Tak ada seorangpun dari kaum muslimin yang menyangka bahwa upaya mereka untuk mencegat kafilah dagang Abu Sufyan akan berakhir dengan sebuah perang yang kemudian dimenangkan dan mengubah tatanan sosial masyarakat Madinah. Adalah Badar, sebuah lembah yang terletak di antara Makkah dan Madinah, lembah tersebut diapit oleh dua bukit, yaitu ‘Udwah al-Qudhwa di timur dan ‘Udwah al-Dunya di sisi barat yang menjadi saksi betapa apiknya perang tersebut, perang antara kelompok paganisme yang penuh nilai-nilai keburukan dan pasukan pengusung monoteisme dengan segudang kebaikan.
Sebab Peperangan
Akhirnya kesempatan itu tiba, tersiar kabar bahwa Abu Sufyan akan pulang ke Makkah dengan kafilah dagang yang besar, konon membawa sangat banyak unta, lengkap dengan bawaannya dan 50.000 dinar emas, namun hanya diikuti oleh 40 pengawal.
Setelah umat Islam mengalami kesulitan yang terus-menerus, disusul duka karena harus meninggalkan kampung halaman mereka di Makkah, lengkap dengan seluruh keluarga dan perbendaharaan yang mereka miliki. Nabi merencanakan ekspedisi militer dengan tujuan mengambil barang dagangan kafilah Abu Sufyan yang pulang dari Syam. Keberhasilan dalam ekspedisi Nakhlah sebelumnya membuat kaum muslim memandang ekspedisi kali ini dengan positif.
Tidak berangkat dengan tujuan perang menjadi alasan ekspedisi tersebut tidak dibekali dengan sarana perang yang memadai, hanya ada 314 prajurit dengan 6 orang menggunakan baju perang dan dua penunggang kuda serta 70 ekor unta. Nabi memulai strategi militernya dengan menggerakkan pasukan untuk mencegat kafilah Abu Sufyan di Badar. Namun, entah bagaimana, Abu Sufyan mengetahui rencana pencegatan kafilahnya dari suatu kabar. Karenanya ia menghindari rute yang biasanya ia lewati dan mengirim seorang utusan untuk menuju Makkah mencari bantuan.
Mendapat kabar dari utusan Abu Sufyan, Abu Jahal berang, bagaimana mungkin Muhammad dapat begitu berani. Dengan cepat, malam itu juga ia memobilisasi pasukan untuk keluar dari Makkah guna menyelamatkan Abu Sufyan dan kehormatan Quraisy Makkah. Pada saat bersamaan, datang kabar bahwa kafilah Abu Sufyan aman dan pasukan Makkah bisa kembali pulang. Dengan kabar tersebut, banyak orang Quraisy Makkah yang lebih setuju untuk mundur karena enggan berperang dengan kerabatnya sendiri.
Namun, Abu Jahal, musuh Allah dan rasul-Nya, tidak ingin surut, disertai kekuatan 1000 pasukan dengan 600 orang menggunakan persenjataan lengkap, 700 ekor unta dan 300 ekor kuda, ia dengan penuh kesombongan, yakin bisa menang.
“Demi Allah! Kita tidak akan kembali hingga kita tiba di Badar. Kita akan menetap tiga hari di sana, menyembelih unta-unta dan akan berpesta dengan minuman anggur disertai wanita-wanita yang akan menari untuk kita. Orang-orang Arab akan mendengar bahwa kita telah datang dan (mereka) akan menghormati kita di masa depan,” teriak Abu Jahal dengan lantang.
Pada 15 Ramadan, pasukan Quraisy Makkah tak lama akan tiba di Badar. Sementara itu, sekelompok pasukan muslim berhasil menangkap pembawa pasokan minuman bagi pasukan Quraisy Makkah, mereka terkejut saat mengetahui dua orang tersebut adalah pasukan Quraisy di bawah komando Abu Jahal. Nabi dan pasukan kaum muslim tak menyangka jika akan ada bantuan yang datang untuk Abu Sufyan yang jarak pasukan tersebut tak begitu jauh, perang mungkin takkan terhindar.
Nabi dan pasukannya akan menghadapi pasukan Quraisy Makkah, keputusan itu muncul setelah Nabi mengajak para sahabat untuk bermusyawarah. Ada situasi yang problematis bagi orang-orang Anshar atas keputusan tersebut, namun kebimbangan tersebut hilang dengan komitmen tegas pemimpin Anshar saat itu, Sa’ad bin Mu’adz. Ia berkata dengan heroik dan penuh ketaatan kepada Nabi,
’’Demi Allah, kalau engkau (wahai Rasul) meminta kami menyeberangi lautan ini dan engkau menceburkan kami ke dalamnya, kami akan mencebur bersamamu, tidak seorangpun yang tertinggal.”
Maka, dengan penuh keteguhan pasukan mulia itu bertolak ke Badar. Mereka tak punya peralatan perang yang memadai, bahkan hanya punya 2 orang penunggang kuda. Namun mereka teguh karena keimanan yang kuat terpatri di dada-dada mereka, mereka punya Allah dan rasul-Nya.
Tiba di Badar
Nabi dan pasukannya tiba di Badar pada 16 Ramadan, sementara itu pasukan Quraisy Makkah dipimpin oleh Abu Jahal sudah tiba lebih dulu di sisi sebelah selatan Badar. Saat itu Hubab bin Mudzir memberikan ide agar Nabi membangun markas di dekat sumur agar dapat menguasai suplai air. Nabi juga memerintahkan agar sumur-sumur yang lain ditutup.
Sementara itu, kala para sahabat dianugerahkan oleh Allah rasa kantuk agar dapat beristirahat dengan baik guna menyambut perang esok harinya. Tampak di sebuah tenda yang terpisah dari pasukan, seorang pria hebat dan pemimpin bangsa Arab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berdoa semalam suntuk dengan khusyuk dan penuh harap kepada Rab-nya,
“Ya Allah, penuhilah janji-Mu yang Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau membinasakan pasukan ini, Engkau tak akan disembah lagi di muka bumi setelah hari ini.” (HR. Muslim)
Sampai-sampai selendang beliau terjatuh dari pundak mulianya karena menengadahkan tangan begitu tinggi. Tak sampai hati dengan keadaan demikian, ash-Shiddiq menaruh kembali selendang tersebut di atas pundaknya dan mendekap Nabi seraya berkata ”Wahai Nabi Allah, munajatmu kepada Allah sudah mencukupi, Dia pasti akan memenuhi janji-Nya kepadamu”.
Hari itu, Nabi dan pasukannya sibuk mengatur strategi untuk memenangkan perang. Pada saat yang sama, pasukan Quraisy Makkah justru asyik dengan minuman keras mereka.
Sesaat sebelum perang yang menentukan tersebut pecah, Miqdad bin Amr, salah satu dari dua orang penunggang kuda berseru kepada Nabinya, kalimat yang kemudian dicatat dengan tinta emas dapat membakar semangat pasukan muslim.
“Wahai Rasulullah, sungguh kami tidak akan mengucapkan hal yang diucapkan Bani Israil pada Musa, “Pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami duduk menanti di sini.” (al-Maidah: 24). Namun kami akan berseru, “Berperanglah engkau bersama Tuhanmu, sungguh kami akan berperang bersama engkau.”
Hasil Peperangan
Atas pertolongan Allah yang Maha Agung dan strategi matang yang disusun sebelumnya, pasukan kaum muslimin dapat memenangkan perang tersebut. Karen Amstrong dalam bukunya Muhammad: A Prophet for Our Time menyebutkan bahwa menjelang tengah hari, orang-orang Quraisy Makkah kabur dari medan perang (karena kehilangan pemimpin dan menyadari mereka sedang menghadapi kemungkinan yang buruk) dan hanya menyisakan sekitar lima puluhan orang.
Perang berakhir dengan korban tewas di kalangan Quraisy Makkah mencapai 70 orang—termasuk Abu Jahal dan Umayyah yang telah tewas—dan 70 orang juga ditawan. Sedangkan dari pasukan muslimin, ada 14 orang sahabat yang Allah anugerahkan mereka kesyahidan.
Tawanan perang yang ditangkap diperlakukan dengan baik, Fethullah Gulen menyebutkan perlakuan baik tersebut “untuk memulihkan harga diri mereka yang hancur karena kalah perang.”
Kemenangan di Badar telah membuat Madinah memiliki posisi di kalangan bangsa Arab, sehingga membuat sebagian suku Badui berkoalisi dengan Madinah pada perang selanjutnya. Kemenangan tersebut juga membuat umat Islam memiliki posisi yang lebih tinggi di Madinah. Setelah perang Badar, suatu perjanjian untuk menegaskan kembali Konstitusi Madinah disusun dan setujui. Setelah itu juga, Bani Qainuqa yang mengancam kedudukan kaum muslimin, di usir dari Madinah
Sekembalinya dari Badar, Nabi bersabda kepada pasukan kaum muslimin, “Kita baru kembali dari jihad kecil (Perang Badar) dan menuju jihad yang besar.” Para sahabat heran atas hal tersebut kemudian bertanya, “Apakah jihad yang lebih besar dari itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jihad melawan hawa nafsu.”
Penulis: Misbahul
Editor: Arif Rinaldi