SAHIH.CO – Kasus perkosaan yang dialami 21 santri Pondok Tahfidz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru, Bandung, oleh Herry Wirawan yang tidak lain pengasuh sekaligus pemilik pondok tahfiz itu, mesti menjadi evaluasi besar sistem pendidikan pesantren. Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah, Muhbib Abdul Wahab, mengatakan bahwa salah satu penyebab utama rentannya kejahatan seksual di lingkungan pesantren adalah terlalu berkuasanya satu sosok di lingkungan pesantren.
Muhbib mengutip rilis pers Komnas Perempuan yang diterbitkan pada 27 Oktober 2020, bahwa modus pelecehan seksual di dalam pesantren yang paling umum, seperti pemaksaan dan manipulasi status perkawinan, memindahkan ilmu, ancaman akan terkena azab, tidak lulus, dan hafalan akan hilang jika tidak mau menuruti keinginan pelaku.
“Dia (pelaku) karena terlalu kuat kuasanya, bisa seenaknya memanfaatkan dasar atau argumen keagamaan untuk kepentingan personal atau hawa nafsunya,” kata Muhbib Abdul Wahab saat dihubungi, Jumat, 10 Desember 2021.
Herry bisa leluasa melancarkan aksi kejinya selama lebih dari lima tahun adalah imbas dari adanya satu figur di lembaga pendidikan itu yang dikultuskan dan memiliki kekuatan penuh. Oleh sebab itu, dia bisa melakukan apa pun tanpa adanya pengawasan dari pihak lain.
Mestinya, setiap pesantren memiliki standar dan sistem pengawasan yang ketat sehingga tidak ada satu pihak yang bisa berlaku seenaknya. Muhbib mencontohkan, sistem yang diterapkan di sekitar 395 pondok pesantren yang berada di bawah naungan Muhammadiyah. Selain memiliki standar pendirian pondok pesantren yang ketat, dalam struktur kepengurusannya juga tidak hanya terdapat direktur atau kiai di puncak pimpinan. Akan tetapi, di atasnya masih ada pembina dan penasihat yang berhak mengontrol dan memonitor kinerja pengurus pondok pesantren.
“Tradisi di Muhammadiyah memang tidak ada satu tokoh yang sangat powerfull karena kami, dalam tanda kutip, tidak terlalu mengkultuskan figur seorang guru, ustaz, atau kyai,” lanjutnya.
Selain pengawasan dari internal, pengawasan dari eksternal juga dibutuhkan. Oleh karena itu, dibutuhkan semacam komite seperti yang ada di sekolah. Komite pesantren tersebut diberikan kewenangan untuk ikut mengawasi dan mengontrol kinerja pengurus pesantren.
“Pondok pesantren harus lebih mau dikontrol, minimal oleh orang tua santri,” kata Muhbib.
Muhbib sedikit menyayangkan sikap Kemenag dan MUI yang cenderung mencoba menutupi kasus ini. Pasalnya, itu bukanlah langkah yang tepat untuk memberantas kejahatan seksual di lingkungan pesantren, alih-alih berpotensi melanggengkannya. Mestinya, pemerintah justru lebih meningkatkan pengawasan dan standar mutu pesantren supaya kejadian serupa tak terulang lagi.
Kepada masyarakat, Muhbib juga menyampaikan supaya tidak mudah tergiur dengan iming-iming pendidikan murah atau bahkan gratis, terlebih yang tak jelas darimana pendanaannya.
“Kalau dia menawarkan pendidikan gratis, namun tak jelas sumber pendanaannya, itu, kan, tidak masuk akal. Apalagi kalau pengelolaannya sangat tertutup, itu patut dicurigai itu ada kamuflase atau kedok-kedok tertentu,” ujarnya.
Sumber: Kumparan/Pandangan Jogja