“Perkemahan telah berubah dari gelap menjadi terang,” kata Edson Sebutozi Munyakarambi, seorang pengungsi yang tinggal di kamp Kigeme di Rwanda selatan.
“Sebelum adanya lampu jalan bertenaga surya, kamp itu gelap. Beberapa orang akan datang dan mencuri barang-barang dari rumah,” kata Munyakarambi, yang memimpin komite yang mewakili 16.000 orang di kamp tersebut. “Akan tetapi, sekarang tidak ada yang bisa merampok orang di sudut jalan dan anak-anak bisa belajar atau bermain di luar sambil menunggu makan malam mereka.”
Lampu, bersama dengan sistem rumah surya dan kompor memasak yang lebih bersih telah dikirimkan oleh proyek Energi Terbarukan untuk Pengungsi (RE4R) ke tiga kamp di Rwanda yang menampung lebih dari 42.000 orang. Para pengungsi mengatakan hasilnya luar biasa, membuat kamp lebih aman dan meningkatkan pembelajaran anak-anak dan produktivitas usaha kecil. Secara khusus, perempuan dan anak-anak yang harus mengumpulkan kayu bakar di luar kamp tidak lagi menghadapi bahaya pemerkosaan dan pemukulan.
“Menyediakan energi berkelanjutan untuk orang-orang yang telah kehilangan nyaris segalanya sangat penting,” kata Andrew Harper, penasihat khusus aksi iklim untuk komisaris tinggi PBB untuk pengungsi, yang mengelola kamp. “Ini mengurangi kerentanan, tetapi juga membawa orang kembali dari posisi tidak berdaya dan ketergantungan ke posisi tempat mereka mulai berkontribusi kembali kepada masyarakat. Akan tetapi, itu adalah area yang kurang diprioritaskan dan kekurangan dana di nyaris setiap operasi.”
Uwimana Nyirakabukari, seorang ibu tunggal dengan lima anak, tinggal di kamp Nyabiheke dan sekarang memiliki sistem rumah surya: panel surya di atap untuk menyalakan lampu di dalam dan baterai untuk mengisi daya ponsel. “Sebelumnya saya menggunakan lilin, atau jika saya tidak mampu membeli lilin, tongkat yang menyala,” katanya. “Namun suatu kali, ketika saya pergi ke toilet pada malam hari, saya kembali dan kasurnya terbakar. Anak-anak saya nyaris mati.”
Untungnya, api sudah padam. Namun, lampu tenaga surya tidak hanya mengurangi risiko kebakaran bagi Nyirakabukari. “Saya juga bisa belajar,” katanya. “Saya belajar membaca dan menulis serta berbicara bahasa Inggris.” Dia mencari nafkah dengan membuat tas jinjing untuk dijual di pasar, dan memiliki lampu di rumah sekarang berarti dia bisa bekerja pada malam hari, sementara anak-anaknya yang lebih besar memasak. “Proyek ini benar-benar membantu saya keluar dari kemiskinan,” tambahnya.
Seperti nyaris semua pengungsi di tiga kamp, Nyirakabukari melarikan diri dari kekerasan di Republik Demokratik Kongo (DRC) dan memiliki bekas luka bulat besar di kakinya karena ditembak. Cedera telah membuatnya cacat fisik dan lampu jalan sekarang membantunya dengan aman menavigasi jalan kasar di kamp-kamp berbukit.
Bagi Esperance Mukabera, warga Nyabiheke lainnya, radio yang merupakan bagian dari sistem rumah surya adalah kuncinya. “Sekarang, saya tidak merasa sendiri,” kata janda berusia 75 tahun itu, seraya menambahkan bahwa cucu-cucunya berkunjung untuk mendengarkan acara favorit mereka. “Sebelumnya [tenaga surya] sangat sulit, kamp adalah tempat yang sangat gelap. Sekarang kami bisa ke toilet dengan mudah, kami merasa lebih aman dan bisa bergerak di sekitar kamp tanpa masalah,” kata Mukabera.
Kamp pengungsi biasanya tidak dikaitkan dengan bersenang-senang. Namun, itu penting untuk kesejahteraan, terutama bagi anak-anak yang merupakan setengah dari pengungsi di kamp-kamp. Lampu jalan tenaga surya telah memberikan kehidupan baru bagi satu -satunya lapangan basket di kamp Nyabiheke.
“Anak-anak menyukainya lebih dari yang bisa Anda ungkapkan,” kata Hertier Mugisha, seorang pelatih olahraga yang datang ke kamp saat berusia tujuh tahun pada tahun 2007. “Sebelum lampu jalan, kami memiliki banyak orang yang ingin datang, tetapi hari itu tidak cukup lama. Sekarang terbuka untuk waktu yang kita inginkan.” Olahraga juga merupakan bentuk perlindungan anak dan remaja, katanya, mengalihkan mereka dari alkohol dan risiko lainnya.
Selain tenaga surya, para pengungsi telah diberikan akses ke kompor yang lebih bersih. Pelet-pelet bakar ini terbuat dari serbuk gergaji dan limbah kayu sehingga menghilangkan bahaya-bahaya sebab mengumpulkan kayu bakar serta menghasilkan lebih sedikit asap.
Makanan favorit dua anak laki-laki Adeline Umuhoza, yang berusia empat dan delapan tahun, adalah spageti dan dia mengatakan kompor baru telah membuat perubahan besar dalam hidupnya di Kigeme. “Anak-anak kami pergi mengumpulkan kayu bakar di luar kamp, tetapi mereka takut karena penduduk setempat akan memukuli mereka,” katanya. Asap dan panas dari api terbuka juga memenuhi rumahnya, “Kamu tidak bernafsu memakan makanan yang kamu masak.”
Umuhoza dan pengungsi lainnya yang tidak tergolong rentan membayar untuk sistem panel surya dan kompor masak mereka dengan mencicil ke perusahaan lokal. “Kami percaya ini adalah cara yang paling berkelanjutan,” kata Denyse Umubyeyi, Manajer Negara untuk Tindakan Praktis, LSM yang mengimplementasikan proyek RE4R.
“Ini bagus untuk para pengungsi karena ketika mereka membeli, mereka merasakan semacam kepemilikan, kemandirian, dan martabat,” katanya. “Seorang pengungsi mengatakan kepada saya, ‘Apa yang dilakukan untuk saya tanpa keterlibatan saya adalah perlawanan terhadap saya.’” Hal ini juga berarti lebih banyak pengungsi bisa mendapatkan sistem daripada jika mereka diberikan secara gratis.
Tujuh puluh pengungsi sekarang dipekerjakan menjual dan memasang panel surya, termasuk Safari Habaruema di kamp Kigeme. Promosi penjualan Habaruema sekarang begitu dipoles, “Memiliki sistem rumah surya benar-benar mengubah kehidupan. Saya mendapatkan satu, dan mengapa tidak sistem Belecom?”
Proyek RE4R sejauh ini telah menghasilkan 183 lampu jalan, 4.000 sistem rumah surya, dan 5.600 kompor di seluruh kamp. Beberapa juga dipasang di desa-desa terdekat.
Melibatkan komunitas tuan rumah itu penting, kata Jost Uwase, dari EcoGreen Solutions yang berbasis di Rwanda, yang telah menjual lebih banyak kompor yang lebih bersih kepada penduduk setempat daripada kepada pengungsi, “Masyarakat tuan rumah bisa saja mengatakan bahwa [pengungsi] mendapat manfaat sementara kami kelaparan. Akan tetapi, sekarang mereka seperti berbagi.”
Uwase menekankan manfaat keamanan dari tungku, “Ada kasus kekerasan terhadap perempuan ketika mereka pergi ke luar kamp untuk mengumpulkan kayu bakar di hutan tetangga. Jadi, [kompor] adalah kesempatan untuk menjaga mereka tetap aman.”
Satu kekhawatiran tentang memasang perangkat surya adalah bahwa hal itu dapat membuat kamp lebih permanen. “Beberapa organisasi enggan melakukan infrastruktur seperti itu,” kata Umubyeyi. “Akan tetapi, beberapa dari pengungsi ini telah berada di sini selama 20 tahun. Bayangkan, menyangkal hak dasar manusia selama bertahun-tahun. Hidup mereka tidak ditunda. Hidup mereka terus berjalan, mereka harus tumbuh, belajar, bekerja.” Habaruema mengatakan beberapa orang yang mencoba kembali ke DRC telah terbunuh dalam kekerasan yang terus berlanjut.
Sejumlah kecil kamp di seluruh dunia telah memasang sistem energi terbarukan, termasuk yang didirikan di Yordania untuk pengungsi Suriah dan di Kenya untuk pengungsi Ethiopia. Walaupun demikian, ada lebih dari 26 juta pengungsi di seluruh dunia dan dari mereka yang tinggal di kamp-kamp, 90% tidak memiliki listrik dan 80% bergantung pada kayu bakar untuk memasak.
“Energi [sering membuat orang] mengumpulkan kayu bakar dan itu menyebabkan bencana secara global,” kata Harper. “Jika Anda tidak dapat melindungi lingkungan, Anda tidak dapat melindungi masyarakat.” Serangan terhadap wanita meningkat, katanya. “Karena daerah di sekitar permukiman pengungsi makin gundul karena kayu bakar, mereka harus pergi lebih jauh dan lebih jauh.”
Krisis iklim juga memperburuk situasi, kata Harper. “Sering kali apa yang kita lihat sekarang adalah ketika orang-orang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena kombinasi konflik, serta perubahan iklim, potensi orang untuk kembali menjadi sangat terbatas [karena kenaikan suhu membuat pertanian tradisional tidak dapat bertahan]. Inilah sebabnya mengapa lebih masuk akal bagi kami untuk berinvestasi dalam permukiman pengungsi jangka panjang.”
Harper percaya semua kamp pengungsi harus memiliki rencana energi terbarukan untuk penerangan dan memasak, tetapi pendanaan tetap menjadi masalah. “Kita harus mendorong pekerjaan baik yang sedang dilakukan, dan menjauh dari proyek percontohan dan menerapkan kegiatan ini pada skala tantangan. Namun, ada perbedaan antara apa yang pantas didapatkan orang dan apa yang mereka dapatkan,” katanya.
Pandangan itu diamini oleh Annemieke de Jong dari Ikea Foundation, yang mendanai proyek RE4R senilai €10 juta [lebih dari 185 miliar rupiah]. “Tantangannya terletak pada skala. Bantuan kemanusiaan akan selalu bergantung pada dana eksternal yang masuk. Akan tetapi, yang menarik adalah kami melihat peluang jika Anda mendekatinya sebagai pasar dan berpikir tentang apa yang dibutuhkan komunitas itu untuk tumbuh, untuk melampaui ekonomi bantuan itu dan memiliki ekonomi yang sehat,” dia mengatakan.
Keterampilan yang dipelajari para pengungsi melalui proyek energi terbarukan juga dapat dibawa kembali ketika mereka akhirnya kembali ke negara mereka dan mulai membangun kembali komunitas mereka, tambah De Jong.
Kembali ke Kigeme, Munyakarambi mengatakan proyek RE4R telah membawa perubahan positif yang besar, dengan satu-satunya masalah adalah bahwa setengah dari penghuni kamp belum memiliki sistem rumah surya.
“Namun, kita tidak bisa melupakan bahwa kita adalah pengungsi,” katanya. “Keinginan saya adalah kembali ke negara saya. Kami memiliki pepatah, ‘Jika Anda mengunjungi seseorang, Anda harus kembali sebelum mereka bosan dengan Anda.’ Namun, kita harus yakin ada keamanan di Kongo.”
Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana
Sumber: The Guardian