Naik turunnya harga cabai di Aceh, bahkan nasional seperti telah menjadi isu yang tanpa akhir. kenyataan ini tentu sangat disayangkan. Ada banyak hajat hidup para petani yang digantungkan pada harga pasar cabai ini, di samping hampir setiap hari item ini juga digunakan oleh setiap rumah tangga.
Anjlok dan meroketnya harga cabai di pasaran bukanlah sebuah fenomena baru. Ini, seperti bom waktu yang akan terjadi kapan saja, ketika kapasitas produksi cabai di Aceh melimpah, atau justru saat kapasitasnya terlampau rendah dari permintaan yang ada.
Menurut Zubir Marzuki, pemerhati pangan di Aceh, problem rutin komoditas pangan ini harus secara serius ditangani oleh pemerintah. Hal ini karena masalah klise ini tidak akan selesai tanpa adanya regulasi yang jelas dari pihak otoritas, dan penanganan yang baik dari hulu ke hilir. Tanpa adanya peran pemerintah, semua ini akan sulit terwujud, dan tidak akan berdampak banyak pada kemandirian pangan serta peningkatan ekonomi di Aceh.
Tingginya angka produksi cabai harusnya tidaklah menjadi masalah jika pemerintah ikut andil dalam mengelola hasil pertanian ini. Hal ini karena jika angka-angka itu melebihi kebutuhan cabai Aceh setiap tahunnya yang hanya berkisar 10.000 ton, toh dunia membutuhkan pangan dalam jumlah yang tidak terbatas. Hanya saja, kita butuh dikenal oleh khalayak internasional sehingga cabai Aceh harusnya bisa menjadi seperti kopi gayo yang mendunia.
Bagaimana menyiasati fenomena ini, Zubir Marzuki memberi usul agar pemerintah menciptakan sebuah wadah yang secara intens menjadi saluran distribusi dan pusat pengolahan pangan petani di Aceh. Dengan adanya peran ini, setidaknya umur pangan akan menjadi lebih panjang, di samping nilai jual yang tentu saja mampu dirangsang lebih tinggi.
Adanya BUMD yang berperan dalam sektor ini, bahkan dapat menetralkan harga cabai di pasar dengan memberikan range harga yang jelas. Bagaimana hal tersebut dapat terealisasi, Zubir Marzuki mengusulkan supaya pemerintah menampung cabai yang berlebih ini di harga 15 ribu rupiah. Di mana cabai tersebut kemudian diolah dengan digiling halus dan kasar untuk kemudian didistribusikan dalam wujud cabai giling beku di harga 25 ribu rupiah.
Menurutnya, menetapkan harga beli minimum dan harga jual maksimum oleh BUMD ini akan sangat digdaya mengelola range harga cabai di pasaran. Rentang harga tersebut tidak akan lebih murah dari 15 ribu rupiah, yang dengan itu tidak akan merugikan petani, dan tidak akan lebih dari 30 ribu rupiah, yang hal ini akan meringankan masyarakat. Harga cabai segar bisa ditahan di angka 30 ribu rupiah ini karena adanya opsi alternatif cabai giling beku dengan harga 25 ribu rupiah di pasar.
Harga-harga ini tentu harus dievaluasi setiap tahunnya sebab angka tersebut harus disesuaikan dengan kadar inflasi nasional. Hanya saja, BUMD tidak sepantasnya menjadi perusahaan yang berbasis pada money oriented, dengan melupakan fungsi dasarnya sebagai pelayan masyarakat dan penunjang kesejahteraan daerah.
Pengelolaan cabai yang baik di Aceh juga sangat memungkinkan terciptanya berbagai industri produk turunan, seperti saos dan bumbu-bumbu dapur praktis olahan. Keseluruhan itu nantinya akan membuka lapangan pekerjaan baru dan mengentas angka kemiskinan.
Penulis: M. Haris Syahputra
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana