Kekhalifahan Dinasti Utsmaniyyah. Pada tahun 1714, The Royal Society of London (semacam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, biasa disingkat sebagai LIPI), sebetulnya sudah menerima surat dari seorang dokter berkebangsaan Yunani, Emanuel Timoni. Di surat tersebut, Emanuel Timoni menggambarkan teknik variolasi yang dia saksikan ketika berkunjung ke Turki.
Dua tahun kemudian (1716), surat yang sama dikirimkan oleh dokter berkebangsaan Italia, Giacomo Pilarino, juga setelah melihat langsung bagaimana masyarakat Istanbul melakukan teknik variolasi untuk mencegah smallpox. Akan tetapi, dua surat itu diabaikan begitu saja oleh The Royal Society of London sehingga praktek variolasi belum bisa diterima dan diterapkan oleh para dokter di London. Yang menarik, dua orang dokter itu sama-sama belajar ilmu kedokteran di The University of Padua, Italia.
Akhirnya, praktek variolasi baru diperkenalkan ke Eropa melalui perantaraan Lady Mary Wortley Montagu. Pada tahun 1715, Lady Mary terkena smallpox, yang menyebabkan kerusakan pada wajahnya. Kakaknya yang berusia 20 tahun, meninggal dunia akibat smallpox 18 bulan kemudian.
Pada tahun 1717, suami Lady Mary, Edward Wortley Montagu, ditunjuk sebagai duta besar Kerajaan Inggris di Turki. Beberapa minggu setelah sampai di kota Istanbul, Lady Mary menyaksikan sendiri teknik variolasi yang dilakukan penduduk Istanbul. Lady Mary begitu antusias dengan metode ini sehingga meminta dokter bedah yang bertugas di kantor kedutaan, Charles Maitland, untuk melakukan variolasi terhadap anak laki-lakinya yang saat itu berusia 5 tahun, pada bulan Maret 1718.
Setelah kembali ke London pada bulan April 1721, Lady Mary memerintahkan Charles Maitland untuk melakukan variolasi ke anaknya yang berusia 4 tahun, disaksikan oleh para dokter di Inggris. Setelah itu, Charles Maitland mendapatkan izin untuk melakukan uji coba variolasi kepada beberapa orang lainnya, dengan disaksikan anggota dokter kerajaan, anggota The Royal Society, dan anggota The College of Physicians.
Uji coba ini berhasil karena setelah variolasi mereka menjadi kebal setelah diberi pajanan smallpox. Berikutnya, Charles Maitland sukses melakukan variolasi ke dua anak perempuan Ratu Kerajaan Wales. Setelah kesuksesan demi kesuksesan ini, pada akhirnya teknik variolasi diterima di Inggris, lalu menyebar luas ke seantero Eropa dan Amerika.
Teknik variolasi memang akhirnya menjadi metode paling ampuh dan paling populer untuk mencegah smallpox. Namun, metode ini bukanlah metode yang sempurna. Sekitar 2% dari orang yang menjalani variolasi, justru terkena smallpox dan akhirnya meninggal dunia dan menjadi sumber wabah smallpox itu sendiri.
Juga ada risiko penularan penyakit, seperti syphilis. Meskipun demikian, variolasi adalah satu-satunya cara paling ampuh ketika itu untuk menghentikan wabah smallpox, yang menyebabkan kematian pada lebih dari 15% penderitanya.
Abu Bakr Muhammad Ibn Zakariya Al-Razi (Rhazes): Ilmuwan Pertama yang Mendeskripsikan Smallpox
Kurang lebih seribu tahun sebelumnya, pada abad ke-9, seorang dokter muslim berkebangsaan Persia, Abu Bakr Muhammad Ibn Zakariya Al-Razi, telah mendeskripsikan gejala dan tanda penyakit smallpox. Beliau terkenal sebagai dokter dan penulis berbagai macam buku, baik kedokteran, farmasi, maupun ilmu pengetahuan secara umum.
Beliau adalah ilmuwan pertama dalam sejarah yang mendeskripsikan secara detail gejala dan tanda penyakit smallpox berdasarkan teknik pemeriksaan fisik dan membedakannya dengan penyakit campak (measles). Banyak dokter ketika itu yang belum mampu membedakan kedua jenis penyakit tersebut. Apa yang yang dilakukan Al-Razi inilah yang menjadi dasar dari metode differential diagnosis, yang dipelajari oleh mahasiswa kedokteran di berbagai belahan dunia hingga masa kini.
Al-Razi menuliskannya dalam buku beliau berjudul Kitab al-Jadari wa al-Hasba (Buku tentang Smallpox dan Campak). Begitu berharganya buku ini sehingga beberapa kali diterjemahkan ke bahasa Latin, Inggris, Jerman, dan Prancis. Dunia barat mengenal Al-Razi melalui versi Latin namanya, yaitu Rhazes.
Sejarawan menyebutkan, buku ini dicetak ulang di Eropa sebanyak 40 kali, dalam rentang tahun 1498—1866. Buku ini mencapai puncak popularitasnya ketika teknik variolasi diperkenalkan oleh Lady Mary Wortley Montagu ke Eropa. Manuskrip Kitab al-Jadari wa al-Hasba, saat ini disimpan rapi di perpustakaan Leiden University, Belanda.
Selain itu, Al-Razi juga menulis buku teks kedokteran berjudul Al-Hawi fi Ath-Thibb. Al-Razi meninggal dunia sebelum menyelesaikan buku ini. Para murid Al-Razi akhirnya menyelesaikan penulisan Al-Hawi. Al-Hawi diterjemahkan ke bahasa Latin pada tahun 1279 dengan judul Liber Continens dan menjadi salah satu buku teks rujukan utama pengajaran ilmu kedokteran di Paris tahun 1395.
Bagian khusus dalam buku Al-Hawi yang berhubungan dengan ilmu farmakologi, dianggap sebagai referensi pertama dalam bidang farmakologi di Eropa setelah masa renaissance. Al-Hawi terdiri atas 23 jilid menurut cetakan The Othmania Publishing House di India. Di jilid 17 buku Al-Hawi, Al-Razi juga mendeskripsikan tentang smallpox dan campak.
Al-Razi juga menulis buku berjudul Risalah fi Amradh al-Athfal wa Al-‘Ianaya Bihim. Banyak sejarawan menyebut buku ini sebagai buku pertama yang khusus membahas bidang pediatri (ilmu kesehatan anak). Buku ini pun diterjemahkan ke bahasa Latin, Inggris, Jerman, dan Italia.
Edward Jenner, “Bapak Vaksinologi”
Kembali ke teknis variolasi yang populer di Eropa pada abad ke-18. Edward Jenner adalah dokter berkebangsaan Inggris yang kemudian mengembangkan teknik variolasi. Pada saat masih kecil, Edward Jenner sudah mengetahui bahwa pemerah susu sapi ternyata kebal terhadap smallpox.
Hal ini karena pemerah susu sapi terpajan dengan virus cowpox, yaitu virus variola yang menyerang sapi. Pada bulan Mei 1796, Edward Jenner melihat seorang pemerah susu wanita bernama Sarah Nelms, yang terkena cowpox. Dengan menggunakan pustula dari luka baru yang diderita oleh Sarah Nelms, Edward Jenner melakukan teknik variolasi ke anak kecil berusia 8 tahun, James Phipps.
James Phipps mengalami gejala demam ringan, kehilangan nafsu makan, dan tidak enak badan. Sekitar seminggu kemudian, James Phipps sehat seperti sedia kala. Edward Jenner lalu melakukan teknik variolasi ke James Phipps, kali ini dengan menggunakan pustula dari luka penderita smallpox. James Phipps ternyata kebal terhadap smallpox.
Pada tahun 1797, Edward Jenner menulis surat singkat ke The Royal Society untuk mempublikasikan temuannya. Namun, The Royal Society menolak untuk memublikasikan temuan Jenner. Setahun kemudian (1798), Edward Jenner melengkapi dan menambahkan data hasil penelitiannya, lalu membuat publikasi sendiri dalam bentuk booklet berjudul “An Inquiry into the Causes and Effects of the Variola Vaccinae”.
Bahasa Latin dari sapi adalah vacca, sedangkan cowpox adalah vaccinia. Jenner memutuskan untuk memberi istilah teknik barunya ini dengan nama “vaccination” (vaksinasi). Adapun material cowpox dikenal dengan istilah “vaccine” (vaksin).
Jenner terus melakukan eksperimen untuk menyempurnakan teknik vaksinasi. Temuan penting Jenner adalah, berbeda dengan teknik variolasi, vaksinasi hanya menimbulkan luka kecil di tempat inokulasi dan tidak menyebabkan penyakit serius apalagi kematian.
Teknis vaksinasi temuan Jenner pun semakin populer dan menyebar dengan cepat ke seantero Inggris. Pada tahun 1800, teknik vaksinasi sudah populer di Eropa. Jenner mengirimkan vaksin temuannya ini ke pihak-pihak yang membutuhkan.
Profesor Benjamin Waterhouse, profesor di Harvard University (Amerika), juga menerima vaksin temuan Jenner. Profesor Waterhouse akhirnya ditunjuk oleh Presiden Thomas Jefferson, untuk mengelola The National Vaccine Institue, lembaga khusus yang mengatur pelaksanaan program vaksinasi nasional di Amerika.
Meskipun mengembangkan teknik vaksinasi, Jenner tidak dianggap sebagai perintis (orang pertama) di bidang ini. Kontribusi Jenner terletak pada usahanya untuk melakukan penelitian ilmiah dalam rangka mengembangkan teknik variolasi sehingga teknik variolasi (yang kemudian dikembangkan menjadi teknik vaksinasi) dapat diterima secara luas di komunitas dunia ilmiah ketika itu.
Jenner pun dikenal sebagai “Bapak Vaksinologi”. Adapun literatur-literatur sampai saat ini tetap menyebutkan bahwa cikal bakal teknik vaksinasi temuan Jenner adalah pengembangan dari teknik variolasi yang sudah sejak lama dipraktikkan masyarakat muslim Turki pada zaman Dinasti Utsmaniyyah.
Vaksinasi dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Setelah temuan Jenner, vaksinasi berkembang dengan adanya teknik atenuasi, yaitu teknik untuk “melemahkan” mikroorganisme virus dan bakteri penyebab penyakit, namun tetap hidup dan tetap mampu merangsang terbentuknya respons kekebalan.
Louis Pasteur, ahli mikrobiologi berkebangsaan Prancis, adalah ilmuwan yang mencetuskan ide ini dan mengembangkan lebih lanjut di laboratorium. Louis Pasteur melakukan atenuasi dengan memberikan pajanan oksigen dan suhu tertentu. Louis Pasteur pun berhasil mengembangkan vaksin Pasteurella multicoda (penyebab diare pada ayam), vaksin antraks (pada sapi), dan vaksin rabies (pada hewan dan manusia).
Teknik atenuasi yang lebih ampuh selanjutnya ditemukan oleh Calmette dan Guerin, melalui teknik subkultur berulang (sampai 230 kali) bakteri Mycobacterium bovis, yang selanjutnya kita kenal sebagai vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin) untuk mencegah penyakit tuberkulosis.
Teknik atenuasi untuk melemahkan virus selanjutnya semakin berkembang dengan ditemukannya teknik kultur sel (cell culture) di laboratorium. Berbeda dengan bakteri, virus hanya bisa hidup jika berada di dalam sel hidup manusia atau hewan. Teknik kultur sel memungkinkan untuk “memelihara” dan “mengembangbiakkan” sel hidup ini di laboratorium.
Selanjutnya, melalui teknik subkultur berulang-ulang, virus pun bisa dilemahkan sehingga muncullah vaksin polio oral (Oral Polio Vaccine, OPV), vaksin campak, rubella, mumps, dan varicella. Teknik atenuasi juga semakin maju lagi dengan ditemukannya teknik reassortment, salah satu teknik untuk “memanipulasi” materi genetik virus. Salah satu contoh adalah vaksin rotavirus (RotaTeq) yang dikembangkan dengan teknik reassortment.
Pada abad ke-19, muncullah teknik inaktivasi, sebuah teknik untuk “mematikan” mikroorganisme penyebab penyakit. Pada masa itu, teknik inaktivasi digunakan untuk menciptakan vaksin tifoid (1896), kolera (1896) dan plague (1897). Pengembangan teknik inaktivasi saat ini bermanfaat untuk mengembangkan vaksin polio suntik (Inactivated Polio Vaccine, IPV) dan vaksin hepatitis A. Teknik inaktivasi juga bermanfaat untuk penemuan vaksin tetanus dan difteri.
Di saat bersamaan, ilmu imunologi juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Berdasarkan pengetahuan bagaimana respons kekebalan tubuh bekerja, diketahui bahwa sel-sel imunitas tubuh kita mengenali mikroorganisme melalui penanda tertentu yang kita kenal dengan sebutan antigen.
Dapat kita bayangkan bahwa untuk mencari pencuri atau perampok, polisi hanya memajang foto wajah pelaku, tidak perlu seluruh tubuh. Demikian pula sistem kekebalan tubuh kita bekerja. Untuk mengenali virus hepatitis B, sistem imunitas kita bekerja dengan mengenali protein HbsAg (Hepatitis B surface antigen), salah satu protein yang terdapat di permukaan luar virus.
Jika vaksin sebelumnya diberikan dengan memberikan organisme utuh, dengan konsep antigen, yang diberikan hanya protein atau polisakarida penanda virus atau bakteri tertentu. Dibantu dengan teknologi pemurnian molekul protein dan polisakarida, ditemukanlah vaksin pertusis aseluler, vaksin pneumokokus (heptavalen dan 13-valen), dan vaksin meningokokus konjugat (quadrivalen).
Lalu, muncullah teknologi DNA rekombinan, yang memungkinkan gen penyandi protein “dicangkokkan” ke organisme tertentu untuk menghasilkan protein yang disandi. Pada tahun 1982, ilmuwan berhasil mencangkok gen penyandi protein HbsAg ke jamur (yeast), Saccharomyces cerevisiae. Hal ini menyebabkan jamur tersebut memproduksi banyak protein HbsAg.
Vaksin hepatitis B akhirnya menjadi vaksin pertama yang diproduksi dengan teknologi DNA rekombinan. Teknologi terbaru adalah sebuah teknik yang dikenal dengan reverse vaccinology (reverse genetic), membuat ilmuwan bisa memprediksi posisi sebuah antigen dengan melakukan analisis pada gen mikroorganisme. Vaksin yang diproduksi dengan teknologi mutakhir ini adalah vaksin meningokokus grup B.
Pada era modern seperti sekarang ini, vaksin merupakan produk bioteknologi yang memiliki standar keamanan sangat tinggi, sangat jauh berbeda dengan vaksin era Jenner yang berasal dari material cowpox. Setiap tahap dalam proses produksi vaksin wajib mengikuti kaidah Good Manufacturing Practice (GMP) dan diawasi dengan sangat ketat oleh lembaga yang berwenang. WHO (World Health Organization) telah mengeluarkan panduan teknis untuk mengatur hal ini sehingga vaksin yang diproduksi oleh produsen dari negara mana pun memiliki kualitas yang sama.
Keberhasilan Program Vaksinasi yang Dicapai Saat Ini
Pada tahun 1966, WHO memulai program global untuk memusnahkan smallpox melalui program vaksinasi masal. Program ini dilaksanakan dengan melakukan vaksinasi yang mencakup (minimal) ±80% populasi di suatu wilayah, serta identifikasi dan pelaporan kasus (surveilens) smallpox yang bersifat intensif.
WHO terus-menerus menyempurnakan program yang ada, termasuk menyempurnakan proses produksi vaksin smallpox. Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya kasus smallpox terahir di dunia ditemukan pada tahun 1977 di Somalia, yaitu seorang pasien bernama Ali Maow Maalim.
Dia sebetulnya adalah petugas kesehatan, namun tidak bersedia divaksinasi smallpox karena takut. Untungnya dia sembuh dari smallpox dan akhirnya menjadi salah satu petugas kesehatan yang gencar mengampanyekan pentingnya vaksinasi.
Pada tahun 1980, WHO mendeklarasikan bahwa dunia telah terbebas dari kasus smallpox. Akhirnya, program vaksinasi smallpox dihentikan di seluruh dunia. Kesuksesan ini dianggap sebagai salah satu kesuksesan penting dalam dunia ilmu kedokteran modern, khususnya melalui metode vaksinasi.
Setelah sukses memusnahkan smallpox, pada tahun 1988 WHO mencanangkan program “Global Polio Eradication Initiative” (GPEI) untuk membasmi penyakit polio pada tahun 2000 melalui program vaksinasi polio. Sayangnya, target tersebut meleset dan belum tercapai sampai saat ini.
Akan tetapi, beberapa kemajuan yang signifikan telah berhasil dicapai. Pada tahun 1988, virus polio mewabah di ±125 di seluruh dunia. Pada tahun 2016, hanya tersisa dua negara, yaitu Pakistan dan Afghanistan, yang masih ditemukan virus (kasus) polio liar (wild type poliovirus, WPV) karena adanya banyak hambatan pelaksanaan program vaksinasi di kedua negara tersebut.
Program vaksinasi polio juga berhasil memusnahkan virus polio liar tipe 2 pada tahun 2000, satu dari tiga jenis virus polio yang ada di muka bumi. Oleh karena itu, saat ini tinggal menyisakan virus polio liar tipe 1 dan 3.
Program vaksinasi juga dilaksanakan terhadap hewan. Pada tahun 1994, Food and Agricultural Organization of the United Nations (FAO) mencanangkan program the Global Rinderpest Eradication Program (GREP) untuk memusnahkan penyakit rinderpest yang disebabkan oleh rinderpest virus (RPV).
RPV menyebabkan kematian pada ±95% hewan ternak (sapi atau kerbau) yang terinfeksi. Kasus terahir rinderpest terjadi pada tahun 2001 di Kenya. Surveilens terus dilakukan selama 10 tahun berikutnya untuk memastikan bahwa tidak ada lagi kasus rinderpest.
Pada tahun 2011, FAO secara resmi mengumumkan bahwa dunia dinyatakan bebas dari penyakit rinderpest. Selain tiga keberhasilan tersebut, angka kejadian berbagai jenis penyakit infeksi lainnya dapat ditekan secara signifikan melalui program vaksinasi, seperti penyakit difteri, pertusis, campak (measles), rubela, dan sebagainya.
Semoga tulisan singkat ini dapat membuka wawasan kita, bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi berperan penting dalam pengembangan vaksin dari masa ke masa. Dan tentunya, ke depannya akan terus mengalami pengembangan demi pengembangan untuk menghasilkan berbagai teknologi dan temuan baru.
Penulis: Muhammad Saifudin Hakim
Referensi:
- Ehrenfeld E et al. Future of polio vaccines. Expert Rev Vaccines2009; 8(7): 899-905.
- Henderson DA. The eradication of smallpox –An overview of the past, present, and future. Vaccine 2011; 29S: D7-D9.
- Marketos S et al. The links between the medical school of Padua and the Hellenic medical world. Med Secoli 1992; 4(2): 45-58.
- Plotkin S. History of vaccination. Proc Natl Acad Sci USA 2014; 111(34): 12283-12287.
- Riedel S. Edward Jenner and the history of smallpox and vaccination. BUMC Proceedings 2005; 18-21-25.
- http://www.muslimheritage.com/article/al-razi-smallpox-and-measles(diakses 13 April 2016)
- The Global Rinderpest Eradication Programme. 2011. Progress report on rinderpest eradication: Success stories and actions leading to the June 2011 Global Declaration. Dapat diakses di tautan: http://www.fao.org/ag/againfo/resources/documents/AH/GREP_flyer.pdf(diakses tanggal 13 April 2016)
*Tulisan ini merupakan salah satu bab pembahasan yang terdapat di buku Islam, Sains, dan Imunisasi: Mengungkap Fakta di Balik Vaksin Alami.
Sumber: Kipmi.or.id