Sejak dibentuk akhir 1990-an sebagai badan internasional guna melawan krisis keuangan global, Kelompok G20 sudah berubah menjadi forum merundingkan masalah-masalah paling mendesak yang dihadapi dunia yang bukan lagi cuma soal ekonomi dan perdagangan.
Pertemuan G20 di Roma, Italia, pada 30-31 Oktober ini bahkan mengimbuhkan masalah aksesibilitas dan distribusi vaksin, serta perubahan iklim sebagai prioritas mendesak bagi G20.
Mengutip laporan Reuters, prioritas-prioritas itu bahkan sudah terlihat jelas pada rancangan komunike Pertemuan G20 di Roma ini ketika negara-negara besar berusaha memperkuat komitmen menangani perubahan iklim, selain mengendurkan tarif pajak kepada korporasi mulai 2023 demi menghentikan parkirnya dana swasta di surga-surga pajak yang selama ini dirasa menggerogoti kemampuan negara dalam menghadirkan ekosistem fiskal yang adil.
Pertemuan G20 kali ini juga membidik target vaksinasi Covid-19 sebesar 70 persen total penduduk dunia sampai pertengahan 2022, selain membentuk gugus tugas memerangi pandemi di masa depan.
Tiga isu itu bahkan eksplisit diutarakan Perdana Menteri Italia Mario Draghi yang menjadi tuan rumah Pertemuan G20 di Roma ini.
G20 yang terdiri dari tujuh negara anggota G7 dan 13 negara berperekonomian besar lainnya termasuk Indonesia ini menyumbang lebih dari 80 persen produk domestik bruto global, 60 persen penduduk dunia, dan juga menyumbang sekitar 80 persen emisi gas rumah kaca seluruh dunia.
Kebanyakan pemimpin G20, termasuk Presiden Amerika Serikat Joe Biden, akan lanjut terbang keesokan hari begitu KTT G20 selesai menuju Glasgow guna menghadiri KTT Iklim yang diadakan PBB yang dikenal dengan COP26 yang merupakan forum global dalam mengatasi ancaman kenaikan iklim.
Sayang, Pertemuan G20 ini tak dihadiri Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin yang memilih mengikutinya dari tautan video.
Urgensi terbesar pertemuan ini adalah bagaimana G20 memimpin dunia mengatasi pemanasan global. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson bahkan mendesak aksi lebih berani dalam soal ini, karena kalau tidak, maka peradaban dunia bakal runtuh secepat ambruknya imperium Romawi kuno.
Perubahan iklim dan pemanasan global sendiri menjadi isu sentral dalam kerangka terjadinya perubahan-perubahan besar di dunia ini, mulai dari konflik politik, sampai krisis ekonomi dan sistem kesehatan, bahkan bisa bertautan langsung dengan virus dan penyakit, termasuk virus corona baru yang menciptakan penyakit Covid-19.
Memang tak ada bukti langsung perubahan iklim telah memengaruhi penyebaran Covid-19, namun sejumlah kalangan termasuk Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Harvard di Amerika Serikat, menyebutkan perubahan iklim mengubah cara manusia berhubungan dengan spesies lain di Bumi dan ini berpengaruh besar terhadap kesehatan manusia, selain meninggikan risiko infeksi.
Memicu Konflik
Menurut Harvard, manakala Bumi memanas, hewan besar dan kecil, baik di darat maupun di laut, bergerak ke kutub Bumi guna menghindari panas. Akibatnya, binatang melakukan kontak dengan fauna lain yang sebelumnya tidak dilakukan. Kondisi ini kemudian menciptakan kemungkinan masuknya patogen ke inang baru.
Akar perubahan iklim ini banyak sekali, salah satunya deforestasi yang menjadi penyebab terbesar hilangnya habitat di seluruh dunia, sementara hilang habitat ini memaksa fauna bermigrasi untuk kemudian membuat kontak dengan binatang atau manusia lain yang lalu berbagi kuman.
Peternakan skala besar juga bisa menjadi sumber penularan infeksi dari hewan kepada manusia sehingga menaikkan risiko penyakit menular.
Iklim yang berubah membuat kondisi lebih menguntungkan bagi tersebarnya penyakit-penyakit menular, termasuk penyakit-penyakit yang dibawa nyamuk seperti malaria dan demam berdarah.
Tidak hanya itu, perubahan iklim juga memicu konflik, instabilitas politik dan ekonomi, bahkan menurut UNESCO bisa mengubah lanskap fisik dan geopolitik dunia yang mengancam stabilitas kawasan-kawasan tertentu yang sudah rentan konflik seperti Tanduk Afrika.
Tingkat perubahan iklim belakangan tahun ini belum pernah dialami manusia sebelumnya dan berdampak besar kepada kesediaan sumber daya yang diandalkan manusia dalam menjaga kelangsungan hidup, keamanan, dan kemakmuran, khususnya pangan dan air.
Dalam tataran paling praktis, perubahan iklim membuat siklus cuaca berubah dan kemudian merusak pola tanam dan panen sehingga pasokan produk pertanian terganggu dan kemudian membuat harga bergejolak. Di beberapa negara, gejolak harga produk pertanian bisa berimbas kepada sektor-sektor lainnya yang akhirnya mengganggu output ekonomi dan inflasi. Akhirnya ini semua masuk pelataran politik dan sistem pengambilan kebijakan politik.
Situasi rumit seperti itu bisa membuat negara menjadi rapuh untuk kemudian memicu masalah-masalah keamanan.
Dalam kata lain, tekanan perubahan iklim terhadap sumber daya alam bisa menggerus kapasitas negara dalam mengatur dirinya, termasuk dalam memenuhi tuntutan penduduknya akan ketersediaan sumber daya dasar seperti makanan, air, energi dan lapangan kerja.
Jika tidak dikelola dengan baik dan komprehensif, maka situasi seperti ini bisa meluber kepada masalah legitimasi pemerintahan yang akhirnya memicu konflik internal, bahkan kehancuran negara itu.
Terutama untuk kawasan-kawasan tertentu yang memang rawan konflik, perubahan iklim dapat menghadirkan tantangan serius terhadap stabilitas dan legitimasi negara atau rezim. Dan yang tadinya konflik lokal menyangkut akses ke sumber daya makanan dan air pun bisa meluas ke negara tetangga.
Harus Disikapi Serius
Intinya, perubahan iklim secara tak langsung menyebabkan konflik. PBB menyebut skenario ini bakal kian nyata pada masa mendatang.
Berdasarkan sejumlah penelitian dan pemodelan mengenai dunia di masa depan, jika keadaan ini dibiarkan, maka perubahan kondisi iklim bisa menaikkan risiko keamanan, termasuk kemungkinan semakin banyaknya konflik.
Untuk itulah, rekomendasi PBB dan komunitas ilmiah menyebutkan dunia harus berusaha keras menjaga kenaikan 1,5 derajat Clecius.
Masalahnya, sampai menjelang hari kedua Pertemuan G20 di Roma ini, ternyata banyak perbedaan yang harus dijembatani menyangkut cara dunia menghadapi tren kian panasnya Bumi.
Pada hari pertama pertemuan ini memang fokus membahas kesehatan dan ekonomi, namun pada hari kedua ini masalah iklim dan lingkungan menjadi subjek pembicaraan.
Namun, berdasarkan laporan Reuters, rancangan komunike G20 di Roma sepertinya tak akan tegas mengatakan bagaimana seharusnya dunia harus mengatasi perubahan iklim dan menjaga ambang batas kenaikan 1,5 derajat Celcius seperti sudah ditetapkan PBB.
Apalagi ada perbedaan komitmen antara polutan terbesar dunia, China, yang membidik nol emisi pada 2060, padahal PBB menginginkan target itu sebelum 2050. Polutan-polutan besar lainnya seperti India dan Rusia malah tak mau terpaku pada tenggat 2050.
Oleh karena itu, G20 kemungkinan tak bisa berbuat lebih banyak dalam memenuhi janji “berbuat sekeras mungkin”, termasuk dalam hal tidak membangun pembangkit listrik tenaga uap yang baru sampai 2030-an dan dalam soal menjanjikan penghapusan subsidi bahan bakar fosil.
Situasi ini diperumit oleh keengganan sejumlah negara berkembang dalam berkomitmen menekan tingkat emisi, kecuali negara-negara kaya memenuhi janji 12 tahun lalu dalam memberikan 100 miliar dolar AS per tahun mulai 2020 guna membantu negara-negara berkembang mengatasi dampak pemanasan global. Janji ini masih belum ditepati.
Untuk itu komunike Pertemuan G20 diyakini tak akan sekuat yang direkomendasikan pakar dan PBB. Namun, dunia sudah bersepakat bahwa perubahan iklim harus disikapi dengan serius sekali.
Penulis: M Jafar Sidik
Sumber: Antara News