Peluncuran logo halal baru oleh Kementerian Agama RI hingga kini terus menuai pro dan kontra. Logo halal baru yang ditetapkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama itu direncanakan akan berlaku secara nasional serta menjadi atribut wajib yang harus ada pada kemasan suatu produk sebagai tanda kehalalannya.
Penetapan label halal baru ini, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal, mengalihkan Kewenangan penerbitan sertifikasi halal yang sebelumnya dipegang oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI kepada Kemenag melalui BPJPH.
Namun, ada banyak sorotan yang diberikan publik terhadap logo baru ini, salah satunya, dari sisi fungsionalitasnya. Dodi Zulkifli, CEO Neyma Brand, turut memberi tanggapan dalam kanal Youtube pribadinya. Menurutnya, konsep logo halal hendaknya lebih mengedepankan sisi stand out ketimbang filosofis, yakni kemudahannya dalam diidentifikasi oleh masyarakat, lokal maupun internasional. Hal ini karena icon atau indikator kehalalan suatu produk diharapkan mudah terbaca baik oleh kita maupun oleh khalayak muslim global.
“Logo halal sekarang kalo menurut saya sangat filosofis, tapi kurang fungsional. Ini tentu saja akan membingungkan customer yang sedang ingin memvalidasi apakah produk ini ada jaminan halalnya atau tidak.” Ujar Dodi.
Dodi juga menambahkan bahwa terjadinya miskonsepsi seperti ini lazimnya dilatari oleh dua hal. Pertama, ego owner yang terlalu tinggi, serta dipupuk oleh ketidakmampuan agensi dalam mengedukasi si owner tersebut. Kedua, ide dan konsep yang sudah sesuai dan matang barangkali tidak dapat dikonversikan secara baik dalam bentuk visual yang fungsional oleh agensi yang mengerjakan suatu logo.
Tidak ada masalah dengan sisi filosofis yang dalam. Namun secara fungsi, menurut Dodi, logo halal seharusnya menggunakan pendekatan stand out, artinya, dalam sekali lihat, customer harus langsung bisa mengidentifikasi kehalalan produk tersebut.
Dodi juga memberi ilustrasi, misalnya ada orang Eropa atau Saudi yang datang ke Indonesia, logo halal yang sekarang akan sulit dipahami serta akan membingungkan customer yang sedang ingin memvalidasi kehalalan sebuah produk. Hal ini tentu mengondisikan tujuan utama dari logo halal sulit terealisasi.
Puluhan tahun, kita telah sangat akrab dengan logo berbagai brand. Sehingga pikiran kita telah terbiasa mengidentifikasi sebuah logo dengan karakteristiknya yang khas. McDonald misalnya, maka tentu saat kita ingin mencari brand ini, huruf M lah yang menjadi identitasnya. Begitu juga saat mencari Indomaret, maka kombinasi atau stripline tiga warna, merah, biru dan kuning, yang telah terprogram di pikiran kita sebagai ikonnya Indomaret.
Begitu pula dengan logo halal. Sejak lama otak kita, bahkan muslim sedunia sudah terbiasa untuk mengidentifikasi kehalalan suatu produk dengan tulisan halal yang menggunakan huruf hijaiah. “Saya sangat yakin nonmuslim yang tidak bisa membaca huruf hijaiah tetap bisa mengenali kalau itu tulisan halal, tulis Dodi di postingan instagramnya.
Sejauh ini, polemik yang terjadi pada manifestasi logo halal baru adalah karena terlalu mengedepankan sisi filosofis, tapi sama sekali tidak fungsional. Seharusnya, bagaimanapun rekonstruksi logo halal ini, tulisan halal dengan huruf hijaiyah haruslah tetap tampil. Ujar Dodi di akhir postingannya.
Penulis: M. Haris Syahputra
Editor: Nauval Pally Taran