SAHIH.CO, Glasgow – Menjelang ditutupnya konferensi iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, para delegasi mengoptimalkan upaya mencapai kesepakatan guna mengurangi pemanasan global. Akhir pembahasan akan lebih fokus pada pembiayaan untuk membantu negara-negara berkembang mengatasi dampak terburuk perubahan iklim.
Draf pertama kesepakatan COP26 yang dirilis Rabu secara langsung mengakui bahwa komitmen yang ada saat ini cukup kurang untuk mencegah bencana iklim. Namun, belakangan muncul kejutan dari dua pembuang emisi karbon terbesar di dunia, yaitu China dan Amerika Serikat.
Keduanya sepakat untuk meningkatkan kerja sama dalam mengatasi perubahan iklim. Kesepakatan itu menambah harapan bahwa negara-negara peserta COP26 dapat memperkuat komitmen kolektif mereka pada Jumat. Draf baru diharapkan muncul beberapa jam ke depan.
Bantuan bagi negara-negara dunia ketiga yang rentan terhadap banjir, kekeringan, dan kenaikan permukaan laut akibat pemanasan global akan menjadi fokus pembicaraan. Alok Sharma, Ketua konferensi asal Inggris mengatakan kesimpulan dalam draf terbaru menunjukkan kemajuan “signifikan”, tetapi “kita belum sampai ke sana”.
“Saya ingin menyampaikan pentingnya meningkatkan upaya pada hari ini agar kita mencapai apa yang kita perlukan untuk mewujudkan hasil substantif tentang pembiayaan,” kata dia.
Negara-negara berkembang menginginkan aturan lebih tegas mulai 2025 dan seterusnya. Hal ini karena negara-negara kaya gagal memenuhi janji 12 tahun lalu untuk memberikan 100 miliar dolar AS (Rp1,4 kuadriliun) per tahun hingga 2020 untuk membantu menekan emisi dan mengatasi dampak kenaikan suhu.
Draf pada Rabu itu hanya “mendesak” negara-negara maju untuk “segera menambah” bantuan bagi negara-negara lebih miskin untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Draf itu juga menyerukan lebih banyak pembiayaan yang sifatnya hibah, bukan pinjaman yang menambah beban utang.
Target 100 miliar dolar diharapkan tercapai tiga tahun kemudian. Jika tidak, hal tersebut merusak kepercayaan negara-negara berkembang dan membuat sebagian di antaranya enggan menetapkan target pengurangan emisi yang lebih ambisius.
Janji dana sebesar itu, yang dianggap banyak pihak masih jauh dari memadai, dibagi menjadi dua bagian, yaitu untuk “mitigasi” dan “adaptasi”. Dana mitigasi digunakan untuk membantu negara-negara miskin melakukan transisi ekologis, sedangkan dana adaptasi dipakai untuk membantu mereka menangani bencana iklim ekstrem.
Aspek yang lebih sering dipertengkarkan—dikenal sebagai “kerugian dan kerusakan”—akan memberi mereka kompensasi dari kerusakan akibat pemanasan global. Namun, aspek tersebut tidak termasuk dalam 100 miliar dolar itu dan sejumlah negara kaya tidak mengakui klaim atas kerusakan apa pun.
Negara-negara miskin mengatakan pajak karbon akan memberikan dukungan yang sangat penting. Namun, negara-negara kaya, termasuk di Uni Eropa, sepertinya tidak setuju.
Waktunya Nyaris Habis
Inggris, tuan rumah konferensi, mengatakan tujuan utama dari COP26 adalah menjaga harapan “tetap hidup” untuk membatasi kenaikan suhu global 1,5 derajat Celcius (1.5oC) di atas level praindustri. Tujuan itu masih jauh dari jangkauan jika didasarkan pada komitmen negara-negara peserta saat ini untuk mengurangi emisi.
Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa jika melewati batas suhu tersebut maka akan memicu gelombang panas, badai, dan kebakaran hutan yang berdampak jauh lebih buruk dengan konsekuensi yang tak dapat diubah. Belum ada titik terang apakah pembicaraan iklim di Glasgow telah menghasilkan kemajuan berarti dalam upaya mencapai target 1.5oC.
Sejumlah lembaga pemikir mencermati kesepakatan beberapa isu, seperti deforestasi, pengendalian metana sebagai gas rumah kaca yang kuat, dan draf pada Rabu yang menyampaikan isu pembatasan bahan bakar fosil.
Kalangan lain menunjuk pada komitmen dan lini masa yang tidak cukup jelas, terutama dari negara-negara pemicu polusi terbesar, seperti China, India dan Rusia.
“Apa yang perlu kita ketahui adalah tindakan, khususnya tindakan dan pertanggungjawaban yang akan dilakukan,” kata Lindsey Fielder Cook, perwakilan dari Quaker United Nations Office, sebuah organisasi non-pemerintah di bidang hak asasi manusia.
Pada Kamis, sebuah aliansi internasional dengan tujuan menghentikan pengeboran minyak dan gas menambah enam anggota baru. Namun, mereka tidak mendapat dukungan dari satu pun produsen bahan bakar fosil.
Kesepakatan AS-China pada Rabu menegaskan pengakuan bersama tentang perlunya menambah upaya untuk membatasi kenaikan suhu dalam satu dekade ke depan dan komitmen baru dari Beijing dalam pengurangan emisi dan perlindungan hutan.
Di luar janji-janji nyata yang jumlahnya sedikit, kebanyakan pengamat sepakat bahwa yang terpenting dari kesepakatan itu adalah dua kekuatan besar yang sering kali berselisih, kini bekerja sama.
“Kabar baik sebenarnya dari perjanjian itu adalah bahwa mereka berbicara karena jika Anda melihat isinya, itu adalah serangkaian komitmen umum untuk menyepakati peta jalan bagi iklim,” kata Menteri Transisi Ekologi Italia, Roberto Cingolani.
Kelompok peneliti Climate Action Tracker mengatakan pekan ini sejauh ini semua janji negara-negara untuk memangkas gas rumah kaca, jika tercapai, akan membuat suhu bumi naik 2,4 derajat Celcius pada 2100.
Sehari sebelum penutupan COP26 di Glasgow, Paus Fransiskus lewat sebuah surat menyampaikan peringatan kepada umat katolik di Skotlandia bahwa “Waktunya hampir habis”.
Sumber: Antara