Syahdan, Mustafa al-Ghayailani pernah menggambarkan betapa luar biasanya peran seorang pemuda di tengah kehidupan umat, dalam sebuah kalimat, “Sesungguhnya pada tangan-tangan pemudalah terdapat urusan umat dan pada kaki-kaki merekalah terdapat kehidupan umat.” Itu kalimat yang membuat kita gelisah ketika menimbang hari-hari sekarang. Wa bil khusus, ketika melihat kondisi kebanyakan pemuda di Aceh saat ini. Sebuah daerah di ujung Sumatera yang dulu pernah begitu digdaya menguasai semenanjung Melayu hampir lima abad lamanya, wilayah yang masyarakatnya masih cukup sering tenggelam dengan romantisme masa lalu, wilayah dengan gelar Serambi Mekkah yang meskipun sekarang lebih mirip dengan Serambi Kopi.
Ada masalah serius yang melilit para pemuda Aceh saat ini. Banyak dari mereka yang tersesat di belantara chip (game judi online). Pada banyak kasus, masalah ini membawa kemudharatan yang tidak ringan. Tak jarang, demi se-B chip, di antara mereka rela mencuri.
Masalah serius lagi memprihatinkan itu menggerakkan MPU Aceh sebagai otoritas resmi keagamaan mengeluarkan fatwa haram akan game judi online tersebut, beberapa waktu yang lalu. Meski pada banyak hal fatwa MPU mempunyai wibawa dan berpengaruh secara sosial, tapi, dalam masalah ini, fatwa agaknya itu tidak mampu mengubah para pemuda yang kian canggih dan intens berkutat dengan game judi online tersebut.
Kini, kala sejumlah negara bersiap beralih dari revolusi industri 4.0 menuju 5.0, kala pemuda di belahan dunia lain sibuk mengupayakan diri bersaing dalam kemajuan di bidang teknologi informasi, di sini, dalam kantung-kantung peradaban warung kopi, di sebelah rumah kita, di ujung gang, atau bahkan di kantin-kantin menara gading (universitas) kebanggaan rakyat Aceh, para chippers (pemburu chip) berlomba mengantongi chip yang memang katanya dapat ditukar dengan rupiah.
Para chippers ini umumnya didominasi oleh para pemuda, walau tak sedikit pula kita temukan para sepuh turut serta. Pemandangan para pejuang chip, yang sedang asik dan khusyuk dengan gawainya masing-masing, menjadi pemandangan khas umumnya warung kopi di ibu kota provinsi. Dengan segelas kopi, seringnya pancung, mereka dapat bersemayam hingga berjam-jam. Tugas kuliah pun kerap menjadi alasan kepada orang tua agar mereka dapat pulang larut malam, atau bahkan subuh hari.
Alasan mereka memainkan judi online juga beragam. Seorang narasumber bernama Navri (nama samaran) misalnya, ia menyebutkan bahwa alasannya bermain hanya untuk mengisi waktu saja, seru-seruan, namun banyak pula orang-orang yang bermain dengan motif ekonomi, transaksi chip. Berhutang atau bahkan mencuri kadang jadi pilihan untuk soal itu.
Saat ditanya mengenai durasi dan intensitas bermain game judi online tersebut, Navri menyebutkan itu bergantung jumlah chip, jika banyak bisa sampai berjam-jam hingga sehari suntuk. Harga chip biasa berkisar antara 60 ribu hingga 70 ribu rupiah per B-nya.
Narasumber yang lain, Tomy (juga nama samaran), menyebutkan bahwa ia pernah ketiban untung besar setelah berhasil mengantongi chip dalam jumlah yang begitu banyak. “Awalnya ikut-ikutan kawan aja, terus keterusan, dan ga ada niat juga untuk cari untung, tapi malah sering menang dan dapat untung besar.”
Pemuda Sebagai Harapan
Dalam masa-masa ini, jumlah penduduk dengan usia produktif, para pemuda, memang mendominasi masyarakat di banyak wilayah—bonus demografi. Hal tersebut cukup disyukuri banyak kalangan sebagai masa kemajuan dan tingginya produktivitas, kreativitas, dan harapan positif lainnya.
Ada harapan besar di mana para pemuda akan memikul beban untuk kepentingan orang banyak di masa depan. Untuk itu, para pemuda tidak boleh dibiarkan lalai untuk hal-hal negatif dan tidak berfaedah. Jangan sampai akhirnya mereka menjelma sebagai lost generation. Rasa abai dari para tokoh masyarakat dan kurangnya perhatian dalam mempersiapkan generasi penerus mereka serta gagalnya sistem pendidikan dalam menciptakan insan yang beradab dan berkarakter, turut menjadi sebab yang akan terus mendegradasi kualitas para pemuda.
Dalam dunia Pendidikan, adab dan ilmu agama perlu dicanangkan kembali secara serius sebagai penentu basis moral para pemuda. Orang tua juga harus turut serta dalam perkembangan dan pendidikan anak. Pemerintah harus lebih proaktif dalam menciptakan panggung dan memberikan kesempatan bagi para pemuda. Dalam pada itu, fungsi kontrol sosial dalam masyarakat harus hidup dengan baik.
Dengan semua itu, para pemuda akan dapat memberi pengaruh positif dan signifikan bagi masyarakat; membangun masyarakat, bukan malah sebaliknya menjadi penghambat bagi kemajuan masyarakat.
Penulis: Misbahul
Editor: Nauval Pally Taran