Sudah rahasia umum bahwa rokok adalah kata ganti bagi kemudaratan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa jumlah kematian akibat rokok meningkat setiap tahunnya. Selain itu, nyaris satu juta dari korban tersebut adalah para perokok pasif.
Tidak hanya kesehatan manusia, rokok dan industrinya juga merusak kesehatan lingkungan, pada tulisan yang lalu kita telah mengulas tentang betapa puntung rokok memiliki pengaruh yang buruk bagi lingkungan. Jika sisa dari rokok saja merusak lingkungan, sudah tentu produksi rokok juga turut serta memainkan peran di sana.
Tobacco Atlas menyebutkan bahwa penanaman, produksi, pemasaran, dan konsumsi tembakau merusak lingkungan kita secara signifikan. Budi daya tembakau menyebabkan deforestasi (penebangan hutan) dan penggunaan bahan kimia berbahaya secara berlebihan. Limbah dari produksi rokok yang sebagian besar beracun dan pembuangan kemasan serta puntung rokok kian mencemari ekosistem kita yang sudah rapuh.
Di Temanggung misalnya, dilansir dari Tempo, menyebutkan bahwa ada 30 hektare hutan harus bablas untuk perkebunan tembakau, yang notabenenya merupakan bahan utama industri rokok, pada 2016 lalu. WALHI juga mencatat hal yang sama terjadi di NTB, 1,4 hingga 1,6 juta pohon hilang setiap tahunnya untuk budi daya tembakau dan pengeringannya. Jika terus konsisten kehilangan pohon seperti itu, bukan tidak mungkin hutan di NTB hanya tinggal kenangan.
Philip Morris, perusahaan yang berada di balik rokok bermerek Marlboro dan Bendson & Hedges, menyebutkan bahwa dibutuhkan hingga 10 kg kayu untuk mengeringkan hanya 1 kg tembakau. Diperkirakan ada 1,5 juta pohon ditebang setiap harinya di seluruh dunia untuk kepentingan industri rokok, yang artinya ada lebih dari 600 juta pohon setiap tahunnya.
Sementara itu, satu batang pohon ditebang untuk setiap produksi bagi 15 bungkus rokok. Tobacco Freeca mencatat bahwa di negara-negara berkembang diperkirakan setiap satu pohon dibakar untuk 300 batang rokok.
Studi tahun 2000-an menyebutkan di nyaris sepertiga dari 66 negara dengan penghasilan rendah, seperti Uruguai, Bangladesh, Malawi, Yordania, Pakistan, Suriah, Cina, Zimbabwe, Tunisia, dan Burundi, angka deforestasi karena tembakau jauh lebih tinggi daripada angka deforestasi nasional. Bahkan pada 2007, nyaris empat puluh persen deforestasi terjadi di Uruguai dan Korea Utara karena industri rokok. Sementara itu di Malawi, angkanya naik dua kali lipat menjadi delapan puluh persen.
Mongabay mencatat bahwa lebih dari lima persen deforestasi global terjadi akibat industri rokok. Di samping itu, angka itu melonjak hingga lebih dari lebih dari dua puluh persen di negara-negara penghasil utama tembakau, seperti China, Malawi, Zimbabwe, India, dan Bangladesh. Malawi misalnya, sejak dekade 1970-an, lebih dari empat puluh persen hutannya digantikan dengan lahan perkebunan tembakau.
Setiap tahunnya, sudah seharusnya industri rokok bertanggung jawab untuk lebih dari 200.000 hektare deforestasi yang terjadi karena mereka. Terlebih lagi, tidak hanya persoalan deforestasi, tidak sedikit perkebunan tembakau yang melakukan eksploitasi anak di bawah umur sebagai tenaga kerja. Akibatnya, mereka turut terkena risiko kesehatan jangka panjang atau jangka pendek, seperti ancaman Green Tobacco Sickness (GTS).
Penulis: Misbahul
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana