Maraknya gerakan peduli lingkungan belakangan ini telah menyadarkan kita tentang betapa tidak bersahabatnya sumber bahan bakar yang rutin kita pakai selama ini. Sejauh ini, pemakaian masyarakat cenderung pada sumber energi tidak terbarukan, khususnya energi fosil.
Sumber energi fosil tersebut berasal dari fosil hewan dan tumbuhan yang terkubur dalam bumi dengan rentang waktu yang cukup lama, yang kemudian diolah menjadi bahan bakar, seperti batu bara, gas alam, dan minyak bumi. Intensitas pemakaian yang tinggi tentu tidak lantas menjadikan bahan bakar fosil ini sebagai pilihan yang paling tepat. Sebab kenyataannya, bahan bakar nabati justru lebih ramah serta dapat dengan mudah dijumpai sumbernya di lingkungan kita, Indonesia.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa ada beragam dampak serius dari penggunaan energi fosil berkelanjutan terhadap lingkungan. Contohnya, menipisnya cadangan sumber daya, pemanasan global, hujan asam, dan sederet dampak turunan lain, semisal kerusakan ekosistem, perubahan iklim, dan gelombang pasang.
Dari kenyataan di atas, bahan bakar nabati kemudian digadang-gadang sebagai pilihan strategis bagi Indonesia yang kaya akan sumber daya alam ini. Bahan bakar nabati (BBN) adalah semua bahan bakar yang berasal dari minyak nabati (tumbuhan). Ia dapat berupa biodiesel, bioetanol, dan bio-oil (minyak nabati murni). Di lingkungan kita, sumber bahan bakar nabati ini banyak jumlahnya, seperti sawit, kelapa, jarak, jagung, bunga matahari, alpukat, dan masih banyak lagi.
Tantangan Bahan Bakar Nabati
Meski sumber bahan bakar nabati dapat dengan mudah kita temui, ternyata realisasi energi ini kerap dikepung oleh berbagai tantangan. Misalnya, biofuel yang diekstrak dari sawit. Hal tersebut tentu akan berdampak pada bukaan lahan yang tidak sedikit karena sawit notabenenya kurang ramah alam. Selain itu, bukaan lahan juga akan mengancam luas hutan kita yang tersisa.
Menurut data dari Forest Watch Indonesia (FWI), pada periode 2013–2017 angka deforestasi hutan alam di Indonesia mencapai 5,7 juta hektare, dengan 2,8 juta hektare berada dalam konsesi dan 2,9 juta hektare lainnya berada di luar konsesi. Angka deforestasi tersebut menjadikan bahan bakar nabati yang bersumber dari sawit merupakan solusi semu bagi kebutuhan energi kita.
Di samping itu, sawit juga punya sederet probematika lain ketika dibicarakan dalam konteks sumber bahan bakar nabati. Di antaranya adalah varietas yang satu ini telah memiliki produk turunan lain yang lebih menjanjikan, seperti minyak goreng yang sudah diterima pasar dan jauh dari dilema dalam pengaplikasiannya.
Sumber bahan bakar nabati lain yang banyak di lingkungan kita juga tak luput dari sekelumit masalah dalam perealisasiannya. Hasballah, Direktur Migas PT Pembangunan Aceh (PEMA), dalam sebuah wawancara mengatakan, “Masalah utama kita dalam implementasi bahan bakar nabati adalah soal subsidi yang diberikan kepada BBM saat ini. Di samping, juga terkendala dalam proses mengumpulkan bahan baku, seperti buah jarak.”
Ia juga menambahkan, “Saat bahan bakar nabati ini jadi, proses yang dilalui mengondisikan harganya akan berada di atas harga BBM subsidi sehingga di lapangan produk ramah lingkungan ini tidak akan mampu bersaing dengan produk serupa yang sudah ada.”
“Bagaimana bahan bakar nabati ini tidak lagi sebatas angan di masa depan, perlu adanya iktikad kuat dari pihak otoritas dalam perealisasiannya. Hal ini bukanlah suatu hal yang dapat disiasati oleh sebagaian masyarakat saja. Apalagi hampir semua sumber-sumber ini punya produk turunan yang sudah diterima pasar dan lebih menjanjikan secara ekonomi,” tuturnya.
Penulis: Haris Syahputra
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana