SAHIH.CO, JAKARTA – PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN secara bertahap akan mengganti penggunaan batu bara di pembangkit listrik menjadi biomassa alias co-firing. Porsi batu bara yang akan diganti mencapai 10 hingga 20 persen sampai 2025 nanti.
“Sehingga kami berharap 3-6 persen bauran energi baru terbarukan pada 2025 berasal dari biomassa,” kata EVP Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN Edwin Nugraha Putra dalam keterangan tertulis, Jumat, 10 Desember 2021.
Ini adalah satu di antara upaya PLN mempercepat masuknya energi bersih dalam program listrik 35 ribu Mega Watt (MW). Selain co-firing, upaya berikutnya yang dilakukan PLN yaitu mengganti Pembangkit Listrik Tenaga Diesel atau PLTD yang tidak tersambung dengan sistem kelistrikan skala besar di wilayah terpencil.
PLTS ini akan digantikan oleh pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS. PLN menargetkan bisa menggunakan PLTS dengan total kapasitas 2 sampai 4 GW. Lalu, PLN akan mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu atau PLTB dengan total kapasitas 600 MW.
Berikutnya, ada rencana pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi atau PLTP dengan kapasitas 1,4 Giga Watt (GW) dan hidro 4,9 GW. Semua upaya inilah yang bakal dipercepat hingga 2025 nanti.
“Ini hal utama yang kami lakukan dengan kondisi over supply dengan memanfaatkan yang ada supaya baruan energi baru terbarukan tercapai,” kata dia.
Menurut Edwin, aneka inisiatif tersebut membuat PLN dalam berhemat dari sisi pengeluaran belanja modal atau capex. Sehingga, PLN bisa ikut mengejar target porsi energi bersih 23 persen dalam bauran energy pada 2025 yang dicanangkan pemerintah.
Pengamat energi dari Universitas Gadja Mada atau UGM, Fahmy Radhi, menyebut bakal ada sejumlah tantangan untuk mewujudkan aneka rencana tersebut, Saat ini, sebanyak 65 persen pembangkit adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU dari batu bara, dengan harga jual listrik paling murah.
Selain itu, Fahmy mengingatkan bahwa sebagian pembangkit energi baru terbarukan tidak bisa memasok listrik secara terus menerus. Sementara jika harus berbagi beban dengan pengembangan listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP), pemerintah harus membuat kebijakan insentif yang menarik bagi investor.
“Kalau harus 100 persen itu berat, terutama dari sisi pembiayaan,” kata dia. Sehingga, Fahmy menyebut upaya percepatan menuju energi bersih ini tak bisa dibebankan ke PLN saja, tapi harus ada investor lain dalam bentuk IPP yang masuk ke proyek energi bersih.
Sumber: Tempo