Sebagaimana yang kita ketahui, hukum mempelajari ilmu agama (ilmu syar’i) adalah kewajiban atas setiap muslim (fardhu ‘ain). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu (agama) itu wajib atas setiap muslim” (HR. Ibnu Majah No. 224. Dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani).
Ilmu syar’i adalah ilmu tentang agama Allah Ta’ala, yaitu ilmu yang bersumber dari kitabullah (Al–Qur’an) dan hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah).
Lalu, bagaimana dengan ilmu-ilmu duniawi, khususnya ilmu sains? Apakah mempelajari ilmu-ilmu tersebut menjadi tidak berpahala alias perbuatan sia-sia?
Jika Mendatangkan Kebaikan untuk Umat Islam, Hukum Mempelajari Ilmu Duniawi adalah Fardhu Kifayah
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, rahimahullahu Ta’ala, pernah ditanya, ”Apakah (mempelajari) ilmu seperti ilmu kedokteran dan industri termasuk tafaqquh fid diin (mempelajari agama Allah Ta’ala)?”
Beliau rahimahullahu Ta’ala menjawab, “Ilmu-ilmu tersebut tidaklah termasuk dalam ilmu agama (tafaqquh fid diin) karena dalam ilmu-ilmu tersebut tidaklah dipelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi, ilmu tersebut termasuk ilmu yang dibutuhkan oleh umat Islam.
Oleh karena itu, sebagian ulama berkata, “Sesungguhnya mempelajari ilmu industri (teknologi), kedokteran, teknik, geologi, dan semisal itu, termasuk dalam fardhu kifayah. Bukan karena ilmu-ilmu tersebut termasuk dalam ilmu syar’i (ilmu agama yang bersumber dari Al–Qur’an dan As-Sunnah), melainkan karena tidaklah maslahat bagi umat (Islam) ini bisa terwujud kecuali dengan mempelajari ilmu-ilmu tersebut.”
Oleh karena itu, aku ingatkan kepada saudara-saudaraku yang sedang mempelajari ilmu-ilmu tersebut agar mereka niatkan untuk dapat memberikan manfaat bagi kaum muslimin dan meningkatkan (derajat) umat Islam.” [1]
Di tempat yang lain, beliau rahimahullahu Ta’ala berkata,
“Dan sungguh banyak ulama telah menyebutkan bahwa mempelajari ilmu industri (teknologi) termasuk fardhu kifayah. Hal ini karena manusia harus (tidak boleh tidak) memiliki ilmu tersebut untuk dapat memasak (menyiapkan makanan), minum, atau perkara-perkara lainnya yang dibutuhkan. Jika tidak ditemukan orang yang menekuni ilmu tersebut, hukum mempelajarinya menjadi fardhu kifayah.” [2]
Apa yang Dimaksud dengan Fardhu (Wajib) Kifayah?
Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullahu Ta’ala berkata, “Yang dimaksud dengan fardhu kifayah adalah jika sejumlah orang dalam jumlah yang mencukupi telah melaksanakan kewajiban tersebut, gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Jika tidak ada satu pun orang yang melaksanakannya, semua orang yang memiliki kemampuan (untuk melaksanakan kewajiban tersebut) menjadi berdosa.” [3]
Kesimpulannya, hukum mempelajari ilmu duniawi (sains) sangat bergantung pada tujuan, apakah untuk tujuan kebaikan ataukah tujuan yang buruk. [4].
Oleh karena itu, ketika ilmu duniawi menjadi sarana untuk menegakkan kewajiban dalam agama, hukum mempelajari ilmu tersebut menjadi wajib. Dan ketika menjadi sarana untuk menegakkan perkara yang hukumnya sunah dalam agama, hukum mempelajarinya juga sunah.
Ketika menjelaskan kaidah fiqhiyyah,
الوسائل لها أحكام المقاصد
“Hukum sarana itu sebagaimana hukum tujuannya.”
Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullahu Ta’ala berkata, “Tercakup dalam kaidah pokok ini adalah wajibnya mempelajari ilmu industri (teknologi) yang dibutuhkan oleh manusia dalam perkara agama dan dunia mereka, baik perkara yang kecil maupun yang besar.” [5]
Semoga Allah Ta’ala mengaruniakan kepada kita ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.
Rujukan:
[1] Kitaabul ‘Ilmi, 1/125 (Maktabah Syamilah).
[2] Kitaabul ‘Ilmi, 1/2 (Maktabah Syamilah).
[3] Al-Qawaa’id wal Ushuul Al-Jaami’ah, hal. 39 (cet. Maktabah As-Sunnah).
[4] Kitaabul ‘Ilmi, 1/2 (Maktabah Syamilah).
[5] Al-Qawaa’id wal Ushuul Al-Jaami’ah, hal. 38.
Penulis: M. Saifudin Hakim
Sumber: Kipmi.or.id