SAHIH.CO – Jumlah permintaan bawang merah di Aceh mencapai 20 ribu ton dalam satu tahun, yang berarti konsumsi harian masyarakat Aceh mencapai 50 ton per hari. Namun, sejauh ini pemasok utama kebutuhan bawang Aceh masih dari luar provinsi, yaitu Brebes, Jawa Tengah. Di samping memang, ada juga pasokan dari kawasan Pidie, yang hanya berkisar di angka lima ribu ton per tahun.
Saat ini, kecamatan yang fokus memproduksi bawang merah di Pidie adalah Bambi, Simpang Tiga, Kembang Tanjong, Keumala, Batee, dan Grong-Grong. Pemberdayaan Pidie sebagai basis pertanian bawang merah bukanlah sebuah wacana tanpa kajian. Kabupaten ini telah sejak lama memproduksi bawang untuk Aceh, iklim dan tanah di sini seolah sangat sesuai dengan varietas bawang ini, papar Zubir Marzuki, pemerhati pangan Aceh kepada sahih.co.
Menurut analisis Zubir Marzuki, untuk memperpendek jarak ketimpangan antara permintaan dan kapasitas produksi ini, Aceh membutuhkan setidaknya seribu hektare lahan pertanian untuk varietas bawang merah. Jika kita asumsikan per hektare memproduksi 10 ton saja dalam sekali panen dan dalam satu tahun ada dua kali panen, kebutuhan bawang merah Aceh yang hanya berkisar di angka 20 ribu ton tentu lekas terpenuhi.
Zubir juga menyampaikan bahwa jika dalam satu hektare lahan pertanian bawang merah ini membutuhkan tiga orang pengelola, sudah ada tiga ribu orang yang akan lepas dari jerat kemiskinan. Selain itu, pengelolaan produk pertanian dari hulu ke hilir juga akan membuka ruang pemberdayaan SDM yang maksimal. Beragam industri produk turunan akan menjamur dan membuka lapangan pekerjaan yang luas.
Jika rencana pemerintah untuk menjadikan kawasan Pidie dan sekitarnya sebagai sentral produksi bawang merah untuk Aceh secara sungguh diikhtiarkan, keterlibatan dan peran aktif perusahaan daerah sangatlah dibutuhkan dalam setiap prosesnya. Hal tersebut agar seluruh produksi ini memiliki jalur distribusinya tersendiri, tidak menjadi bumerang bagi para petani.
Menurut Zubir, keseluruhan dari produksi bawang ini haruslah dikelompokkan, untuk kemudian dipilah berdasarkan grade-nya. Bawang dengan kualitas terendah tidak lagi dipasarkan ke masyarakat, tetapi justru diolah menjadi bawang goreng lebih dahulu. Hal ini juga akan membuka lapangan pekerjaan serta secara simultan melipatgandakan nilai jualnya. Menurut Zubir Marzuki, kedaulatan pangan akan sulit tercapai tanpa campur tangan pemerintah secara langsung.
Penulis: M. Haris Syahputra
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana