Seperti banyak orang Minangkabau lainnya, Bey Arifin juga merantau. Dia meninggalkan kampung halamannya pada 1939. Bey tidak bermodal dengkul. Sebagai lulusan Islamic College Padang, setidaknya dia bisa jadi guru agama Islam.
Sepanjang karier sebagai guru, dia pernah mengajar di Kalimantan Selatan sejak 1940 hingga 1945. Sedari muda pula, Bey Arifin sudah menulis di majalah. Dia kemudian tak hanya menulis di majalah, tetapi juga menulis buku. Guru yang piawai menulis biasanya dianggap mumpuni dan dihormati murid-muridnya.
Dengan menumpang kapal Slout van Dieman, seperti dicatat Wajidi dalam Nasionalisme Indonesia di Kalimantan Selatan 1901-1942 (2007: 56), Bey Arifin yang usianya sekitar 22 tahun berangkat bersama Maisyir Thaib, kawannya yang masih berusia 19 tahun, ke Banjarmasin. Dari kota pelabuhan penting di Kalimantan Selatan itu, mereka menuju daerah Rantau untuk mengajar di Noormal School Islam. Sekolah ini ditujukan untuk mendidik calon guru. Gaji yang dijanjikan 25 gulden dan jika mau membuka kelas malam—misalnya, dengan pelajaran bahasa Inggris—ada penghasilan tambahan 25 gulden lagi.
Setelah Jepang menyerah kalah, dengan menumpang Perahu Madura, Bey Arifin dan keluarganya meninggalkan Kalimantan menuju Surabaya pada September 1945. Bey pun “terjebak” di Surabaya ketika ada krisis antara kaum Republiken dan Tentara Sekutu (Inggris). Menurut Totok Juroto dalam Perjalanan Panjang Seorang Dai: K.H. Bey Arifin (1991: 96–98), “[Bey Arifin] terlibat langsung dalam perang 10 November di Surabaya.” Pada masa Revolusi itu, Bey Arifin tergabung dalam Laskar Hizbullah.
Juru Dakwah hingga Imam Tentara
Pada periode Revolusi, Bey Arifin pernah tinggal di Madiun. Ketika pecah peristiwa Madiun, Bey yang tinggal tak jauh dari markas CPM dikabarkan terbunuh. Bukan sekali-dua kali dia dikabarkan meninggal. Waktu menyeberang dari Banjarmasin ke Surabaya, kapalnya juga dikabarkan tenggelam.
Setelah revolusi agak reda, Bey dapat pekerjaan di Surabaya. Dia dijadikan guru agama di Yayasan Pendidikan Al Irsyad Surabaya pada akhir Juli 1949. “Bey Arifin memboyong semua keluarga ke Surabaya. Dengan bantuan dari Al Irsyad, kepindahan Bey Arifin dari Madiun ke Surabaya tetap menggunakan pesawat terbang,” tulis Totok Juroto (hlm. 133). Kala itu jalur darat dianggap belum aman.
Era kemerdekaan adalah masa kariernya sebagai juru dakwah. Lantaran kemampuan menulisnya, dakwah Bey makin moncer. Dia tidak lagi hanya mengajar di sekolah atau berdakwah di kalangan sipil, tetapi juga di kalangan tentara. Bey pernah menjadi imam tentara, bagian dari Pusat Rohani Islam Angkatan Darat, di Kodam Brawijaya. Sebagai imam yang ahli agama, tentu dia bukan prajurit bawahan. Dia diberi pangkat perwira; dimulai dengan letnan, naik menjadi kapten, dan akhirnya mayor.
Sebagai imam yang berceramah, Bey Arifin suka menyampaikan pesan dengan diselingi anekdot-anekdot lucu. Karena itulah, menurut Totok Juroto, “Ia sangat disenangi oleh semua lapisan tentara baik dari prajurit bawahan sampai para perwira tingginya,” tulis Totok Juroto (hlm. 137).
Rohaniawan tentara lain, yang mengurusi agama Kristen Protestan, pun nyaman dengan Bey Arifin yang Islam.
Bertahun-tahun di Angkatan Darat, tentu saja dia punya relasi dengan tokoh militer, termasuk di tingkat jenderal. Letnan Jenderal Soedirman, ayah dari Mayor Jenderal Basofi Soedirman mantan Gubernur Jawa Timur, dekat dengan Bey Arifin. Bekas Panglima Tentara dan Teritorium Jawa Timur ini menganggap Bey Arifin sebagai seorang guru. Dalam biografi Bey Arifin dan bukunya sendiri, Soedirman menulis tulisan pendek dengan judul “Ustadz H. Bey Arifin Sebagai Perwira Rohani Dalam Kesatuanku dan Juga Sebagai Guruku”. Soedirman sendiri juga seorang guru sebelum jadi tentara, seperti Bey Arifin.
Tetap Menulis dan Menulis
Pada masa-masa menjadi imam tentara itu, Bey Arifin tetap menulis. Pada 1969 dia merilis buku Hidup Sesudah Mati. Itu bukan buku pertamanya. Pada tahun 1956 saja, dia sudah merilis Rangkaian Cerita Dalam Al-Quran. Buku ini berkali-kali dicetak ulang, dengan beberapa ejaan yang berbeda.
Mengenai latar belakang penulisan Rangkaian Cerita Dalam Al-Quran, Bey mengatakan, “kisah-kisah yang tercantum di dalamnya (Alquran) bernilai tinggi, penuh dengan pelajaran menarik hati dan mengagumkan. Dengan membacanya akan tertanamlah dalam jiwa kita bibit-bibit dan sifat ahlak yang suci dan murni.”
Karya lainnya, yang berkali-laki diterbitkan pula, adalah Mengenal Tuhan (1963) dan Samudra Al-Fatihah (1966). Selain menulis bukunya sendiri, dia juga menerjemahkan beberapa buku berbahasa asing, seperti biografi Nabi Muhammad.
Deliar Noer dalam obituarinya kepada Bey Arifin, “Mengenang Bey Arifin”, yang terdapat dalam buku Membincangkan Tokoh-Tokoh Bangsa (2001: 49), menyebut, “puluhan buku yang telah dipersembahkan ke tengah masyarakat, di antaranya ada yang sampai belasan kali dicetak ulang […] Buku-bukunya tersebar sampai ke Singapura, Brunai Darussalam dan Malaysia. Ia memang produktif.”
Lewat buku-bukunya, Bey Arifin berusaha membumikan isi Al-Qur’an ke dalam kehidupan masyarakat di Indonesia dan sekitarnya. Dia tidak berumit-rumit untuk mengajarkan segala hal soal Islam kepada masyarakat banyak.
Laki-laki yang pernah jadi anggota Konstituante dari Masjumi ini meninggal pada 30 April 1995, di usia 77 tahun. Menurut Deliar Noer, lewat buku-bukunya dan ceramah-ceramahnya, Bey Arifin tampaknya terpengaruh oleh ucapan Nabi Muhammad, “Sampaikan ajaranku, walaupun sepatah kata.” Itulah yang dilakukan Bey Arifin sepanjang hayatnya.
Penulis: Petrik Matanasi
Sumber: Tirto