Jawabannya terletak pada bebatuan, sedimen dasar laut, dan gletser. Selama lebih dari satu dekade, para ilmuwan dari seluruh dunia telah mengumpulkan sampel inti dari batuan, sedimen, dan es untuk mencari tanda-tanda aktivitas manusia.
Tanda tersebut, termasuk konsentrasi merkuri atau polusi timbal, logam berat, abu terbang, puing-puing nuklir dari zaman atom, isotop di bebatuan, pohon, atmosfer, atau manusia, dan plastik, terutama mikroplastik. Inilah yang didefinisikan oleh penulis Timothy Moton sebagai hyperobjects atau sekelompok objek yang terdistribusi secara masif dalam ruang dan waktu, dalam bukunya Hyperobjects: Philosophy and Ecology after the End of the World.
Karena tidak satu pun dari hal tersebut terjadi secara alami, konsentrasi yang tersimpan dalam catatan geologis dapat dikaitkan dengan aktivitas industri manusia. Ini akan membantu para peneliti, baik pada masa sekarang maupun pada masa depan, untuk mengidentifikasi lonjakan dramatis dalam berbagai aktivitas manusia, periode yang dikenal sebagai Percepatan Hebat.
Dari semua bukti, plastik menjadi indikator antroposen yang paling terlihat, persisten, dan lengkap. Ada banyak penelitian terbaru tentang dampak plastik pada ekosistem yang berbeda; terestrial, air tawar, termasuk lahan basah, danau, dan sungai, serta kehidupan laut dari landas kontinen hingga parit laut dalam. Namun, tidak dipahami secara luas bagaimana ekosistem ini saling terkait, bagaimana plastik melewatinya, pengaruhnya terhadap keanekaragaman hayati dan bagaimana ia akan berdampak pada seluruh biosfer.
Asal Mula dan Perjalanan Plastik
Sebagian besar plastik berasal dari darat, tetapi sering dibuang ke lahan basah, danau, dan sungai yang mencemari pantai, tepian, dan dasar sungai. Saluran air ini berfungsi sebagai saluran bagi plastik untuk bergerak lebih jauh, melewati muara, ke laut tempat ia mengendap di landas kontinen atau dibawa melintasi lautan terbuka.
Dalam setiap badan air, organisme yang berbeda berinteraksi dengan plastik dengan cara yang berbeda; beberapa mendiami benda baru yang tahan lama ini; beberapa lainnya memakannya dan mengunyahnya untuk energi; tetapi kebanyakan menelannya, terjerat di dalamnya atau teracuni oleh racun yang berbahaya dan sering kali berakibat fatal.
Dampak plastik sangat buruk, dan manusia baru mulai menyadari skala masalahnya. Terkadang, skalanya bisa sangat kecil, seperti halnya mikroplastik, namun bisa memiliki efek berjenjang pada ekosistem.
Efek Kupu-Kupu Mikroplastik dalam Ekosistem
Dalam teori kekacauan (chaos theory), efek kupu-kupu mendesripsikan bagaimana perubahan kecil dapat memiliki dampak nonlinier pada sistem yang kompleks. Hal ini sering dibanding dengan kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya dan menyebabkan topan.
Mikroplastik memiliki dampak yang serupa dalam ekosistem, sesuai dengan makalah penelitian terbaru berjudul “Apakah Mikroplastik Mengganggu Kestabilan Jaringan Global Keseimbangan Ekosistem Darat dan Perairan?”.
“Sebagian besar penelitian berfokus pada efek mikroplastik pada keanekaragaman hayati dan kesehatan manusia, namun tidak ada dokumentasi yang jelas tentang bagaimana ekosistem yang berbeda terpengaruh,” jelas Srinidhi Sridharan, Peneliti Senior di CSIR-National Environmental Engineering Research Institute (NEERI), dan pengarang utama penelitian ini.
“Oleh karena itu, melalui tinjauan literatur yang ekstensif, kami mencoba memahami dampak berbagai mikroplastik pada ekosistem darat dan perairan, serta bagaimana mereka memengaruhi layanan ekosistem yang diberikan oleh spesies kunci atau bioindikator yang berbeda,” lanjutnya. Spesies kunci adalah mereka yang memainkan peran penting dalam suatu ekosistem, dan dengan demikian “mememgangnya bersama-sama”. Bioindikator adalah organisme yang rentan terhadap perubahan kecil yang merugikan dan digunakan untuk mempelajari kesehatan lingkungan.
Dalam ekosistem terestrial, cacing tanah, ekor pegas, tungau, dan beberapa siput tanah adalah penghuni penting yang mempermudah siklus nutrisi tanah melalui dekomposisi, penggalian, pengolahan, dan aerasi. Tanah dapat terkontaminasi dengan mikroplastik melalui sumber-sumber, seperti pengomposan, limbah, limpasan pertanian, dan mulsa.
Studi tentang kontaminasi mikroplastik dalam bioindikator tanah menunjukkan hasil reproduksi yang buruk, penyerapan dan pertumbuhan nutrisi yang terhambat, peningkatan resistensi antibiotik, perubahan perilaku, dan neurotoksisitas. Hal ini pada gillirannya akan berdampak pada produktivitas pertanian atau yang dikenal dengan istilah ekonomi hijau.
Mamalia darat, seperti beruang kutub (predator kunci di belahan bumi utara) dan gajah Asia (kunci untuk memelihara padang rumput di seluruh anak benua India) juga berinteraksi dengan mikroplastik dan racun kimianya. Namun, belum ada efek fisiologis dan ekologis yang didokumentasikan terkait dengan hal tersebut.
Pencemaran Daratan Meluap ke Ekosistem Perairan
Ekosistem terestrial secara intrinsik terkait dengan sistem perairan, seperti air, sedimen, dan organisme berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, seperti halnya kontaminan. Bioakumulasi, racun hasil dari bahan kimia saat mereka melakukan perjalanan ke rantai makanan, dimulai di sini, dan dapat memiliki implikasi luas ke seluruh biosfer.
Namun, penelitian tentang dampak terestrial dari plastik jauh lebih sedikit daripada penelitian di habitat perairan. Dokumentasi yang lebih banyak sangat penting untuk memahami bagaimana kontaminasi dapat menyebar ke ekosistem lain.
Bioindikator di air tawar dan air payau, seperti tanaman air, berbagai spesies plankton dan krustasea, ikan zebra, dan ikan lainnya juga berinteraksi dengan mikroplastik, yang sangat merugikan mereka. Larva yang cacat, berkurangnya mobilitas karena neurotoksisitas, gangguan kekebalan, dan peningkatan angka kematian adalah beberapa efek yang dipelajari.
Konsumsi mikroplastik juga telah dicatat di beberapa belut rawa, ikan loaches kolam, dan udang karang air tawar—spesies kunci untuk siklus nutrisi dalam sistem perairan, meskipun dampak jangka panjangnya masih harus dipelajari. Berbeda dengan organisme air tawar yang tidak bermigrasi ke laut, mikroplastik dapat melakukan perjalanan melalui arus air, sedimen yang terus berubah di sepanjang dasar danau dan sungai, saluran udara, dan bahkan curah hujan, untuk mencapai ekosistem perairan atau laut lainnya.
Studi pada bakteri Prochlorococcus laut yang terpapar lindi plastik menunjukkan efisiensi fotosintesis dan produktivitasnya yang lebih buruk. Jika autotrof lain juga terpengaruh, ini bisa memiliki konsekuensi mengejutkan di seluruh jaring makanan laut.
Mikroplastik yang tertelan oleh hewan penyaring, seperti larvacean, tiram, dan remis menghalangi kemampuan mereka untuk menyaring air dari polusi organik dan nonorganik dan menyebabkan plastik menyebar melalui ekosistem laut. Stok ikan yang terkontaminasi atau berkurang akan melumpuhkan perikanan global (ekonomi biru), dan mengarah pada terjadinya bioakumulasi lebih lanjut di rantai makanan.
Plastik Berinteraksi dengan Hujan Salju Lautan
Plankton merupakan pahlawan tak terlihat untuk banyak ekosistem perairan dan karena mereka menyediakan makanan bagi berbagai spesies. Mikroalga atau fitoplankton, merupakan uniseluler, organisme fotosintetik individu dalam rantai makanan, dan organisme kelompok dalam ekosistem perairan.
Fitoplankton dimakan oleh zooplankton, dan pada gilirannya dikonsumsi oleh moluska, krustasea kecil, seperti udang dan krill, sarden, herring, manta, dan bahkan paus balin dan paus biru dan membentuk mata rantai penting dalam jaring makanan akuatik.
Sebuah studi tentang mikroalga air menunjukkan bahwa pertumbuhan, bentuk, dan aktivitas fotosintesisnya terpengaruh oleh bahan kimia dari mikroplastik. Penelitian lain menyoroti bagaimana zooplankton menyeleweng dari memakan fitoplankton mereka yang biasa, dan malah memakan mikroplastik. Perubahan ini dapat mengganggu seluruh rantai makanan, menghambat siklus nutrisi fosfor, nitrogen, dan karbon, dan dapat menyebabkan plastik tertambun lebih jauh di sepanjang tingkat trofik.
Plankton juga berinteraksi dengan plastik dengan cara lain. Bersama dengan mikroorganisme lainnya, mereka menghuni permukaan plastik, menciptakan plastisfer (ekosistem sampah yang dibuang di perairan terbuka). Plastisfer, seperti yang didefinisikan dalam buku Mare Plasticum – The Plastic Sea, merupakan ekosistem kecil tersendiri yang berisi produsen utama, pemakan rumput, predator, parasit, simbion, dan pendaur ulang nutrisi.
Plestisfer dapat meningkatkan produktivitas di ekosistem laut yang tidak produktif, namun mereka berfungsi sebagai pulau bagi mikroba invasif berbahaya untuk melakukan perjalanan melintasi rentang yang luas, memancarkan gas rumah kaca, dan mengangkut gen resistensi antibiotik di sepanjang jalan. Mempelajari ekosistem buatan manusia ini akan menjadi sangat penting pada tahun-tahun mendatang.
Menariknya, plankton memainkan peran penting, bahkan dalam kematiannya. Ketika plankton mati atau dikonsumsi, mereka menyebabkan partikel karbon tenggelam dari permukaan ke laut dalam dalam proses yang dikenal sebagai hujan salju laut. Beberapa karbon ini dikonsumsi oleh organisme laut di sepanjang jalan, beberapa dipecah secara kimiawi, tetapi sebagian besar mencapai laut dalam tempat ia mengendap selama ratusan atau ribuan tahun.
Dasar laut adalah penyerap karbon penting untuk emisi karbon antropogenik. Ketika siklus plankton terpengaruh, mereka dapat memiliki konsekuensi bagi penyerap karbon samudra, dan juga mengganggu siklus biogeokimia global. Jika plastik bergerak bersama dengan plankton yang tenggelam, ia akan menemukan jalannya ke sedimen laut dan catatan geologis, dan menjadi saksi antroposen.
Pelajaran untuk Masa Depan
Mikroplastik ada di mana-mana dan efeknya tidak dapat disangkal. Namun, sebagian besar penelitian berakhir dengan catatan yang tidak meyakinkan. Para peneliti tidak mau mengomentari dampak skala besar dari plastik pada ekosistem dan menyerukan lebih banyak penelitian untuk dilakukan. Ini mungkin karena kehati-hatian yang ditunjukkan oleh para ilmuwan karena bukti kuat merupakan dasar dari ilmu pengetahuan yang baik atau karena beberapa penelitian menunjukkan tanpa dampak yang dapat dilihat dan terukur pada keanekaragaman hayati.
Namun, seperti yang diperingatkan oleh Ritesh Kumar, Direktur Wetlands International South Asia (WISA), “dengan analisis penelitian, ketiadaan bukti, tidak boleh disalahartikan sebagai bukti ketidakhadiran.” Untuk menambah bukti, proyek CounterMEAURES II, yang dilaksanakan oleh UNEP, berharap dapat menghasilkan pengetahuan baru untuk perubahan kebijakan di tingkat lokal, nasional, dan global.
Laporan terbaru oleh Konvensi tentang Spesies Bermigrasi (CMS) dan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyoroti dampak yang tidak proporsional dari plastik terhadap spesies yang bermigrasi . “Awal tahun depan, Wetlands International akan merilis rencana pengelolaan lahan basah dengan alat penilaian risiko spesies,” ungkap Kumar.
“Penelitian pada masa depan harus fokus terhadap pendokumentasian siklus mikroplastik, dengan kerangka kerja standar untuk mengukur produksi, pemisahan, daur ulang, pembuangan, pencucian limbah, untuk lebih memahami skala masalah,” saran Manish Kumar, ilmuwan proyek di CSIR-NEERI, dan rekan penulis di penelitian tentang mikroplastik. “Penelitian tidak bisa terus menggeneralisasi plastik dan mikroplastik; yang terakhir ini perlu dikategorikan sebagai polusi tersendiri,” sela Sridharan.
“Penelitian interdisipliner terpadu yang menghubungkan limbah plastik dengan degradasi habitat, gangguan biotik dan abiotik, dan implikasi jangka panjang bagi keanekaragaman hayati dan ekosistem pada umumnya, dengan penilaian lapangan sedapat mungkin, akan menjadi kunci untuk menemukan solusi yang efektif,” para penulis setuju.
Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana
Sumber: Quint