Tak ada soal jika harus turun jabatan, yang penting dapat tetap berbuat untuk umat, dalam posisi apa pun yang diamanahkan oleh negara. Itulah sikap yang dipegang kukuh Haji Rasjidi.
Rasjidi adalah menteri agama pertama Republik Indonesia ketika kementerian itu pertama kali dibentuk oleh Kabinet Syahrir I, 3 Januari 1946. Bahkan, sebelum Kementerian Agama itu lahir, Rasjidi sudah menduduki jabatan Menteri Negara, jabatan dalam zaman revolusi, ia ditugasi untuk mengurus soal agama dan peribadatan.
Pada saat Kabinet Syahrir II dibentuk, Rasjidi kembali dipercaya mengemban jabatan itu. Dan karena kualitasnya yang memang langka, Rasjidi nyaris menduduki jabatan itu tiga periode. Namun, sesuatu hal mengganjalnya tapi ia tetap biasa saja.
Menjelang Kabinet Syahrir III, Sukarno datang menemui Rasjidi. “Bagaimana ini Bung Haji Rasjidi, agaknya kiai-kiai Nahdlatul Ulama kurang menyukai bung di situ?” Sukarno menuturkan.
Rasjidi menangkap sinyal dari pernyataan Sukarno itu dengan baik, dan ia memang enggan bertahan soal jabatan. Posisi Rasjidi sebagai Menteri agama pun digantikan oleh Kiai Fathurrahman, dari Nahdlatul Ulama.
Namun, daya pikat Rasjidi tidak begitu saja sirna, negara masih mengharapkan kontribusinya; ia tetap saja dibutuhkan. Baru sepekan usai diistirahatkan dari jabatan itu, seorang utusan Sukarno datang membawa surat keputusan yang menetapkannya sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI.
Tanpa pelantikan atau semacam seremoni, Rasjidi langsung bertugas untuk posisi baru tersebut, posisi yang tentu tidak menguntungkan reputasinya jika dihitung dalam kalkulasi karier atau jabatan. Namun, itulah sikap negarawan yang ditunjukkan Rasjidi, sikap yang tampak mencocoki jargon Ikhlas Beramal Kementerian Agama—walau kita tahu, ikhlas adalah soal hati.
Pada 1947, Rasjidi juga tergabung dalam rombongan diplomasi yang bertolak ke Dunia Tengah (Dunia Arab) bersama Haji Agus Salim dan beberapa tokoh lainnya. Mewakili pemerintah Indonesia, rombongan diplomasi itu meminta pengakuan dan dukungan dari Dunia Arab atas kemerdekaan Indonesia. Tak lama setelahnya, Arab Saudi, Mesir, Irak, Yordania dan Palestina serta juga Liga Arab turut megakui dan mendukung penuh kemerdekaan Indonesia.
Rasjidi memang bukan orang baru dalam gelanggang perjuangan Indonesia: Dia serius terlibat dan berjuang dalam menggapai, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.
Ketika Dunia Arab pada 1945 mendengar getar proklamasi kemerdekaan Indonesia melalui gelombang radio, maka mereka sedang mendengar suara Rasjidi. Dialah yang menerjemahkan teks proklamasi ke dalam bahasa Arab dan menyuarakannya ke seantero Arab melalui siaran radio internasional.
Apa yang mengantarkan Rasjidi ke atas panggung-panggung penting republik di masa awal? Kualitas intelektual dan integritasnya mungkin jadi jawaban. Dia adalah binaan langsung Syekh Ahmad Surkati di Sekolah Al-Irsyad—guru yang merubah namanya dari Saridi menjadi Rasjidi. Lulus dari Al-Irsyad, Rasjidi melanjutkan kembara intelektualnya ke Kairo, Mesir. Di sana ia bersekolah di Darul Ulum sebelum masuk ke Universitas Kairo. Dalam kancah aktivisme, Rasjidi juga bergabung dengan Muhammadiyah dan menjadi tokoh penting organisasi itu.
Rasjidi adalah potret utuh seorang muslim taat yang bakti-baktinya pada republik membawa rahmat: Ia berkomitmen mantap pada Islam dan Indonesia. Pada 4 Januari 1946, satu hari setelah ia diangkat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia, ia memberikan pidato pertamanya dan menyampaikan bahwa kementerian agama hadir untuk menjamin kemerdekaan tiap pemeluk agama dalam menjalankan keyakinannya.
Sebagai pejabat republik, ia menghargai penuh umat agama lain dalam cara-cara yang selalu wajar, tanpa merasa perlu bersikap berlebihan untuk menyenangkan siapa saja dan akhirnya malah menggelisahkan umat Islam sendiri.
Rasjidi memahami betul soal moderasi, persoalan yang sudah selesai dalam ajaran Islam. Dan tentu, moderasinya bukan sekularisasi dan desakralisasi, ia juga menolak tegas segala ide yang berbau pluralisasi dan sinkretisasi agama, hal-hal yang sekarang kian sering dipariwarakan. Dalam menegakkan moderasi, kritik-kritik tajam Rasjidi tetap terjaga dan menyala terhadap pikiran mana saja yang mengancam kelurusan pandangan umat Islam.
Bahan Bacaan:
– Lukman Hakiem, Dari Panggung Sejarah Bangsa: Belajar dari Tokoh dan Peristiwa.
– Endang Basri Ananda et al, 70 Tahun Prof. DR. H.M. Rasjidi.
Penulis: Nauval Pally Taran