Sejak dini hari tanggal 24 Februari, ketika Rusia memulai invasinya ke Ukraina, dunia pada umumnya telah menyaksikan keberanian dan ketahanan rakyat Ukraina dengan kagum.
Segera setelah tentara Rusia pertama menginjakkan kaki di Ukraina, ribuan warga sipil mengangkat senjata dan bergabung dengan pasukan Ukraina untuk mempertahankan tanah air mereka dari kekuatan militer yang tak terbendung. Bahkan, setelah peluru mulai menghujani kota-kota Ukraina, menghancurkan infrastruktur militer dan daerah pemukiman, pasukan pemberani dan warga sipil yang mendukung mereka menegaskan bahwa mereka akan terus berjuang untuk kebebasan bangsa mereka sampai akhir.
Dalam pertunjukan kehormatan dan kepahlawanan ini, para politisi dan diplomat di seluruh dunia berlomba-lomba untuk mengutuk agresi Rusia dan meminta semua orang untuk memberikan dukungan mereka di belakang “pasukan perlawanan” Ukraina.
Dan salah satu politisi yang bergegas menyuarakan dukungannya untuk Ukraina dan rakyatnya adalah Menteri Luar Negeri Israel, Yair Lapid.
Berbicara pada konferensi pers singkat, Lapid mendefinisikan serangan Rusia ke Ukraina sebagai pelanggaran serius terhadap tatanan internasional. “Israel mengutuk serangan itu dan siap serta menawarkan bantuan kemanusiaan kepada warga Ukraina,” katanya. “Israel adalah negara yang pernah mengalami perang, dan perang bukanlah cara untuk menyelesaikan konflik.”
Banyak yang menyaksikan perang ini dari jauh sepertinya tidak terlalu memperhatikan apa yang dikatakan Lapid, atau menganggapnya sebagaimana politisi lain yang mencoba mencetak poin (mengakreditasi diri sendiri) dengan membuat seruan kosong untuk perdamaian dan solidaritas.
Akan tetapi, bagi orang-orang Palestina yang hidup di bawah pendudukan Israel dan apartheid, pembelaannya dan dukungannya bagi rakyat Ukraina adalah tamparan di wajah—itu adalah pertunjukan kemunafikan yang terang-terangan.
Dan bukan hanya menteri luar negeri Israel yang secara munafik mengutuk invasi Rusia dan menyatakan dukungan untuk perlawanan Ukraina sambil mengabaikan tindakan Israel sendiri.
Ribuan orang Israel juga turun ke jalan di Tel Aviv “untuk Ukraina”. Dan saat mereka berbaris dengan bendera Ukraina di tangan dan meneriakkan “Bebaskan Ukraina”, penduduk Palestina di kota itu tak bisa berkata apa-apa. Lagi pula, banyak orang Israel yang tidak pernah turun ke jalan di Israel untuk menuntut “Palestina Merdeka” atau setidaknya persamaan hak bagi orang-orang Palestina yang hidup di bawah rezim apartheid negara mereka. Lebih buruk lagi, mereka pasti tahu bahwa setiap kali orang Palestina mencoba turun ke jalan di Israel untuk mengatakan “Bebaskan Palestina” dan mengibarkan bendera mereka sendiri, mereka akan segera ditangkap, menghadapi kebrutalan polisi, atau lebih buruk lagi.
Guncangan yang dialami rakyat Palestina sejak awal perang di Ukraina tidak semata-mata disebabkan oleh tindakan dan perkataan munafik pejabat dan warga Israel saja.
Sejak 24 Februari, mereka juga berhadapan langsung dengan kemunafikan yang melekat pada komunitas global pada umumnya.
Setelah Rusia memasuki wilayah Ukraina dan mengklaim bahwa Ukraina tidak pernah menjadi negara nyata dan tanah itu selalu dalam bayang-bayang Rusia, semua pemimpin Barat, organisasi media dan institusi-institusi mulai dengan penuh semangat berbicara tentang “ilegalitas pendudukan”, “hak rakyat yang diduduki untuk perlawanan bersenjata ”, “pentingnya kedaulatan dan otonomi nasional”—argumen dan konsep yang tidak pernah mereka ungkapkan secara serius dalam membela rakyat Palestina dan perjuangan mereka selama puluhan tahun untuk kebebasan.
Dalam seminggu terakhir ini, kami orang Palestina berulang kali dikejutkan, menyadari bahwa komunitas global telah mengajari kami selama bertahun-tahun.
Kami belajar bahwa, terlepas dari apa yang telah kami alami di tanah air kami, hukum internasional memang ada, dan memang berfungsi. Negara memang memiliki kapasitas dan kehendak untuk mengambil tindakan ketika suatu kelompok menyerbu tanah kelompok lainnya. Kami belajar bahwa sanksi dapat digunakan dengan cepat dan efisien terhadap agresor dan bahwa memberikan sanksi kepada suatu negara atas pelanggaran hukum internasionalnya tidak selalu merupakan tindakan rasis. Kami belajar bahwa korban sipil bukan hanya angka, tetapi kehidupan nyata, orang-orang yang bernafas memang benar-benar penting. Dan kami juga belajar dari politisi, pakar, analis dan bahkan penindas dan penjajah kami sendiri, bahwa perlawanan bersenjata terhadap pendudukan bukanlah “terorisme”, tetapi sebuah hak.
Memang, selama seminggu terakhir, surat kabar, situs web, dan media sosial telah dipenuhi dengan cerita tentang “kepahlawanan dan perlawanan” Ukraina—cerita tentang tentara yang meledakkan jembatan untuk menghadang tank Rusia mendekat dan mengorbankan diri mereka sendiri dalam prosesnya, warga sipil menyerang kendaraan bersenjata dengan apa pun yang mereka miliki, orang biasa menerima pelatihan senjata dan menggali parit. Jika salah satu dari kisah-kisah ini terjadi di Palestina daripada di Ukraina, tentu saja tidak akan dianggap sebagai tindakan kepahlawanan—mereka akan diklasifikasikan dan dikutuk sebagai “teror”.
Organisasi berita menerbitkan cerita yang positif dan bahkan menginspirasi tentang orang Ukraina yang membuat bom molotov untuk menyerang tentara Rusia. Media internasional, tentu saja, tidak pernah memuji orang-orang Palestina karena membuat bom molotov dan melemparkannya ke pemukim Israel dan pelindung berseragam mereka yang mencoba mendorong mereka secara paksa keluar dari rumah, lingkungan, dan desa mereka. Ketika Ukraina melakukannya dalam melawan penjajah Rusia, itu adalah kepahlawanan. Ketika orang Palestina melakukannya terhadap penjajah Israel, itu hanya teror.
Sepanjang minggu lalu, kami juga menyaksikan orang-orang di Eropa begitu menyambut pengungsi Ukraina dengan tangan terbuka. Termasuk politisi yang sama, yang memperlakukan jutaan pengungsi yang tercipta oleh pendudukan ilegal Israel dan apartheid yang paling tidak seperti gangguan atau lebih buruk lagi, seperti ancaman bagi perdamaian selama bertahun-tahun, ia menyampaikan pidato publik tentang pentingnya menyediakan tempat berlindung bagi mereka yang diusir dari rumah mereka oleh sebuah kekuatan pendudukan.
Dan kami tahu semua realisasi ini tidak khas bagi hanya kami orang Palestina saja. Saya yakin, banyak orang Afganistan, Yaman, Etiopia, Irak, Suriah, Libya, Somalia, Kashmir, dan lainnya yang telah menerima kekerasan dan penindasan kolonial dan kekaisaran telah mencapai realisasi yang sama ketika mereka menyaksikan krisis di Ukraina terungkap.
Dalam seminggu terakhir, saya telah mendengar begitu banyak orang mengatakan “sekarang bukan waktunya untuk berbicara tentang Palestina, Yaman, Libya atau Irak”. Begitu banyak orang yang tampaknya bermaksud baik mengklaim bahwa penyebutan standar ganda ini sekarang adalah “whataboutisme” (teknik propaganda) yang memberi dukungan kepada Rusia.
Tetapi kepada mereka, saya dengan yakin menjawab, tidak—waktunya benar-benar tidak dapat lebih baik untuk berbicara tentang semua dan setiap tindakan agresi militer, pendudukan dan penindasan di seluruh dunia. Sekarang semua negara Barat yang kuat, media internasional dan bahkan penguasa Israel tampaknya secara terbuka menerima bahwa pendudukan itu buruk, perlawanan tidak hanya sah tetapi terhormat, dan semua korban perang harus didukung, kita semua harus mulai berbicara tentang Palestina, Yaman, Libya, Irak, Afganistan, Kashmir .
Pada tanggal 26 Februari, hanya dua hari setelah invasi Rusia, Paul Massaro, penasihat kebijakan senior di Komisi Keamanan dan Kerjasama AS di Eropa, mentwit: “Saya memeras otak saya untuk paralelitas sejarah dengan keberanian dan semangat juang Ukraina dan yang datang tanpa peralatan apa pun. Berapa banyak orang yang pernah bertahan melawan agresor seperti ini? Ini legendaris.”
Baiklah pak Massaro, apakah Anda pernah mendengar tentang orang Palestina? Kami telah dengan berani berdiri tegak melawan agresor selama 73 tahun. Anda tidak dapat memikirkan “paralelitas sejarah” hanya karena Anda melihat perjuangan kami bukan sebagai perlawanan, tetapi sebagai “terorisme”.
Terorisme dan keberanian, tampaknya, dapat dipertukarkan. Kami melawan penindas kami, dan kami mendapatkan cap teroris. Orang Ukraina melakukan hal yang sama, dan mereka mendapatkan tepuk tangan atas keberanian mereka.
Sayangnya, orang-orang Palestina masih mendukung perjuangan semua orang tertindas lainnya untuk pembebasan. Kami mendukung mereka sebagai bentuk solidaritas, karena kami telah melalui hal yang sama. Kami mendukung Ukraina dalam perjuangan mereka melawan agresor yang mencoba mencuri tanah mereka dan juga masa depan mereka, karena kami sendiri pernah merasakan hal yang sama.
Organisasi media dan politisi yang sama yang mengutuk perlawanan Palestina sebagai “teror” secara terbuka mengakui bahwa membela tanah air Anda dan rakyat Anda sebenarnya adalah hal yang baik dan mulia, kami memahami semuanya hanyalah masalah perspektif. Kami memahami bahwa bagaimana tindakan Anda terlihat hanya bergantung pada identitas agresor yang Anda lawan. Dan kami tidak berpikir ini baik-baik saja, tetapi kami menerimanya apa adanya. Mungkin karena kami juga “relatif beradab ”.
Penulis: Muhammad Rafik Mhawesh
Muhammad Rafik Mhawesh adalah seorang penulis dan jurnalis Palestina, tinggal di kota Gaza, dan kontributor bab untuk buku “A Land With A People”–Monthly Review Press Publication, 2021
Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor: Nauval Pally Taran
Sumber : Al Jazeera