Empat tahun lalu, ketika saya bepergian melintasi Negara Bagian Haryana di India utara untuk melaporkan “budaya pemerkosaan” di sana, saya bertemu dengan seorang wanita muda bertubuh kurus di pengadilan distrik setempat. Dia, seorang dalit (anggota dari kasta terendah), ada di sana untuk memperjuangkan kasus terhadap empat pria kasta atas yang telah merudapaksanya.
Kami berbicara selama beberapa jam. Dia memberi tahu saya tentang perpisahannya baru-baru ini dari suaminya selama delapan tahun dan kekerasan fisik yang dia hadapi, termasuk perudapaksaan berulang-ulang, selama masa pernikahannya.
Apa yang mengejutkan saya adalah bahwa dia dengan gagah berani berjuang secara hukum melawan orang asing yang memerkosanya, tetapi tidak pernah mempertimbangkan untuk mengajukan kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap suaminya. Kisahnya menyadarkan saya bahwa perempuan tidak selalu membuat pilihan yang tampak modern dan progresif. Pilihan mereka diinformasikan oleh konteks sosial, sejarah, dan pribadi tempat mereka berada. Feminisme itu tidak memiliki satu wajah.
Kontroversi jilbab yang sedang berlangsung di Negara Bagian Karnataka, India selatan, membuat saya berpikir tentang wanita muda di Haryana itu. Mengapa? Hal ini karena di Karnataka, gadis-gadis muda muslim berjuang di sekolah mereka, gerombolan sayap kanan Hindu, pemerintah negara bagian, bahkan pengadilan negara bagian agar dapat mengenakan jilbab mereka di ruang kelas. Ini tidak diragukan lagi merupakan perjuangan feminis—bagaimanapun juga, para wanita ini berjuang melawan upaya patriarki mengawasi pakaian mereka. Akan tetapi, tidak semua orang melihatnya seperti itu.
Kelompok sayap kanan Hindu, bahkan kelompok tertentu dari intelektual elit India, tampak yakin bahwa para wanita ini pasti telah “dicuci otak” oleh keluarga penindas mereka atau ortodoksi Islam untuk mau mengenakan pakaian ini. Ponsel pintar dan layar televisi di seluruh negeri dipenuhi dengan laporan dan gambar provokatif yang menyiratkan bahwa wanita muda muslim tidak memiliki agensi. Mereka pasti tertipu sehingga berpikir demikian. Mereka harus diselamatkan dari keluarga dan budaya mereka sendiri—mereka harus diselamatkan dari diri mereka sendiri.
Tentu saja, sudut pandang ini tidak tumbuh sepenuhnya secara organik. Di tengah pemilihan di lima negara bagian, termasuk negara bagian India yang paling padat penduduknya dan mungkin signifikan secara politik, Uttar Pradesh, ada intrik politik yang bermain. Kontroversi jilbab sedang diperparah oleh Partai Bharatiya Janata (BJP) yang memerintah dan sayap kanan Hindu yang lebih luas demi melegitimasi dan menutupi sikap antimuslim mereka dan menggalang pendukung mereka di balik sebuah penyebab emosional selama pemilihan.
Proyek Hindutva untuk “Menyelamatkan” Perempuan Muslim
Seperti yang ditulis oleh Hilal Ahmed baru-baru ini, “Kontroversi hijab telah mengungkap interaksi antara patriarki dan komunalisme” di India. Ini sama sekali bukan perkembangan baru-baru ini—kelompok sayap kanan Hindu telah berpura-pura “menyelamatkan” muslimat dari pria muslim guna memajukan agenda antimuslim mereka sendiri selama beberapa dekade.
Misalnya, pada tahun 1986, ketika pemerintah Kongres meloloskan sebuah undang-undang yang membatalkan keputusan Mahkamah Agung Shah Bano—yang menetapkan bahwa muslimat yang bercerai berhak mengumpulkan tunjangan dari mantan suami mereka seperti perceraian dari agama lain dan hal itu ditentang keras oleh beberapa kelompok muslim. BJP muncul sebagai salah satu pembela utama hak-hak perempuan muslim. Keluhan utama mereka, tentu saja, adalah “peredaan” komunitas muslim oleh pemerintah Kongres, tetapi mereka masih menampilkan diri sebagai bagian dari upaya untuk menyelamatkan peremuan muslim dari laki-laki muslim.
Sekitar tiga puluh tahun kemudian, pada 2019, mereka sekali lagi mencoba mengambil peran sebagai “penyelamat perempuan muslim” ketika mereka mengesahkan undang-undang yang mengkriminalisasi talak tiga. Tidak peduli bahwa partai yang sama dan massa yang terkait dengannya telah berada di balik kebijakan, hukum, dan agitasi kekerasan yang tak terhitung jumlahnya, mulai pembongkaran Masjid Babri hingga undang-undang kewarganegaraan yang diskriminatif, yang menghancurkan komunitas muslim, termasuk muslimat yang tak terhitung jumlahnya selama bertahun-tahun.
Desakan jelas BJP untuk “menyelamatkan” perempuan muslim, tentu saja, tidak menunjukkan kepedulian yang nyata atas kesejahteraan mereka dan, pada kenyataannya, sangat sedikit hubungannya dengan mereka. Sering kali, dalam politik penyelamatan, orang yang “diselamatkan” kurang penting dibandingkan orang yang darinya mereka “diselamatkan”. Bagi sayap kanan Hindu juga, orang yang mereka “selamatkan”, perempuan muslim, tidak terlalu penting—yang penting adalah mereka telah menyelamatkan perempuan muslim tersebut dari para lelaki mereka: pria muslim yang menindas, kejam, dan menyimpang secara seksual. Perempuan muslim tidak lain adalah alat untuk menjelekkan laki-laki muslim.
Dan inilah alasan utama mengapa sayap kanan Hindu mencoba untuk mencegah muslimat mengenakan jilbab meskipun ada protes: upaya mereka tidak ada hubungannya dengan “menyelamatkan” wanita, dan semuanya berkaitan dengan menjadikan pria muslim dan Islam secara umum, tampil terbelakang dan menindas.
Jilbab dalam Pandangan Barat
Kritikus feminis Gayatri Spivak, dalam esainya yang berpengaruh, “Can the Subaltern Speak”, terkenal mendefinisikan penghapusan ritual sati (bakar diri wanita setelah kematian suami mereka) di India oleh Inggris sebagai kasus pria kulit putih menyelamatkan wanita kulit cokelat dari laki-laki berkulit coklat.
Sejak itu, klausa tersebut secara rutin digunakan untuk menggambarkan kepura-puraan Barat untuk “menyelamatkan” perempuan berkulit cokelat, terutama perempuan muslim dari budaya dan komunitas mereka sendiri, dengan motif tersembunyi untuk menjelek-jelekkan—dan bahkan mengkriminalisasi—laki-laki muslim, serta memajukan agenda politik dan strategis Barat sendiri. Bagi Barat, menyelamatkan wanita berkulit cokelat dari pria berkulit cokelat tetap menjadi alasan utama untuk mendatangkan malapetaka di seluruh dunia selama berabad-abad.
Pasca serangan teror 9/11, misalnya, AS berusaha mengklasifikasikan invasinya ke Afghanistan sebagai upaya untuk “menyelamatkan” perempuan Afghanistan. Pada bulan November 2001, Ibu Negara saat itu Laura Bush menyampaikan pidato radio kepada bangsa, mengeklaim bahwa “perang melawan terorisme” Amerika di Afghanistan secara bersamaan merupakan perjuangan untuk hak dan martabat perempuan.
Jilbab—dan jenis penutup kepala dan wajah lainnya yang digunakan oleh muslimat di seluruh dunia—telah lama menjadi pusat upaya ini. Memang, Barat secara historis memandang jilbab sebagai simbol penindasan perempuan dan mengobarkan banyak perang hukum dan budaya melawannya, sering kali meskipun ada protes dari para wanita yang memakainya.
Tidak mengherankan bahwa perang yang nyaris identik melawan hijab saat ini sedang dilancarkan di India didukung oleh bagian-bagian tertentu dari kaum intelektual. Selama bertahun-tahun, banyak eselon atas masyarakat India, baik di kiri maupun kanan, mengadopsi pandangan Barat dan datang untuk melihat jilbab seperti orang kulit putih lakukan: simbol penindasan, sebuah tangisan muslimat untuk “diselamatkan”.
Pada akhirnya, kontroversi hijab yang sedang berlangsung di Karnataka tidak hanya merupakan interaksi antara patriarki dan komunalisme, tetapi juga pandangan Barat yang telah dianut. Nasionalis Hindu yang mengeklaim bahwa mereka sedang dalam misi lain untuk menyelamatkan perempuan muslim, bertentangan dengan keinginan mereka, dari pria dan budaya muslim, hanya memainkan permainan yang sama yang telah mereka mainkan selama beberapa dekade. Sementara itu, mereka yang mendukung “narasi penyelamat” ini dan juga mengeklaim sebagai “feminis” mengadopsi kiasan yang telah lama digunakan oleh Barat untuk menaklukkan, menguasai, dan menghancurkan Dunia Selatan (the Global South)
Jadi, bagaimana seharusnya kaum feminis dan siapa saja yang mengaku peduli pada hak-hak perempuan, menanggapi kontroversi terbaru ini? Yah, mereka harus menghilangkan arogansi mereka dan mengakui bahwa perempuan muslim tidak perlu “diselamatkan”, baik oleh nasionalis Hindu maupun oleh elit liberal. Mereka harus mengakui bahwa muslimat memiliki perwakilan dan suara. Yang mereka butuhkan hanyalah orang-orang untuk mendengarkan mereka.
Penulis: Sanya Dhingra
Ia adalah Jurnalis yang berbasis di New Delhi yang melaporkan tentang kebijakan, pemerintahan, gender, dan politik sektarianisme agama dan kasta. Dia saat ini sedang mengejar gelar magister dalam Studi Asia Selatan di Universitas Columbia, New York. Minat penelitiannya meliputi teori pascakolonial dan historiografi Asia Selatan.
Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana
Sumber: Al Jazeera