Tepat enam tahun lalu, keberadaan santri di Republik ini mulai diperingati secara nasional pada 22 Oktober setiap tahunnya. Tanggal itu dipilih sebagai pengingat atas resolusi jihad dari K.H. Hasyim Asy’ari pada tanggal yang sama tahun 1945 silam. Dengan demikian, satu seremoni lagi bertambah dalam daftar seremoni-seremoni yang mesti diselenggarakan dalam lingkup daerah dan nasional.
Adalah Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 yang berperan menjadikan perayaan itu menasional dan menjadi sebuah perayaan rutinitas tahunan. Di balik itu, tentu saja ada harapan besar yang dibebankan di pundak para santri.
Bentuk dari harapan besar pada santri itu ditunjukkan oleh setiap tema tahunan yang diangkat pada perayaan hari santri. Seperti pada tahun ini, Kementerian Agama mengusung tema “Santri Siaga Jiwa dan Raga” sebagai bentuk harapan bagi santri untuk selalu siap dalam membela tanah air, mempertahankan persatuan bangsa dan ikut mewujudkan perdamaian dunia. Menteri Agama menegaskan agar Hari Santri dijadikan momen bagi para santri untuk selalu berpegang teguh pada nilai rahmatan lil’alamin. Harapan itu memang patut dibebankan kepada santri, apalagi jika kita menilik sejarah bagaimana santri berperan besar dalam wujudnya kemerdekaan Indonesia.
Santri: Realitas dan Harapan
Sebagai insan yang menerima porsi pendidikan agama lebih daripada masyarakat awam, sudah semestinya para santri menjalani kehidupan yang lebih baik secara sosial dan moral karena agama tujuannya adalah—meminjam istilah Natsir—menghidup-sempurnakan manusia. Namun demikian, sejak beberapa tahun belakangan, citra pesantren sebagai institusi pendidikan agama agaknya tercoreng dengan tingkah para santri yang kerap melestarikan praktik bullying, yang pada beberapa kasus sampai menyebabkan hilangnya nyawa anak manusia.
Bukan hanya bullying, praktik ghashab (pemerasan) pun yang dalam timbangan agama jelas haramnya, juga membudaya di lingkungan pesantren. Ini bukan upaya untuk menggeneralisasi, tapi, pada kasus ini, setidaknya pepatah karena nila setitik rusak susu sebelanga cukup relevan.
Selain itu, tidak sedikit santri yang melepas identitas kesantriannya saat di luar pesantren. Jika di lingkungan pesantren para santri tampak agamais dan religius karena ketatnya peraturan, sebagian santri justru merasa seperti bebas dari “penjara” dan hidup dengan kebiasaan yang berbeda 180 derajat ketika mereka berada di luar pesantren. Tak pelak lagi, hal tersebut menambah penilaian miring sebagian orang terhadap dunia pesantren.
Di samping itu, yang hari-hari ini cukup mengemuka, ada harapan khusus di pundak para santri dan memang seharusnya harapan itu ada pada mereka; santri diharapkan dapat menegakkan moderasi dalam kehidupan beragama. Prinsip-prinsip itu dirumuskan oleh Kemenag menjadi tawassuth, tawazun, tasamuh, i’tidal, musawa, dan syura. Dengan prinsip-prinsip tersebut, sudah seharusnya ruang dialektika terhadap berbagai perbedaan pendapat semakin terbuka dan disikapi dengan bijak, bukan malah membuat kericuhan dan memersekusi atau menghentikan paksa majelis ilmu kelompok lainnya yang berbeda, apalagi dengan kekerasan fisik. Sikap demikian jelas berbanding terbalik dengan prinsip-prinsip moderasi beragama.
Tentu jika kita dalami, akan kita dapatkan permasalahan di dunia santri yang lebih kompleks daripada yang terlihat di permukaan. Akan tetapi, hanya dengan belajar dan terus belajar saya yakin ragam permasalahan itu lambat laun akan terselesaikan. Tentu juga dengan bantuan dari para ustaz, kiai, abu, teungku, buya, tuan guru, dan segenap pimpinan pesantren yang memainkan peran signifikan dalam pertumbuhan pribadi para santri. Mereka semualah yang harus mengarahkan cita eksistensial para santri yang tentu saja bukan untuk mengejar berbagai ambisi pribadi, seperti ambisi politik atau kekuasaan.
Peringatan hari santri ini, sudah semestinya bukan semata dijadikan momentum untuk kembali kepada romantisme masa lalu tanpa kesungguhan untuk menatap masa depan, untuk Indonesia yang lebih baik dengan kehidupan beragama yang moderat, dengan para santri sebagai salah satu pilar pentingnya.
Penulis: Misbahul
Editor: Nauval Pally Taran