Hamparan tanaman padi di Desa Cijeler, Kabupaten Sumedang terlihat coklat seperti jerami sisa-sisa panen. Waktu itu bulan Agustus 2019. Seperti pada tahun-tahun El-Nino sebelumnya, musim kemarau datang lebih cepat dan berlangsung lebih lama, banyak petani padi merugi karena pasokan air tidak cukup untuk mengairi sawah. Pada areal persawahan yang tidak dilalui saluran irigasi teknis seperti di Desa Cijeler, petani amat mengandalkan pasokan air dari sumber alami seperti sungai ataupun mata air.
Tetapi pada musim kemarau yang datang lebih cepat dan berlangsung lebih lama seperti tahun 2019-2020, banyak mata air yang kering sehingga tidak dapat memasok lahan persawahan. Tanaman padi yang belum sempat berbuah pun mati karena kekurangan air.
Kegagalan tanam akibat kekurangan pasokan air adalah kombinasi dari kondisi iklim dan kekeliruan petani mengantisipasinya. Petani-petani di Desa Cijeler yang mengalami puso pada 2019 adalah mereka yang memaksakan diri untuk menanam padi musim ke-2. Mereka berharap hujan masih akan turun hingga akhir bulan Juni bahkan Juli sehingga tanaman padi bisa dipanen bulan Agustus. Namun, aral tak dapat dihindari. Tahun itu di beberapa tempat Kabupaten Sumedang, hujan sudah tidak turun sama sekali sejak bulan Mei dan terus berlanjut bahkan hingga bulan September.
Beberapa petani bercerita bahwa tahun 2019 adalah tahun “istimewa” karena hujan sama sekali tidak turun sejak bulan Juni hingga bulan September 2019. Catatan dokumentasi curah hujan menunjukan bahwa hujan sama sekali tidak turun selama 100 hari berturut-turut. Keadaan itu membuat beberapa orang petani heran. Padahal, sepanjang ingatannya, di musim kemarau sekalipun hujan bisa satu atau dua kali turun.
Kekeliruan mengantisipasi datangnya musim kemarau yang lebih cepat bukan hanya dialami oleh petani di Sumedang pada 2019. Pada bulan Februari 2015, para petani di Lombok Timur mengalami hal serupa. Di Lombok, tradisi Bau Nyale atau mencari cacing laut yang muncul ke permukaan biasanya berlangsung seiring puncak musim hujan. Namun, tahun itu keadaan amat berbeda.
“Bau Nyale itu biasanya kita basah kuyup karena hujan. Tidak pernah ada cerita orang mencari nyale [cacing laut] dalam keadaan kering, tetapi kali ini berbeda. Tidak ada hujan sama sekali,” tutur seorang tetua adat di Lombok Timur. Ia mengaku baru pertama kali sepanjang hidupnya menyaksikan festival mencari nyale tanpa diiringi hujan. Jumlah cacing laut yang naik ke permukaan pun lebih sedikit dari biasanya.
Perdebatan soal penentuan tanggal penyelenggaraan festival Bau Nyale diwarnai perselisihan pendapat kapan nyale yang dipercaya jelmaan dari rambut Putri Mandalika akan naik ke permukaan. Orang-orang tua percaya bahwa nyale akan muncul ke permukaan laut lebih akhir berdasarkan perhitungan warige (kalender Sasak). Itu tandanya musim hujan memang akan datang terlambat dan lebih pendek.
Namun, festival Bau Nyale harus tetap diselenggarakan lebih awal karena sudah tercantum dalam kalender kegiatan pariwisata. Festival harus tetap digelar lantaran sponsor sudah berkomitmen dan tentunya atraksi wisata itu juga disesuaikan dengan puncak kedatangan wisatawan.
Pengetahuan Perubahan Iklim sebagai Antisipasi
Bagi sebagian dari kita, perubahan iklim mungkin sesuatu yang jauh dan tidak berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari. Meskipun terus diperbincangkan, realitas itu tidak pernah dirasakan sebagai sesuatu yang dekat. Hal ini berbeda dengan yang dialami petani pada contoh-contoh di atas. Saya teringat cerita seorang petani di Indramayu pada bulan Agustus tahun 2017. Tahun itu adalah tahun La Nina (kemarau basah).
Saat itu, banyak pihak optimistis musim hujan yang berlangsung lebih lama akan membuat air tersedia sepanjang tahun. Artinya, lahan pertanian dapat terus ditanami sepanjang tahun. Namun, ekosistem pertanian tidak hanya terdiri dari tanah, air, dan tanaman. Di beberapa daerah Indramayu, upaya memaksimalkan produksi tahun itu berimbas pada ledakan populasi serangga hama Wereng Batang Cokelat (WBC). Keberadaan tanaman padi di sawah sepanjang tahun berarti tersedianya sumber makanan berkesinambungan bagi serangga hama.
Akibatnya, di beberapa desa yang berdekatan dengan hamparan sawah yang ditanami padi tiga kali pada musim tanam 2016-2017, tanaman padi terinfeksi virus kerdil rumput yang dibawa oleh WBC. Tanaman yang sakit tidak lagi dapat melanjutkan pertumbuhan ke fase generatif. Tanaman terinfeksi tidak menghasilkan buah (biji) padi dan harus diganti dengan yang baru.
Ada petani yang menanam padi lima kali sepanjang musim tanam pertama tahun 2018, tapi belum sekalipun merasakan panen akibat tanamannya terus-menerus terinfeksi virus. Banyak petani terlilit hutang dari pinjaman untuk menyewa lahan, membeli bibit, dan membayar buruh. Saking frustasinya, seorang petani menawarkan sepetak lahan sempit miliknya untuk dijual demi membayar hutang, yang lain jatuh sakit dan stres akibat modal yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil panen. Seorang petani mengguyur lima liter solar ke petak sawahnya dengan harapan bisa membunuh virus yang menginfeksi tanamannya. Ia sudah lelah dengan janji-janji muluk iklan pestisida yang tidak terbukti sama sekali.
Hal penting dalam menghadapi perubahan iklim dan perubahan lingkungan artinya adalah kemampuan mengantisipasi kemungkinan di masa depan. Dalam konteks pertanian, itu artinya kemampuan memahami skenario iklim 3-4 bulan ke depan untuk merancang strategi antisipasi. Dan betul, Yus, petani lulusan SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu) dari desa Mulyasari, Indramayu, terhindar dari kerugian besar karena paham kemarau basah justru ideal bagi perkembangbiakan serangga hama seperti WBC.
“Petani yang untung adalah yang tidak menanam sama sekali,” begitu ujarnya. Ketika petani lain merugi akibat serangan virus pada musim tanam berikutnya, Yus tetap dapat memetik panen. Ekosistem sawah yang dikelolanya relatif lebih tangguh karena populasi “serangga sahabat petani” yang menjadi musuh alami serangga hama.
Di Lombok tahun 2015, ada perdebatan di antara seorang petani dengan tetua adat tentang musim kemarau — apakah dia akan berlangsung lama atau sebentar? Pengetahuan atas karakter musim kemarau begitu penting untuk menentukan komoditas yang akan ditanam. Salah antisipasi berarti kerugian besar. Musim kemarau adalah waktunya menanam tembakau yang bisa membawa keuntungan besar, tapi jika musim hujan datang lebih cepat keuntungan akan berbalik jadi kerugian besar.
Tetua adat menaksir musim kemarau akan pendek, sementara sang petani, yang merupakan peserta kelompok pengukur curah hujan, memprediksi musim kemarau yang panjang. Para petani terbelah, namun beberapa akhirnya memutuskan menanam tembakau dengan harapan musim kemarau akan panjang. Informasi iklim dari petani pengukur curah hujan terbukti dan para petani yang mengikutinya mendapatkan panen tembakau yang berlimpah. Sang petani pengukur curah hujan pun diberikan predikat sebagai “mangku hujan”, status sosial yang belum pernah ada sebelumnya dan belakangan mengantarkan dia menjadi seorang kepala desa.
Sumber Informasi Iklim dan Politik Pengetahuan
Pertanyaannya, apakah perangkat pengetahuan yang dimiliki dan tersedia buat petani sudah cukup untuk mengantisipasi risiko perubahan iklim? Secara garis besar, pengetahuan empiris petani berasal dari tiga sumber. Yang pertama adalah pengetahuan yang diperkenalkan dari berbagai program pemerintah. Yang kedua pengetahuan tradisional yang bersumber dari kosmologi masyarakat agraris. Yang ketiga pengetahuan “alternatif” yang diperkenalkan oleh institusi non-negara atau di luar program-program pemerintah.
Permasalahannya, pengetahuan perubahan iklim punya konsekuensi politik ketika dihadapkan dengan target-target pemerintah. Suatu ketika, seorang peneliti senior dari Universitas Indonesia diminta seorang pejabat daerah untuk tidak menyampaikan prediksi datangnya El-Nino pada 2019. Sang pejabat khawatir informasi tersebut akan mengurungkan niat petani menanam padi yang ujungnya mengganggu penilaian kinerja sang pejabat dan keberlangsungan kariernya. Terlihat, kinerja birokrasi dinilai dari seberapa banyak padi diproduksi, tapi tidak mempertimbangkan realitas iklim serta dampak kerugiannya pada petani.
Sebetulnya, sudah ada beberapa intervensi pemerintah untuk membantu adaptasi perubahan iklim di bidang pertanian. Sirkulasi informasi iklim setidaknya sudah dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi di bawah label smart farming. Program Sekolah Lapangan Iklim juga sudah dilakukan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Namun, seperti banyak program yang mengadopsi pembelajaran orang dewasa di bawah label “sekolah lapangan”, kegiatan tersebut terjebak dalam hierarki birokrasi dan formalitas serta tidak efektif menurut para petani.
Di sisi lain, diseminasi informasi iklim melalui teknologi informasi terkendala oleh pengaplikasiannya di lapangan. Tidak ada pendampingan yang berkelanjutan untuk menerjemahkan data-data saintifik ke praktik-praktik empiris yang relevan dalam konteks-konteks yang khas. Walhasil, terlepas dari klaim keberhasilan program-program itu, banyak petani yang masih kebingungan menghadapi dinamika iklim. Tidak heran jika ada petani yang mengatakan bahwa bertani itu seperti berjudi, karena hasilnya tidak dapat diprediksi.
Yang diperlukan adalah ruang-ruang pembelajaran iklim yang inklusif, yang memberi kesempatan kepada petani untuk ikut memutuskan strategi antisipasi yang tepat dan sesuai konteks.
Penulis: Rhino Ariefiansyah
Sumber: Remotivi