Ibu-ibu, bercita-citalah menjadi ibu rumah tangga yang baik.
Bercita-citalah menjadi feminin, seorang istri yang punya sifat kewanitaan yang mendukung dan tunduk pada suaminya.
Bercita-citalah untuk bisa memasak dengan baik, menjalankan rumah tangga dengan baik, melahirkan dan membesarkan serta mengasuh anak-anak dengan penuh kasih sayang.
Bercita-citalah menjadi wanita yang berkarakter baik, bernilai baik dan penuh sopan santun.
Bercita-citalah untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada suami Anda dan mengabdikan diri sepenuhnya untuk rumah dan keluarga Anda.
Bercita-citalah menjadi hamba Allah yang tulus dan taat yang menikah dengan niat yang baik: mengikuti sunnah, mencari ajr (pahala), dan mengharapkan surga.
Jangan bercita-cita menjadi wanita karier yang ambisius.
Jangan bercita-cita menjadi akademisi yang kompetitif.
Jangan bercita-cita untuk kebebasan, suka berpergian atau menjadi pengendali para pria.
Saya tahu, semua yang saya katakan di atas akan membuat marah beberapa orang dan memicu rentetan komentar merendahkan dan mengomentari: “Apa benar Anda seorang lulusan Harvard?”
Namun ini, sejujurnya, adalah apa yang hampir semua pria inginkan dari seorang istri dan apa yang hampir semua wanita inginkan untuk benar-benar bahagia.
Sifat manusia tidak banyak berubah, bahkan jika budaya berubah dengan begitu dramatis.
Ini adalah kebenaran kodrati yang diketahui oleh nenek-nenek kita dan ibu-ibu mereka. Ini adalah akal sehat yang diajarkan sejak turun temurun.
Pria menghasilkan uang dan wanita mengurusi rumah.
Pria penyedia dan pelindung, dan wanita pengasuh dan penghias.
Pria keluar rumah dan menghasilkan; wanita tinggal di rumah dan menjaga benteng. Keduanya adalah pekerjaan.
Kelembutan dan keindahan dikagumi; kelemahan dan kerapuhan dilindungi.
Kelebihan pria ada pada kekuatan fisik, dan kehebatan wanita ada pada kekuatan emosional.
Pria menyukai wanita feminin dan wanita menyukai pria maskulin.
Pria adalah pria dan wanita adalah wanita.
Ini tidak rumit.
Namun, kita para wanita modern yang mengaku “terbebaskan, mandiri, dan berdaya”, telah meninggalkan kebijaksanaan cerdas ibu-ibu kita, dengan kehendak sendiri dan menuju kesengsaraan kita sendiri. Kita telah jatuh ke dalam perangkap pendidikan, perangkap karier, perangkap kesetaraan.
Saya tidak mengatakan Anda tidak bisa menyentuh hal-hal itu, yang hendak saya katakan, jangan biarkan hal-hal itu menjadi fokus Anda.
Fokus berlebihan pada masa pendidikan tinggi atau karier dengan mengorbankan pernikahan akan merampas tahun-tahun terbaik dan paling produktif (subur) dalam hidup Anda.
Di lubuk hatinya yang terdalam, hampir setiap wanita ingin menikah. Dia rindu berada dalam hubungan yang berkomitmen dan kukuh dengan pria maskulin gagah yang menunjukkan cintanya dan menjaganya serta memiliki takwa kepada Allah. Dia menginginkan kegembiraan memeluk anak-anaknya dan kehangatan rumah tangga yang bahagia.
Tentu saja kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan dalam hidup—tetapi penting untuk mengetahui apa yang ingin kita cita-citakan.
Jika kita memiliki semua kehendak yang salah berdasarkan sistem nilai yang bermasalah dan tidak koheren, lalu, bagaimana kita bisa bertahan pada kebahagiaan yang sesungguhnya?
Penulis: Umm Khalid (Lulusan Harvard University)
Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor: Nauval Pally Taran
Sumber: Muslim Skeptic