Rezim Iran terus menentang komunitas internasional dengan memajukan program nuklirnya. Menjelang 2022, prospek Iran memperoleh senjata nuklir tetap menjadi salah satu ancaman terbesar bagi keamanan global.
Tanggapan politik terhadap ancaman ini telah berkembang selama hampir dua dekade, tetapi solusi pastinya tetap sulit diidentifikasi. Dalam ketidakhadirannya, krisis telah meningkat, dengan beberapa ahli memperingatkan bahwa rezim Teheran hanya beberapa pekan lagi dari “terobosan” senjata nuklir.
Jadwal tersebut memperjelas bahwa masyarakat internasional harus melihat masalah ini sebagai prioritas utama ketika menetapkan kebijakan untuk tahun mendatang. Kekuatan Barat harus bertujuan menghentikan kemajuan Iran menuju kemampuan senjata nuklir dalam minggu-minggu pertama, jika bukan hari-hari pertama, dari tahun baru.
Tentu saja, secara realistis hal ini tidak dapat dicapai melalui strategi yang pernah dilakukan dengan gigih oleh AS, Inggris, Prancis, dan Jerman sepanjang tahun lalu. Pengalaman menunjukkan bahwa negosiasi dengan Teheran dapat berlarut-larut tanpa batas, memungkinkan rezim itu untuk memajukan agenda-agenda busuknya. Memang itulah yang terjadi dengan program nuklir Iran dan kesepakatan 2015 yang dikenal dengan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).
AS menarik diri dari kesepakatan pada 2018, dengan Presiden Donald Trump saat itu mengecam perjanjian itu sebagai salah satu yang terburuk dalam sejarah dan mengutip pelanggaran Iran terhadap surat dan “semangatnya.” Iran akhirnya meresmikan pelanggarannya sebagai tanggapan dan kecepatan program nuklirnya kembali ke status pra-2015—menegaskan bahwa JCPOA tidak pernah benar-benar berhasil memperpanjang waktu terobosan Iran.
Sejak itu, celah (peluang) menjadi lebih kecil dan semakin mengecil. Pada awal 2020, rezim tersebut menyatakan bahwa mereka tidak akan mematuhi salah satu pembatasan yang diberlakukan oleh JCPOA.
Meskipun tidak jelas apakah rezim tersebut pernah patuh sepenuhnya pada awalnya, pelanggaran terbuka ini segera menyebabkan pengayaan uranium mencapai tingkat 60 persen. Pada tahun 2021, Kepala (baru) Organisasi Energi Atom Iran, Mohammad Eslami, mengeklaim bahwa persediaan uranium negara naik dari tingkat kemurnian fisil 20 persen sebelumnya menjadi lebih dari 120 kg.
Pengumuman itu datang pada saat AS, di bawah presiden baru, bekerja dengan penandatangan JCPOA Eropa untuk mencoba memulihkan perjanjian. Akan tetapi, kepemimpinan Eslami di AEOI (Pertukaran Informasi Otomatis) adalah hasil dari perubahan kepemimpinan Iran sendiri, yang menghentikan partisipasi rezim dalam negosiasi di antara para penandatangan di Wina. Ebrahim Raisi, Presiden garis keras Iran, membuat pembicaraan tersebut terpinggirkan (limbo) selama lebih dari lima bulan dan tampaknya melanjutkan negosiasi pada akhir November hanya karena khawatir lawan bicara Barat bergegas pergi.
Putaran terakhir pembicaraan Wina menegaskan bahwa perubahan taktik Iran bukanlah perubahan strategi. Rezim tetap berkomitmen untuk menunda proses restorasi JCPOA selama mungkin, selama itu tetap bebas dari hukuman yang akan dijatuhkan oleh buyarnya kesepakatan.
Pada saat yang sama, Iran masih memajukan kegiatan nuklirnya ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, memasang sentrifugal canggih baru untuk dengan cepat melakukan pengayaan lebih lanjut dari persediaan besar uranium yang diperkaya 20 persen dan memperoleh bahan tingkat senjata yang cukup untuk senjata nuklir.
Strategi terbaik komunitas internasional untuk segera menghentikan kemajuan Iran menuju kemampuan senjata nuklir adalah dengan tidak hanya terus menekan Iran atas masalah ini, tetapi juga menghubungkannya dengan berbagai hal lainnya, seperti pelanggaran hak asasi manusia, dan sepenuhnya memanfaatkan kerentanan yang sedang Teheran coba untuk meringankan dengan menuntut bantuan dan tidak menawarkan imbalan apa pun.
Sejak akhir 2017, Dewan Nasional Perlawanan Iran telah membuat progres untuk memfasilitasi kerusuhan rakyat dengan tujuan menggulingkan kediktatoran teokratis negara itu. Rezim itu sendiri mengakui pada Januari 2018 bahwa kelompok oposisi bertanggung jawab penuh atas pemberontakan nasional pada saat itu. Pesan serupa tentang peran perlawanan terorganisir dibagikan secara luas selama pemberontakan yang lebih besar pada November 2019.
Meskipun skala protes publik menurun setelah terjadinya pandemi global, demonstrasi kembali meningkat, terutama setelah “pemilihan” Raisi menjadi presiden melalui proses yang diboikot oleh sebagian besar warga Iran. Media Pemerintah Iran sekarang dipenuhi dengan peringatan terus-menerus tentang masa depan pemberontakan lain.
Baca Juga: Tahun 2021: Tahun yang Menyuramkan bagi Rakyat Iran
Sementara kelompok perlawanan dan aktivis Iran lainnya bersiap untuk bekerja menuju perubahan rezim sepenuhnya sendiri, mereka telah lama menuntut perubahan dalam paradigma Barat mengenai kebijakan Iran. Dukungan politik untuk kelompok-kelompok ini bisa sangat memicu tekanan domestik yang sekarang dihadapi Iran.
Namun, sejatinya, tekanan ganda dari dalam Iran dan di luar perbatasannya pada akhirnya akan mengarah pada kemungkinan runtuhnya rezim saat ini sehingga mengakhiri krisis nuklir selama bertahun-tahun serta berbagai masalah regional dan global yang jelas-jelas menanggung beban atas nama rezim ulama.
Setidaknya, strategi ini akan memaksa Iran untuk mempertimbangkan kembali kedalaman komitmennya terhadap aktivitas nuklir yang provokatif di tengah krisis ekonomi yang semakin parah. Nuklir Iran akan secara drastis mengubah keseimbangan kekuatan geopolitik dan menciptakan situasi bencana sepanjang 2022 dan seterusnya.
Penulis: Dr. Majid Rafizadeh
Ia adalah ilmuwan Iran-Amerika lulusan Harvard.
Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor Naskah: Teuku Zulman Sangga Buana
Editor Substantif: Nauval Pally Taran
Sumber: Arab News