Anita Nayyar, 31 tahun, seorang psikolog dan aktivis di London
Sebagai seorang Anglo-India dengan kakek-nenek Hindu yang hidup sepanjang masa pemisahan India dan Pakistan, dan melihat keluarga ditembak oleh geng muslim, saya dibesarkan dengan pandangan yang agak suram tentang apa artinya menjadi muslim.
Saya adalah seorang Kristen yang sangat religius, terlibat dalam gereja, dan ingin menjadi pendeta. Pada usia 16 tahun, saya memilih perguruan tinggi sekuler, tempat saya berteman dengan orang muslim. Saya terkejut dengan betapa normalnya mereka, dan betapa saya menyukai mereka.
Saya memulai perdebatan, awalnya untuk memberi tahu mereka betapa buruknya agama yang mereka ikuti, dan saya mulai belajar bahwa itu tidak terlalu berbeda dengan agama Kristen. Bahkan, tampaknya lebih masuk akal. Butuh waktu satu setengah tahun sebelum saya sampai pada titik peralihan, dan saya menjadi seorang muslim pada tahun 2000, saat berusia 18 tahun. Ibu saya kecewa dan ayah saya diam-diam menerimanya. Adapun anggota keluarga saya yang lain merasa dikhianati.
Saya dahulu memakai syal, yang bisa berarti banyak hal. Ini bisa menjadi penanda iman seseorang, yang berguna ketika Anda tidak ingin diceramahi atau diajak minum. Hal ini dapat menarik perhatian negatif dari orang-orang yang menstereotipkan perempuan muslim yang “terlihat” sebagai tertindas atau teroris. Hal ini juga bisa mendapatkan reaksi positif dari masyarakat muslim.
Akan tetapi, orang-orang mengharapkan perilaku tertentu dari seorang wanita berjilbab, dan saya mulai bertanya-tanya apakah saya melakukannya karena Tuhan atau untuk memenuhi peran sebagai wanita saleh. Pada akhirnya, tidak mengenakan jilbab telah membantu membuat iman saya tidak terlihat lagi dan memungkinkan saya untuk meninjau kembali hubungan pribadi saya dengan Tuhan.
Salah satu tantangan terbesar yang saya hadapi adalah larangan perempuan di masjid. Sedih rasanya pergi ke suatu tempat, bersiap untuk berhubungan dengan orang yang lebih mulia, hanya untuk disuruh pergi karena perempuan tidak boleh ada di sana.
Dahulu, saya pernah salat di tempat parkir, koridor kantor saya, dan di warung ayam goreng. Ironisnya, sementara tempat kerja saya akan merasa diskriminatif jika melarang saya salat, beberapa masjid justru tidak.
Pewarta: Veronique Mistiaen
Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana
Sumber: The Guardian