Saat itu waktu dhuha menjelang akhir, bayangkan bagaimana terik dan menyengatnya mentari saat itu. Namun, Madinah saat itu tidaklah menyengat dan terik, justru sebaliknya, Madinah kelam dan gelap, “mendung” melingkupi segala penjuru kota Nabi tersebut, luasnya Madinah terasa sangat sempit bagi para sahabat. Kelam dan gelap menyelimuti hati para sahabat. Hari itu Senin, 12 Rabiulawal, sebelas tahun pascahijrah Nabi dari Makkah ke Madinah.
Hari-Hari Terakhir
Tersebut dalam banyak kitab sirah secara ijma’ tanpa khilaf bahwa sepulang dari Haji Wada’ Rasulullah jatuh sakit (sebagaimana manusia biasa), tepatnya di akhir bulan Safar. Bahkan, pada fase sakitnya tersebut—sebagai teladan bagi semesta—Rasulullah tetap melaksanakan kewajibannya, berkeliling ke bilik istri-istrinya dan memimpin salat kaum muslimin serta memberi nasihat bagi umat.
Semua terhenti ketika Rasul ada di rumah Ibunda Maimunah. Sebagai manusia yang dalam Al-Qur’an disebut basyarum mitslukum (manusia semisal kalian juga), rasa sakit yang Rasul rasa sudah tak tertahankan lagi. Kemudian, atas ijma’ dari para ibunda kaum muslimin, Rasulullah disepakati akan tinggal di bilik Ibunda Aisyah dan dirawat di sana.
Sejak itu, Rasulullah tidak lagi berkeliling ke bilik-bilik istrinya. Imam salat pun sudah berpindah ke pundak—manusia yang paling lembut pada umat ini—Abu Bakar. Akan tetapi, satu hal yang tetap Rasulullah lakukan, yaitu menasihati umat tentang betapa fundamentalnya kedudukan tauhid di kehidupan seorang muslim.
Hari itu Senin, 12 Rabiulawal tahun 11 Hijriah, setelah sakit sekitar dua pekan, Rasulullah berpulang, manusia paling mulia yang pernah ada itu kembali ke al-Rafiqi al-A’la. Beliau intiqal (berpindah) di pangkuan Ibunda Aisyah, sebelum wafat beliau bersiwak dengan kaifiat terbaik, dalam detik-detik terakhir manusia paling baik di muka bumi itu, beliau berucap la ilaaha illallah, inna li al-mauta sakaraat. Kemudian, sebagaimana yang dinukilkan Imam Bukhari dalam shahih–nya, tangan beliau menunjuk ke atas seraya memandang juga ke atas, kedua bibir mulia beliau berucap
مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَاللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَأَلْحِقْنِي بِالرَّفِيقِ الأَعْلَى اللهم الرفيق الأعلى
“Bersama orang-orang yang telah Engkau beri nikmat dari kalangan para Nabi, shiddiqin, syuhada’, dan shalihin. Ya Allah ampuni dan rahmati aku. Gabungkan aku bersama teman tertinggi. Ya Allah, aku memilih bersama teman-teman tertinggi.” (HR. Al-Bukhari)
Beliau mengulangi ucapan tersebut sebanyak tiga kali. Diriwayatkan dari Ibunda Aisyah bahwa beliau mendengar Rasul mengatakan, “Ya Allah, al-Rafiq al-A’la.” Rasulullah diberikan pilihan antara dunia dan akhirat, maka beliau memilih akhirat. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa sudah seharusnya kita meniru Beliau shallallahu alaihi wa sallam dalam hal ini.
Penutup
Disebutkan bahwa di antara faedah dari ijma’-nya pada ulama tentang tanggal wafatnya beliau adalah bahwa hari itu telah secara resmi terputusnya wahyu, kesempurnaan agama telah terjamin dan tidak ada wahyu walau sehuruf pun setelah itu.
Hal lain yang ingin penulis sebutkan adalah bahwa wujudnya Rasulullah di tengah-tengah para sahabat adalah anugerah yang sangat besar, beliau adalah sebab terang-benderang dan kebahagiaan, sama halnya dengan wafatnya beliau adalah sebab kegelapan dan kesedihan. Anas bin Malik menyebutkan kepada kita bahwa hari paling terang benderang dan bahagia bagi Madinah adalah hari tibanya beliau di Madinah, sedangkan hari terkelam dan paling menyedihkan dalam sejarah Madinah adalah hari wafatnya beliau.
Beliau shallallahu alaihi wa sallam merupakan yang terbaik dari manusia-manusia terbaik, juga hidup dengan cara terbaik di antara cara terbaik, dan kembali juga kepada Allah dalam keadaan terbaik di antara keadaan terbaik.
Maka dari itu, di antara cara terbaik dalam mencintai beliau adalah meneladani beliau dalam setiap aspek kehidupan beliau. Meneladani beliau dalam ibadah dan muamalahnya, dalam sabar dan syukurnya, dalam pemaaf dan pemurahnya, dalam diam dan bicaranya, dalam memimpin dan mendengar, dalam menegur dan memberi nasihat, dalam mencintai dan menyayangi, dalam tingginya perhatian kepada tauhid dan tegasnya kepada syirik, dan dalam setiap aspek kehidupan beliau.
Penulis: Misbahul
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana