Sebagai salah satu lembaga resmi negara, BNPT begitu konsisten untuk urusan sensasi dan kontroversi. Belum lebih sebulan yang lalu BNPT menerbitkan “temuan” yang membuatnya dikritik secara nasional karena menyebut ada 198 pesantren yang terafiliasi dengan gerakan terorisme.
Kemudian, pernyataan—yang kata MUI hanya buat gaduh—bahwa terorisme menyusup ke sejumlah partai politik dan ormas Islam. Kini, ia hadir dengan sensasi baru berupa kriteria penceramah yang terpapar radikalisme, dan seperti sebelum-sebelumnya, pernyataan BNPT kali ini juga dikritik secara nasional.
Dalam pernyataan yang disampaikan oleh Brigjend Ahmad Nurwakhid, setidaknya ada lima poin yang menunjukkan seorang penceramah telah terpapar radikalisme. Lima poin tersebut adalah sebagai berikut.
- Mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan proideologi khilafah transnasional.
- Mengajarkan paham takfiri yang mengafirkan pihak lain, baik yang berbeda paham maupun yang berbeda agama.
- Menanamkan sikap antipemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan masyarakat, baik terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian, dan sebaran hoaks.
- Memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan dan perubahan serta intoleran terhadap perbedaan dan kemajemukan.
- Biasanya, memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifaan lokal.
Dari lima poin di atas, dapat disimpulkan bahwa BNPT serba dangkal dalam memahami apa itu radikalisme dan pandangannya mengenai radikalisme hanya menyasar agama Islam. Padahal, pada beberapa kesempatan, kepolisian kerap kali mengatakan bahwa radikalisme tidak terkait dengan agama tertentu. Akan tetapi, kenyataannya, dalam sangat banyak kesempatan BNPT justru mencerminkan hal yang sebaliknya.
Misalnya, dalam kanal YouTube CNN Indonesia, Irfan Idris mengatakan agama yang dominan cenderung ditunggangi oleh terorisme dan di Indonesia Islam adalah agama yang mayoritas. Jadi, terorisme masuk melalui agama Islam.
Hal lain yang juga patut untuk dikritik adalah ketidakpahaman Prof. Irfan Idris terhadap konsep takfiri dan penggunaan istilah kafir. Masih dalam kanal Youtube CNN Indonesia, ia menyebut bahwa agar substansi ceramah tidak mengafir-kafirkan orang lain. Ia juga menambahkan bahwa Tuhan saja tidak mengafirkan hamba-Nya, bahkan mengangkat derajat hamba-Nya melalui firman-Nya dalam Surah al-Isra ayat 70.
Padahal, jika dicermati dengan benar, dipelajari dengan baik, dan jujur dalam menyampaikan, tentu akan didapati dalam banyak ayat Allah menyebut orang-orang yang tidak beriman dengan sebutan orang-orang kafir. Selain itu, juga patut untuk diketahui bahwa kafir adalah istilah dalam teologi Islam untuk menyebut orang-orang nonmuslim. Hal tersebut senada dengan agama-agama lain yang juga memiliki istilahnya sendiri dalam menyebut orang-orang di luar agamanya.
Panggung Lebih untuk Radikalisme Agama
Faktanya, dari keseluruhan tindakan teror yang terjadi, ditemukan banyak faktor yang melatarbelakangi tindakan tersebut. Robert Pape, seorang guru besar di Chicago University dan juga ahli terorisme terkemuka, menyebutkan dari sekian banyak kasus terorisme yang ia pelajari, akhirnya ia sampai pada sebuah kesimpulan bahwa hubungan antara terorisme dan gerakan fundamentalis Islam sangatlah kecil. Sebaliknya, nyaris semua gerakan teroris adalah bagian dari strategi sekuler untuk mencapai tujuan mereka dengan berbagai alasan di baliknya, baik politik maupun ekonomi.
Hal yang sama juga ditemukan dalam riset yang dilakukan oleh Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia. Mereka menemukan hanya segelintir orang berideologi jihadis memilih melakukan aksi teror atas nama agama. Selebihnya, hadir dengan alasan-alasan lain, seperti menuntut keadilan dan respons atas rasa adanya ancaman identitas.
Garibnya, BNPT seperti menutup mata terhadap banyak alasan lain. Tak pernah ada perhatiannya kepada kesenjangan sosial yang menjadi alasan banyaknya tindak kejahatan di Indonesia yang kita cintai bersama ini atau ideologi lainnya, semisal liberalisme dan komunisme. Justru yang menjadi fokusnya dari tahun ke tahun hanyalah Islam dan radikalisme. Seolah-olah, Islam adalah masalah laten yang terus menggerogoti negeri ini.
Mereka mungkin sering berkutat dengan Dawkins dan Sam Harris, hal yang membuat mereka menjadi skeptis ketika melihat agama. Seakan-akan, agama adalah permasalahan yang harus dienyahkan. Adapun Islam sebagai agama mayoritas adalah apa yang disebut oleh Juru Bicara BNPT sebagai sarana bagi terorisme untuk masuk.
BNPT, Stop Buat Gaduh!
Kriteria penceramah radikal yang dikeluarkan oleh BNPT memicu banyak kritik, di antaranya yang mengkritik dengan keras adalah Sekjen MUI Amirsyah dan PP Muhammadiyah. Amirsyah dalam sebuah keterangan tertulis berjudul “Blunder Kriteria Radikal ala BNPT” mengkritik satu per satu poin yang menjadi kriteria radikal tersebut. Ia juga menyebut kalau BNPT sebaiknya tidak mencampuri soal agama yang bukan domainnya.
Komentar yang bernada kritik juga disampaikan oleh Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Ia menyebutkan kalau kriteria yang ditetapkan oleh BNPT bersifat tendensius dan tidak adil. Seharusnya, BNPT mengkaji lebih dahulu bersama dengan lembaga-lembaga otoritatif, seperti DPR, MUI, dan Muhammadiyah.
Sementara itu, Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyebutkan bahwa kriteria penceramah radikal BNPT hanya menimbulkan kontroversi dan membuat kegaduhan yang tidak perlu. Hal senada juga disebutkan oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khaerul. Ia menambahkan bahwa pernyataan BNPT hanya memunculkan polemik baru dan turut melahirkan keresahan dalam masyarakat.
Penulis: Misbahul
Editor Substantif: Nauval Pally Taran
Editor Naskah: Teuku Zulman Sangga Buana