close
Dunia TengahFeature

Deklarasi Balfour: Keculasan Inggris dan Kegetiran Palestina

Sumber Foto: Freepik

Darah-darah masih tertumpah di arena perang dunia pertama. Kecamuknya masih cukup dahsyat. Pada rentang tahun itu, 1917, Imperium Rusia harus runtuh oleh orang-orang Bolshevik. Dan pada awal tahun sebelumnya (1916), Ottoman, meskipun rugi banyak, tetapi mampu memenangkan konfrontasi di Gallipoli dan pengepungan di Kut, Irak. Di tengah itu semua, ada rencana picik yang “diam-diam” sedang didiskusikan oleh seorang Skotlandia dan dua orang Yahudi (Balfour, Rothschild, dan Weizmann) yang mana ketiganya sama-sama kompak mendukung zionisme.

Rencana itu sudah didiskusikan oleh para elite politik dan Zionis sejak sebulan sebelum Lenin naik takhta (Februari 1917). Selang beberapa bulan kemudian, tepatnya pada Juni, pertemuan kedua diadakan. Pada pertemuan kedua ini, Balfour meminta Rothschild dan Weizmann merancang sebuah deklarasi yang kemudian tercantum dalam sepucuk surat tertanggal 2 November 1917 dan disiarkan ke publik melalui media massa seminggu setelahnya, 9 November 1917.

Bak gayung bersambut, demi mendapatkan akses ke tanah yang dijanjikan, Rothschild dan Weizmann mendiskusikan rencana tersebut dengan kabinet perang Inggris sepanjang September hingga Oktober. Dalam diskusi “mulia” itu, mereka menyiapkan solusi yang sangat baik tentang tanah Palestina, demi rakyat Palestina, keadilan yang timpang, dan Yahudi Eropa. Mereka membagi tanah Palestina tanpa izin dan sepengetahuan rakyat Palestina.

Deklarasi yang dalam bahasa Inggris hanya terdiri atas 67 kata tersebut, kemudian disebarkan ke seluruh federasi Zionis di setiap penjuru Inggris Raya dan Irlandia. Sebuah surat singkat yang kemudian mengubah jalannya sejarah anak-anak manusia di Timur Tengah secara umum dan Palestina secara lebih khusus. Deklarasi yang menciptakan konflik berdarah yang sangat mengerikan hingga hari ini.

Perjanjian Sykes-Picot: Bagi-Bagi Kue yang Belum Dimiliki

Tepat setahun sebelumnya (1916), sebelum Deklarasi Balfour dikumandangkan (1917), Inggris dan Prancis sudah terlibat dalam sebuah perjanjian rahasia, perjanjian ini melibatkan tiga negara, yaitu Inggris dan Prancis sebagai pihak terlibat dan Rusia sebagai saksi yang turut mengamini perjanjian tersebut. Celakanya adalah ketika di Rusia terjadi revolusi, butir-butir perjanjian itu disebarkan oleh orang-orang komunis Rusia. Butir-butir yang membuat Inggris dan Prancis harus rela rahasianya terbuka, dan tanpa rasa malu, Inggris mengingkari dan tidak mengakui perjanjian dua tahun sebelumnya (1915) yang mereka lakukan dalam sebuah korespondensi dengan pemimpin Hijaz, Syarif Husain (korespondensi Hussein-Mcmahon), yang mana Inggris menjanjikan sebuah negara merdeka bagi dunia Arab.

Dalam Sykes-Picot disebutkan bahwa Inggris dan Prancis membagi “kue” yang mereka dapatkan dari Ottoman jika menang perang. Dalam perjanjian itu, mandat Palestina dan sekitarnya diberikan pada Inggris, sedangkan Prancis mendapat wilayah yang luas di Afrika Utara. Sebuah perjanjian yang menjadi asas bagi Deklarasi Balfour untuk berdiri dengan kuat.

Bakat “selingkuh” Inggris sangat tampak pada perjanjian-perjanjian di atas, yang satu sama lain sebenarnya bertentangan. Pada saat yang tidak begitu berjarak, Inggris memberikan janji manis berupa tanah merdeka bagi Arab dan Zionis Yahudi di tanah yang sama, sedangkan Prancis mendapatkan tanah Arab lainnya.

Sebenarnya, bakat ini bukanlah hal asing bagi Inggris. Kurang dari setengah abad sebelum Sykes-Picot, misalnya, Aceh Darussalam telah merasakan perselingkuhan itu; janji manis dalam traktat London harus putus lewat hubungan baru Inggris-Belanda dalam traktat Sumatra, yang berakhir dengan perang Aceh-Belanda 1873 silam. Kembali, mereka membahas tanah Sumatra, yang saat itu berdaulat dan tegak sendiri tanpa melibatkan orang-orang Sumatra, khususnya orang Aceh.

Simbiosis Mutualisme Antara Zionisme dan Inggris

Agaknya, menarik untuk diketahui alasan keberpihakan Inggris pada zionisme Yahudi ini. Dalam beberapa literatur, disebutkan bahwa saat itu Inggris telah berada di ujung tanduk, nyaris babak belur di seluruh medan perang dunia pertama.

Maka dari itu, dibutuhkan dukungan penasehat dari Woodrow Wilson—yang adalah orang Zionis Yahudi—agar membuat Amerika turun tangan sehingga dapat mengimbangi Kekaisaran Jerman dan keadaan bisa berbalik. Hasilnya dapat kita lihat pada jejak sejarah, keadaan berbalik dan terjadilah apa yang terjadi. Itu adalah satu di antara dari sekian alasan keberpihakan Inggris pada zionisme.

Alasan lainnya adalah sumbangsih yang tidak kecil dari seorang kimiawan culas sekaligus Presiden Zionis dunia yang bernama Weizmann, yang tanpa penemuannya Inggris mungkin akan kalah di perang dunia pertama. Atas sumbangsih itu, tanpa malu ia meminta tanah Palestina untuk saudara-saudara Yahudinya sebagai balas jasa yang konon katanya (tanah tersebut) telah dijanjikan oleh Tuhan.

Pun Inggris, senada dengan Weizmann yang juga tanpa malu menyerahkan tanah Palestina, punya orang-orang Palestina tanpa sepengetahuan orang-orang Palestina kepada orang-orang yang kelak menjadi musuh Palestina. Jadi, dukungan terhadap gerakan zionisme adalah bagian timbal balik yang saling menguntungkan antara Inggris yang kata Churchill membutuhkan segala bantuan untuk menang perang dan zionisme Yahudi yang butuh bantuan untuk mengambil kembali tanah yang konon kata mereka telah dijanjikan.

Pergeseran Konflik Arab-Israel

Dunia Arab adalah penentang terkeras atas pendudukan Israel di tanah Palestina. Atas nama solidaritas bangsa Arab, perang terhadap Israel dikumandangkan pada 1948, 1967, dan 1973. Ironisnya, dalam tiga kali perang tersebut, Arab tetap luluh lantak, dan Israel dengan bantuan Amerika makin meneguhkan pendudukannya di tanah Palestina, bahkan sempat menduduki Dataran Tinggi Golan (Suriah) dan Semenanjung Sinai (Mesir).

Di tengah perselisihan antarsesama, kala itu bangsa Arab tetap kompak dalam memusuhi Israel. Hal yang tidak akan kita temui lagi pasca-perdamaian Mesir-Israel (1979) disusul Yordania-Israel (1994); perdamain-perdamaian negara Arab dengan Israel kian kemari kian menegaskan bahwa Palestina kini seorang diri.

Baca juga: Sampai Kemerdekaan Palestina Terjadi

Konflik yang dahulu terjadi antara Arab-Israel kian tereduksi menjadi konflik Palestina-Israel. Terlebih lagi, pada akhir tahun lalu, UEA, Bahrain, Sudan, dan Maroko turut mengikuti jejak Mesir dan Yordania. Pada tahun itu juga, Saudi-Israel juga sepakat membuka jalur udara masing-masing, meski tetap tidak ada hubungan diplomatik antara keduanya. Meskipun perjanjian-perjanjian damai dengan Israel itu merusak konsensus negara Arab bahwa atas nama solidaritas Palestina tidak boleh ada hubungan diplomatik dengan Israel.

Namun, apa hendak dikata, tiap-tiap negara punya keperluan yang lebih besar dibandingkan hanya sebuah solidaritas. Keperluan ekonomi dan persenjataan serta hubungan lebih baik dengan Amerika, misalnya. Pun Palestina, meskipun diberikan banyak dana, perjuangan mereka kian sepi dari uluran senjata dari saudara-saudara Arabnya, mereka kian sendiri dan ditinggalkan.


Rujukan:

-The New Yorker
-The New York Time

 

Penulis: Misbahul

Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

Tags : balfouringgrisPalestinayahudizionisme

The author Redaksi Sahih

Leave a Response