SAHIH.CO, BANDA ACEH – Keputusan hakim kasasi di Mahkamah Agung bagi perusahaan yang dituduh membakar lahan dan hutan di Kalimantan Tengah dengan vonis bebas dikhawatirkan bakal menjadi preseden buruk dalam memutus perkara karhutla pada masa mendatang. Kasus gugatan tahun 2019 itu mendakwa PT Kumai Sentosa membayar ganti rugi kebakaran lahan sebesar Rp935 miliar.
Sejumlah aktivis lingkungan mendesak jaksa mengajukan peninjauan kembali atas vonis tersebut. Hal ini karena putusan itu dianggap janggal lantaran hakim tidak jeli dalam menemukan fakta di lapangan.
Adapun Walhi mencatat gugatan karhutla yang menang di pengadilan sebesar Rp18 triliun tak kunjung dieksekusi hingga kini oleh pemerintah.Pengampanye Walhi Nasional, Uli Artha Siagian, memiliki kekhawatiran bahwa gugatan banding mereka di Pengadilan Tinggi Jambi terhadap dua perusahaan atas karhutla yang terjadi dalam konsesi mereka bakal bernasib sama seperti PT Kumai Sentosa yang lepas dari jerat hukum.
Pasalnya, pada 28 Oktober lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jambi dalam putusan sela menolak gugatan mereka dengan alasan tidak memiliki otoritas dalam memeriksa dan memutus perkara. Bahkan, hakim menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp4,5 juta.
“[Khawatir] pasti ada karena mereka mencoba tunjukkan di putusan sela dan kita melihat ada upaya menggagalkan untuk bisa menagih pemulihan lingkungan kepada tergugat,” imbuh Uli kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu, 10 November 2021.
Uli menilai keputusan itu sebagai upaya untuk menghambat dalam menagih atau mendesak perusahaan bertanggung jawab atas konsesinya yang terbakar pada tahun 2015 dan 2019.
“Kami curiga ada sesuatu yang tidak beres dari putusan PN Jambi dan kita sedang melakukan upaya banding dalam minggu ini,” imbuhnya.
PT Pesona Belantara Persada yang luas arealnya mencapai 18 hektar dan PT Putra Duta Indah seluas 16 hektar merupakan dua perusahaan yang diseret ke pengadilan itu. Walhi dalam gugatannya meminta dua perusahaan tersebut membayar ganti rugi pemulihan lingkungan sebesar Rp200 miliar.
Putusan MA Menjadi “Preseden Buruk”
Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Walhi Wahyu Perdana mengatakan, kekhawatiran Uli bisa saja terjadi menyusul putusan bebas PT Kumai Sentosa oleh hakim kasasi Mahkamah Agung. Dalam putusannya, hakim kasasi MA membebaskan perusahaan sawit itu dari tuntutan ganti rugi sebesar Rp935 miliar dengan alasan perusahaan telah memasang papan peringatan dilarang membakar lahan.
Selain itu, pekerja juga telah diberi arahan untuk tidak melakukan pembakaran lahan dan melakukan pemadaman apabila melihat ada api menyala.
“Hal terburuk ke depan jadi preseden. Kalau pasang papan peringatan bisa lolos, nanti semua perusahaan cukup pasang plang saja. Itu kenapa kerusakan lingkungan hidup yang berdampak strategis harusnya hakim menggunakan pendekatan pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009 soal pertanggungjawaban mutlak,” jelas Wahyu Perdana kepada BBC News Indonesia melalui sambungan telepon, Rabu, 10 November 2021.
Wahyu juga menilai ada kejanggalan di balik putusan itu karena jika merujuk pada aturan yang ada, tanggung jawab perusahaan pemilik konsesi tidak hanya berupa papan peringatan. Akan tetapi, ada tim pemadam, menara pemantau, serta petugas penjaga jika ada lahan gambut yang terbakar.
Bagi Wahyu, vonis bebas itu merupakan potret suram penanganan kejahatan lingkungan hidup di Indonesia. Apalagi sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya terang-terangan mengatakan, “Pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau deforestasi”.
“Tentu [putusan MA] jadi catatan kalau kemudian itu menjadi yurisprudensi tentu jadi ancaman kasus karhutla mudah sekali dilepaskan.”
Jaksa Harus Ajukan Peninjauan Kembali
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), Raynaldo Sembiring, mendesak jaksa agar mengajukan peninjauan kembali atas vonis bebas Mahkamah Agung terhadap PT Kumai Sentosa. Hal tersebut agar tidak menjadi preseden buruk pada kemudian hari.
Dia juga menyebutkan dalam memutus perkara itu, hakim tidak jeli dalam menggali fakta-fakta di lapangan.
“Hakim melihat kasus ini sangat sempit pada lahan yang terbakar dan seolah-olah lahan yang terbakar tidak mungkin dilakukan korporasi dan ketika sudah pasang papan peringatan dianggap punya niat baik.”
“Padahal, kalau melihat kasus-kasus yang sudah inkrah, kita lihat korporasi sering melakukan pembakaran untuk menghemat biaya dan meski ada papan tidak serta merta menunjukkan korporasi tidak akan membakar lahannya.”
“Fakta di kasus-kasus lain menunjukkan [papan peringatan] itu syarat pelengkap. Bahkan, enggak dipakai. Itu pengetahuan umum.”
Jika jaksa mengajukan peninjauan kembali, besar kemungkinan putusan itu bisa dikoreksi. Sebab dari tiga hakim yang mengadili, satu di antaranya mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion, demikian nilai Raynaldo.
Selain itu, dalam gugatan perdatanya PT Kumai Sentosa diputus bersalah dan harus membayar Rp175 miliar. Meskipun belakangan perusahaan pemilik konsesi 2.688 hektar ini melakukan banding.
Apa Kata KLHK?
Menanggapi putusan tersebut, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum) KLHK, Rasio Ridho Sani, mengatakan akan mempelajari putusan MA atas PT Kumai Sentosa. Untuk langkah selanjutnya, ia akan segera berkonsultasi dengan kejaksaan.
Dia pun menegaskan bahwa menegakkan keadilan lingkungan dan menindak pelaku kejahatan lingkungan hidup, termasuk karhutla merupakan upaya yang akan terus dilakukan oleh KLHK.
“Kami akan menyiapkan langkah-langkah hukum selanjutnya. Kejahatan LHK harus sama-sama kita hentikan, Indonesia harus bebas bencana asap. Tidak ada komproni untuk pelaku penyebab karhutla. Sudah seharusnya mereka dihukum dan didenda seberat-beratnya,” kata Rasio seperti dilansir detik.com, Selasa, 9 November 2021.
Sumber: BBC News Indonesia