SAHIH.CO – Wacana pemerintah untuk mengakhiri peredaran Pertalite dan Premium di wilayah Jawa dan Sumatra menuai banyak sorotan. Setelah bulan lalu disampaikan, tidak berselang lama, rencana itu ditarik kembali karena berbagai pertimbangan dan memicu kontroversi di ruang publik.
Penghapusan BBM jenis Premium dan Pertalite semula dimaksudkan untuk meningkatkan penggunaan bahan bakar minyak yang lebih ramah lingkungan. Merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor P20/Menlhk/Setjen/Kum1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang, yang direkomendasikan ialah BBM dengan research octane number (RON) 91.
Secara bertahap, masyarakat akan diajak dan diedukasi untuk menggunakan jenis BBM dengan RON 91 yang tentu saja lebih ramah lingkungan. Kedua BBM yang lumrah dipakai saat ini masih bernilai oktan rendah, di bawah RON yang disarankan. Premium memiliki RON 88, sedangkan Pertalite memiliki RON 90. Kedua BBM ini masih mengacu pada standar bahan bakar Euro 2 yang sudah sejak 20 tahun lalu dilupakan di Eropa.
Namun begitu, menurut Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati, Pertamina tidak akan secara langsung memutus peredaran Pertalite di pasaran. Akan tetapi, perseroan akan melakukan edukasi kepada masyarakat untuk memantik kesadaran terkait dengan penggunaan BBM yang lebih ramah lingkungan. Dengan edukasi ini, diharapkan akan meningkatnya kontribusi kita terhadap penurunan karbon di Indonesia.
Dilansir dari theconversation.com, penghapusan Premium dan Pertalite tak cukup efektif untuk menekan emisi BBM. Buruknya kualitas BBM ini bermula dari standar implementasi terkait dengan emisi kendaraan dan standar bahan bakar yang tidak selaras antara Direktorat Jenderal Migas ESDM yang kuasa atas tata kelola kualitas BBM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mengatur standar emisi gas buangan kendaraan bermotor.
Dalam hal standar emisi kendaraan, KLHK mewajibkan emisi kendaraan roda dua harus sesuai dengan standar Euro 3, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan No. 23 Tahun 2012. Adapun kendaraan bensin roda empat, sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 20 Tahun 2017, mesti berstandar Euro 4.
Namun, Direktorat Jenderal Migas ESMD justru masih mengatur kualitas bensin dengan standar yang lebih buruk dibandingkan standar emisi kendaraan versi KLHK. Misalnya, kandungan sulfur bensin Premium dan Pertalite masih dibolehkan mencapai 500 parts per million (ppm). Bahkan, pembatasan kandungan sulfur yang sama juga berlaku bagi bensin oktan 91 dan 95.
Ketidakselarasan ini mesti segera memiliki titik temu sebab perbaikan kualitas keduanya tak bisa dipisahkan. Mengingat pula, agar kendaraan yang berstandar emisi mutakhir dapat beroperasi optimal. Produsen kendaraan juga harus memproduksi dan memasarkan kendaraan dengan gas buang yang lebih baik. Di samping itu, perusahaan migas juga harus menaikkan kualitas bahan bakarnya, sesuai dengan perkembangan teknologi dan yang luwes dengan lingkungan. Tanpa kehendak tersebut, sektor transportasi akan terus-terusan menjadi penyumbang besar polusi udara, terutama di kota-kota besar.
Selain itu, peneliti Institute of Development and Economics Finance (INDEF) Abra Talattov mengatakan bahwa rencana penghapusan Premium dan Pertalite tidak boleh dilakukan secara terburu-buru oleh pemerintah. Menurutnya, rencana tersebut masih perlu mempertimbangkan banyak kondisi, seperti ekonomi dan sosial masyarakat. Bila kedua jenis BBM tersebut dihapuskan, akan langsung memicu pengeluaran biaya yang lebih besar untuk kebutuhan energi. Seterusnya, akan menimbulkan kenaikan-kenaikan harga pada beragam sektor, baik dari sisi transportasi maupun bahan pokok.
Penulis: M. Haris Syahputra
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana