SAHIH.CO – Belum lama ini, tim peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berhasil mengidentifikasi tumbuhan paku baru jenis Deparia stellata di hutan Papua. Penemuan ini seakan makin menegaskan bahwa hutan Papua adalah rumah bagi kehidupan flora dan fauna yang amat beragam.
Ada lebih dari 20.000 jenis tanaman, 602 jenis burung, 125 jenis mamalia, dan 223 jenis reptil, bahkan tak sedikit yang sifatnya endemik (hanya bisa ditemukan di hutan Papua). Maka dari itu, tak heran jika hutan Papua merupakan salah satu hutan dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.
Namun, bagaimana jika suatu saat nanti angka-angka menakjubkan di atas hanyalah kenangan? Bagaimana jika burung-burung surga hanya tinggal kerangka di museum-museum? Bagaimana jika pohon-pohon tinggi telah berubah menjadi pohon-pohon sawit? Mengingat hutan Papua telah menyusut hingga lebih kurang dua juta hektare sejak 1990 hingga 2018, jika tidak segera dihentikan, kekhawatiran di atas bukan tidak mungkin menjadi kenyataan.
Deforestai Hutan Papua dalam Angka
Setelah berlalu dua dekade sejak abad ke-21 berjalan, banyak hal yang terjadi di tanah Papua, dan di antara yang penting untuk disorot adalah hilangnya 663.443 hektare tutupan hutan alam. Yayasan Auriga Nusantara mencatat 29 persen deforestasi tersebut terjadi pada rentang 2001–2010 dan 71 persen lainnya terjadi pada rentang 2011–2019. Diperkirakan, ada sekitar 34.918 hektare hutan alam hilang di Tanah Papua setiap tahunnya. Tahun 2015 mencatatkan prestasi sebagai tahun terbanyak kehilangan hutan alam, yakni seluas 89.881 hektare.
Masifnya deforestasi yang terjadi tak bisa dipisahkan dari mudahnya para pelaku industri meraih izin atas kawasan hutan dari pihak otoritas. Misalnya, selama kurun waktu 1992–2019, Menhut menerbitkan tak kurang dari 72 surat keputusan untuk melepas 1.569.702 hektare lahan hutan. Sekitar 951 ribu hektare atau nyaris dua kali lipat luas Pulau Bali dilepas dalam kurun tahun 2000 ke atas. Ironisnya, dari 951 ribu hektare tersebut, nyaris separuhnya atau 447 ribu hektare adalah hutan primer. Berdasarkan analisis Center for International Forestry Research (CIFOR), telah ada seluas 168.471 hektare hutan alam di Provinsi Papua yang dikonversi menjadi perkebunan sawit hingga 2019.
Dari keseluruhan pelepasan area hutan, pembangunan kelapa sawit mendapatkan area terluas, yakni mencapai 1.308.607 hektare. Sebagaimana penyebab deforestasi di banyak daerah di Indonesia, izin perkebunan kelapa sawit ditengarai sebagai penyebab utama deforestasi yang terjadi di Papua. Selain izin kelapa sawit, aktivitas pertambangan dan illegal logging juga turut membantu terjadinya deforestasi yang tidak sedikit.
Hal tersebut diperkuat dengan sebuah publikasi oleh David Gaveau, dkk. dengan judul “Forest loss in Indonesian New Guinea: trends, drivers, and outlook”. Publikasi itu menyebut bahwa penyusutan hutan dalam dua dekade terakhir menyumbang 2% kehilangan hutan di Papua. Rinciannya, 28% dibuka untuk industri perkebunan (pulp dan kelapa sawit), 23% untuk ladang berpindah, 16% tebang pilih, 11% untuk peluasan sungai dan danau, 15% untuk perkotaan dan perluasan jalan, 5% kebakaran, dan 2% untuk pertambangan.
Korporat yang Birokrat
Greenpeace menyebutkan bahwa mudahnya pelepasan kawasan hutan ditengarai oleh para pebisnis kelas kakap yang memiliki pengaruh kuat di industri perkebunan besar sehingga pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Sekar Banjaran Aji, Forest Campaigner Greenpeace menyebutkan bahwa mayoritas izin tersebut dikendalikan oleh beberapa orang terkaya di Indonesia, terutama yang telah membangun perkebunannya. Lebih lanjut, Greenpeace menemukan keterlibatan sejumlah nama elite politik dalam pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua, dari politisi nasional terkemuka, anggota DPR, mantan menteri, anggota partai, bahkan hingga perwira tinggi.
Dalam laporan “Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan Tanah Papua”, Greenpeace mencatat sebelas pemodal kelas kakap yang terkait dengan konsesi perkebunan di Provinsi Papua selama 2010–2019. Mereka adalah adalah Seung Eun Ho, Ganda Sitorus dan Martua Sitorus, Peter Sondakh, Rosna Tjuajta, keluarga Selvanathan, Richad Elman, keluarga Hayel Saeed, Sukanto Tanoto, keluarga Rumangkang, Anthon Salim, dan Yulius Lim. Selain para pemodal, laporan yang tersebut juga menyebut nama-nama politisi nasional dan mantan pejabat terkemuka yang memiliki koneksi dengan perusahaan pemegang konsesi lahan.
Hutan bagi Masyarakat Papua
Tidak hanya rumah bagi banyak flora dan fauna yang dilindungi. Hutan Papua juga rumah dan sumber kehidupan bagi masyarakat Papua, sejak dahulu hutan telah menjelma menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Mereka makan dari hasil hutan, minum dari mata air yang ada di dalamnya, dan jika sakit, hutan pun menjadi sumber obat-obatan bagi mereka. Dalam artian lain, hutan adalah pasar bagi mereka, semuanya tersedia gratis untuk mereka guna memenuhi kebutuhan hidup.
Lebih dari semua itu, bagi masyarakat adat Papua, tanah dan hutan memiliki arti lebih, bagi mereka hutan adalah ibu yang harus dibakti sekaligus warisan leluhur yang harus dijaga. Hutan adalah ekosistem yang mencirikan kebudayaan mereka. Masyarakat adat merasa punya tanggung jawab sepanjang hayat untuk memelihara dan memperjuangkan keamanan, kelestarian, dan keberadaanya bagi kehidupan kini dan generasi penerus.
Bahan bacaan:
- Laporan Greenpeace: “Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua”.
- Muhammad Ridha Saleh: “Hutan Papua, Bencana Ekologis dan Ekosida”
- Hidayat Herman dan Yamamoto Sota: “Papua’s Threatened Forests: Conflict of Interest Government versus Local Indigenous People”.
- David Gaveau, dkk. “Forest loss in Indonesian New Guinea: trends, drivers, and outlook”.
Penulis: Misbahul
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana