Dilihat dari asal-usul kata, bahasa dalam Pancasila cukup beragam. Selain Melayu (yang diikrarkan menjadi bahasa Indonesia pada Sumpah Pemuda tahun 1928), kelima sila itu juga menyerap sejumlah kata asing, seperti Sanskerta, Yunani, Inggris, dan Arab. Catatan ini akan fokus membahas delapan kata Arab dalam Pancasila.
Kedelapan kata tersebut adalah adil dan beradab (dalam sila kedua); kerakyatan, hikmat, permusyawaratan, dan perwakilan (sila keempat); serta keadilan dan rakyat (sila kelima).
Apa akar dan makna dari tiap-tiap kata itu? Berikut penjelasan singkat satu per satu kata yang disarikan dari beberapa sumber, antara lain al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, al-Ma`aniy, dan Al-Munawir.
Adil, aslinya `adil, merupakan isim fa`il (subjek) dari kata kerja ’adala-ya`dilu-`adlan-`adalatan. Dalam serapan bahasa Indonesia, adil lebih lekat sebagai kata sifat.
Kata benda (masdar)-nya adalah `adl atau `adalah. Dalam bahasa Indonesia, kata benda dibentuk dengan menambahkan awalan ke- dan akhiran -an: keadilan. Bentuk subjek dan kata benda yang asli dalam bahasa Arab telah bergeser saat diserap ke dalam bahasa Indonesia.
Kata `adl diartikan sebagai sikap seimbang atau tepat. Ungkapan wad`u syaiin fi mahallihi (meletakkan sesuatu pada tempatnya) kerap digunakan untuk menafsirkan kata ini. Kemanusiaan yang adil pada sila kedua Pancasila dapat dipahami sebagai prinsip memperlakukan manusia secara sama, sederajat, tanpa pembedaan.
Pada sila kelima, keadilan sosial menekankan asas bahwa semua penduduk hendaknya memperoleh persamaan perlakuan dalam berbagai bidang kehidupan.
Beradab berasal dari kata adab. Artinya, sopan santun, tata krama, atau budi pekerti. Dengan awalan ber-, beradab, kata ini bermakna memiliki atau berlaku sesuai karakter sopan. Sering juga ditemukan kata peradaban untuk menggambarkan kemajuan tatanan kehidupan. Adapun kata biadab malah berarti sebaliknya, yaitu tanpa adab.
Kerakyatan dan rakyat berakar dari kata yang sama, ra’iyyat. Artinya, sekumpulan orang atau penduduk, atau komunitas yang terpimpin. Makna ini selaras dengan ujaran terkenal bahwa setiap manusia adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpin (rakyat)nya.
Kerakyatan mengarah pada konsep yang sepenuhnya bermuara pada rakyat. Pada sila keempat, kerakyatan dipahami sebagai prinsip yang mengutamakan rakyat. Pada sila kelima, seluruh rakyat mencakup penduduk atau semua warga negara.
Kata hikmat merupakan kata benda turunan dari kata kerja hakama-yahkumu-hukman-hikmatan. Hikmat berarti pengetahuan mendalam tentang hakikat sesuatu. Ini merupakan bentuk tunggal. Bentuk jamaknya, hikam atau hikmaat.
Dari sini, kemudian muncul istilah ahli hikmat yang dalam budaya Nusantara sering dilekatkan pada seseorang yang memiliki kemampuan melihat sesuatu (lewat mata batin) yang melampaui mata awam. Secara semantik, konotasi ini tidak terlalu meleset.
Pada sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dapat dipahami sebagai prinsip bahwa pemimpin harus memiliki bekal pengetahuan mendalam atas segala sesuatu yang digunakan secara arif, cermat, dan hati-hati. Jika sungguh-sungguh memegang prinsip hikmat kebijaksanaan, pemimpin akan dapat menghindari sikap sewenang-wenang, apalagi hanya mengutamakan kepentingan kelompoknya atau diri sendiri.
Baca juga: Agar Kita Menghargai Bahasa Arab sebagai Bahasa Modal
Permusyawaratan berasal dari kata musyaawarah yang dibentuk dari kata kerja syaawara-yusyaawiru-musyaawaratan. Kata ini diserap oleh bahasa Indonesia dengan maksud pembahasan bersama dengan menghargai berbagai pendapat dalam memutuskan suatu perkara. Dari perspektif ini, kemudian dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis semakna dengan forum.
Kata perwakilan, yang diserap dari wakil, merupakan isim fa`il (subjek) dari kata wakala. Artinya, utusan atau orang yang mendapat kuasa untuk menggantikan orang atau sekelompok orang lain dalam satu urusan. Kata ini kemudian juga dinukil untuk nama Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan berarti lembaga atau kantor.
Diksi dalam permusyawaratan/perwakilan pada sila keempat dapat dipahami bahwa kepemimpinan negara ini ditangani oleh lembaga yang mengedepankan prinsip musyawarah dan perwakilan. Semua keputusan mempertimbangkan dan ditentukan oleh suara rakyat melalui orang-orang yang terpilih sebagai utusan yang memperjuangkan kepentingan rakyat.
Delapan serapan kata Arab—juga serapan dari Sanskerta, Yunani, dan Inggris—menunjukkan keterbukaan dasar negara Indonesia. Sebagaimana pesan dalam setiap sila, bahasa dalam Pancasila pun bersifat kosmopolit alias terbuka pada kebudayaan global.
Sikap ini dipengaruhi oleh para pendiri bangsa yang memang akrab dengan istilah dan konsep Arab yang identik dengan kebudayaan Islam. Maklum saja, sebagian anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang menyiapkan dasar negara, seperti Soekarno dan Mohammad Yamin, juga mempelajari literatur Islam. Maka dari itu, agak aneh jika sebagian kelompok di negeri ini masih ngotot saja mempertentangkan Pancasila dengan Islam.
Penulis: Ilham Khoiri
Sumber: Kompas.id