Indonesia tampak sedang sungguh-sungguhnya mengejar kemajuan. Itu bisa dilihat dari jargon-jargon pembangunan dan kemajuan yang begitu lancar diumbar.
2045 telah dipatok sebagai deadline: Indonesia akan melesat maju menanggalkan status negara berkembang pada usia satu abad, harapannya. Rancang bangun Visi Indonesia 2045 telah ditetapkan, pilar utamanya adalah pembangunan manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tentulah di sana soal pendidikan menjadi sorotan, perkara kuno yang senantiasa mengitari kita. Belakangan, kerja-kerja untuk memberesi soal itu agaknya mulai lebih bersemangat. Namun, kita kerap melupakan satu hal, atau paling tidak, kita tidak pernah benar-benar serius untuk satu hal ini: meningkatkan kualitas guru, dalam arti menempatkan profesi guru dalam kasta tinggi nan prestisius, bukan lagi profesi kelas dua.
Lupakan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Lupakan. Itu hanya akan mengekalkan profesi guru sebagai kasta kelas dua. Ada banyak cara lain untuk menanamkan soal keikhlasan atau integritas pada guru, tanpa perlu jargon yang muluk-muluk.
Dan sekarang, adalah saatnya kita berpikir, bahwa sudah masanya profesi guru menjadi profesi yang prestisius, jika kita memang berkomitmen serius pada kemajuan yang kita kobar-kobarkan. Kecuali kita memang menganggap bahwa kualitas guru tidak begitu penting, tidak banyak pengaruhnya pada murid, “pabrik” tidak menentukan hasil produksi; premis yang menyesatkan tentu saja.
Negara ini punya kerjaan serius untuk menjadikan profesi guru sebagai profesi yang prestisius dan sarat kompetitif. Usaha untuk meningkatkan kualitas guru dan memajukan pendidikan penting dimulai dari situ.
Kedepan, dalam obrolan-obrolan anak-anak unggul di sekolah-sekolah, menjadi guru harus juga masuk dalam deretan atas perbincangan dan impian mereka; tidak melulu menjadi dokter, insinyur, pilot, lawyer dan lain-lainnya. Kampus-kampus atau jurusan keguruan tidak seharusnya menjadi opsi kedua atau ketiga atau bahkan tak pernah menjadi opsi sama sekali bagi mereka yang punya daya intelektual unggul dan berprestasi.
Dan, untuk menciptakan citra prestisius itu, tidak cukup bila guru-guru itu diberi gaji secukupnya. Kita semestinya malu menghadapi kenyataan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang menggaji gurunya dengan cukup rendah. Terlalu muram rasanya ketika kita bercermin pada negara-negara lain dalam soal menghargai dan memenuhi hajat guru.
Kita yang sedang menatap masa depan sebagai negara maju di 2045, mungkin perlu melihat Korea Selatan yang belum lama meraih status sebagai negara maju. Mereka berlari cepat dan meninggalkan kita jauh. Di antara kunci utama mereka adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia—mereka tidak punya sumber daya alam yang berjibun seperti kita. Korea Selatan menggaji guru dengan nilai yang cukup tinggi. The National Council on Economic Education (NCEE) melaporkan bahwa gaji guru di Korea Selatan, untuk sekolah menengah kelas pertama saja, adalah hampir mencapai Rp400 juta perbulan. Itu adalah gaji guru tingkat awal, bukan guru dengan masa kerja lebih lama atau berjabatan tinggi.
Dan Korea Selatan tidak juga sembarang dengan memberi penghargaan kerja senilai itu. Di sana, untuk menjadi guru harus melalui uji kompetisi atau seleksi yang ketat. Berlapis-lapis pendidikan dan pelatihan serta sertifikasi sungguh-sungguh pun digalakkan untuk benar-benar memastikan kompetensi atau kualitas guru. Bukan sertifikasi sekadar gumunan untuk kumpul-kumpul sertifikat dan “karya”, apa saja dilakukan dan dikompromikan yang penting bisa mengumpulkan angka-angka untuk meraih sertifikasi dan mengantongi gaji lebih.
Jika Korea dirasa adalah contoh yang terlalu timpang, tentu masih banyak negara lain sebagai tempat bercermin.
Namun, apa yang penting dicamkan, langkah serius untuk meningkatkan daya pikat dan menciptakan iklim kompetisi serta seleksi yang ketat untuk profesi guru, adalah hal yang harus selekas-lekasnya ditempuh. Upaya menunaikan amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak boleh mengabaikan itu.
Penulis: Nauval Pally Taran