Dikatakan bahwa di negara Islam, “minoritas nonmuslim” (jika kita menerima terjemahan yang buruk) diperlakukan sebagai dzimmi. Dalam pikiran Barat ini berarti ‘warga negara kelas dua.’
Akan tetapi, tahukah Anda bahwa di Barat yang liberal dan toleran, seorang muslim yang lahir di negeri itu dapat dicabut kewarganegaraannya, mendorongnya ke status kelas dua atau kelas tiga dalam sekejap?
Inilah yang dilaporkan Haroon Siddique untuk BBC.
Individu-individu dapat dicabut kewarganegaraan Inggris mereka tanpa pemberitahuan di bawah usulan perubahan aturan yang ditambahkan kedalam undang-undang kebangsaan dan perbatasan.
Pasal 9—pemberitahuan keputusan untuk mencabut kewarganegaraan seseorang—dari RUU tersebut, yang diperbarui awal bulan ini, membebaskan pemerintah dari keharusan memberikan pemberitahuan jika tidak “cukup praktis” untuk melakukannya atau untuk kepentingan keamanan nasional, hubungan diplomatik, atau lainnya untuk kepentingan umum. Jadi, begitu saja, seseorang bisa kehilangan kewarganegaraannya tanpa pemeberitahuan.
Tentu saja, ini bukan hal yang aneh di Inggris. Banyak yang mencatat bahwa tes warga yang dapat ditemukan di seluruh Eropa, seperti di Jerman, yang menanyakan rasa hormat Anda terhadap demokrasi dan lainnya, telah menciptakan semacam liberalisme identitas. Liberalisme identitas ini, yang dipersenjatai dengan kebijakan integrasionis yang agresif, secara khusus menargetkan muslim yang, dengan menolak dogma liberal ini, gagal dalam ujian warga negara dan secara otomatis dianggap tidak liberal, dan oleh karena itu, dianggap sebagai warga negara kelas dua, tiga, atau empat. Memang ini adalah universalisme yang membedakan muslim dan orang-orang tidak liberal lainnya.
Seperti yang dikatakan penulis artikel ini, kebijakan baru tentang pencabutan kewarganegaraan, bahkan lebih kejam daripada kasus Shamima Begum, wanita terkenal kelahiran Inggris yang bergabung dengan ISIS. Begum diberi pemberitahuan tentang status kewarganeraannya oleh Inggris. Akan tetapi, sekarang tidak akan ada lagi pemberitahuan atau drama administrasi semu yang terlibat dalam proses tersebut.
Frances Webber, Wakil Ketua Institut Hubungan Ras, mengatakan, “Amandemen ini mengirimkan pesan bahwa warga negara tertentu, meskipun lahir dan dibesarkan di Inggris dan tidak memiliki kewarganeraam lain, tetap menjadi migran di negara ini. Status kewarganegaraan mereka, dan karena itu semua hak mereka, tidak pasti dan bergantung.
Inilah bagian yang menarik, “ … meskipun dilahirkan dan dibesarkan di Inggris dan tidak memiliki rumah lain, tetaplah migran di negara ini.” Pada dasarnya, seorang muslim secara hukum dianggap sebagai “migran” abadi di Barat. Ini semua lebih mengerikan mengingat bagaimana krisis pengungsi muslim telah diciptakan oleh kekejaman Barat dan perang mereka yang tidak pernah berakhir.
Tentu saja, ini tidak aneh bagi Inggris, Eropa, atau bahkan Barat liberal secara keseluruhan. Nasionalis Hindu di India juga menargetkan muslim melalui kewarganegaraan. Israel dan Cina juga.
Semua ini harus menjadi pegingat bagi umat Islam bahwa sistem pemerintahan sekuler kontemporer bukanlah benteng keadilan yang unggul dan kesetaraan universal yang mereka klaim. Justru sebaliknya, muslim yang meninggalkan Islam dengan mempromosikan atau memperjuangkan sistem ideologi seperti itu akan takluk dalam kehidupan ini dan selanjutnya.
Dengan mengingat semua ini, dalam Al-Qur’an 3: 118 Allah memperingatkan kita,
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang di luar kalanganmu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, karena mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka mengharapkan kehancuranmu. apa yang menyusahkan kamu. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat. Sungguh, telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu mengerti.”
Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana
Sumber: Muslim Skeptis