Pagi itu, Kamis 12 Mei 2022, sejumlah orang tampak sedang bergotong royong di sekitar bangunan tiang-tiang fondasi Masjid Muhammadiyah Sangso, Samalanga. Tampak juga beberapa tiang sedang dalam proses pengecoran oleh pekerja. Namun, suasana kerja dan gotong royong tersebut harus terhenti secara paksa saat puluhan anggota Satpol PP Bireuen tiba untuk melakukan penertiban dan membongkar paksa mal tiang masjid serta menyita material bangunan yang berasal dari wakaf umat tersebut.
Kapolres Bireuen, dalam laporan mengenai kronologi lengkap perihal penertiban oleh Satpol PP Kabupaten Bireuen dan Muspika Kecamatan Samalanga, menyatakan bahwa kegiatan tersebut berjalan dengan aman dan lancar tanpa ada perlawanan dari pihak Muhammadiyah. Namun, dilansir dari suaramuhammadiyah.id, disebutkan terjadi pertengkaran antara Pengurus Cabang Muhammadiyah (PCM) Samalanga dengan anggota Satpol PP Bireuen mengenai alasan penghentian pembangunan Masjid tersebut.
Lukman, Pimpinan Pengurus Ranting Muhammadiyah (PRM) Desa Sangso, menyebutkan bahwa awalnya anggota Satpol PP datang dan langsung menghentikan kegiatan pembangunan, tanpa ada embel apa-apa, hanya menyampaikan adanya perintah dari bupati.
Barulah kemudian dibacakan SK Penundaan Pelaksanaan IMB oleh penyidik PPNS sebagai dasar atas tindakan tersebut. Hal tersebut diamini oleh Asisten 1 Pemerintah Kabupaten Bireuen, Mulyadi S.H. Dikutip dari dialeksis.com, ia menjelaskan bahwa kedatangan Satpol PP bertujuan untuk meminta penundaan terhadap pembangunan masjid tersebut dan tiang besi tersebut sengaja dipindahkan karena pembangunan Masjid tersebut masih berstatus penundaan izin.
Pengurus Daerah Muhammadiyah Bireuen menganggap pembongkaran yang dilakukan oleh Satpol PP merupakan tindakan yang tidak sah, sehingga pihaknya akan menempuh langkah hukum.
“Kami menganggap itu tidak sah, kita merencanakan akan berkonsultasi dengan Muhammadiyah pusat dan Muhammadiyah Daerah, kita akan melakukan langkah-langkah hukum, mungkin yang paling awal kita lakukan langkah somasi terlebih dahulu, karena kita menganggap tindakan itu sudah di luar batas kewenangan dan tidak pantas dilakukan, karena itu bisa mengusik masyarakat, umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah.”
Kasus masjid Muhammadiyah Sangso sebenarnya bukan kasus baru, kejadian kali ini hanya lanjutan dari masalah panjang sejak bertahun-tahun lalu, tetapi kembali viral akhir-akhir ini karena sebuah video berdurasi 2 menit 21 detik beredar dan memperlihatkan sejumlah anggota Satpol PP menyita dan membongkar paksa tiang Masjid tersebut.
Pengadangan Sejak Awal
Sejak awal, sudah ada pengadangan terhadap pembangunan Masjid Muhammadiyah di Desa Sangso Samalanga itu. Para pengadang mengatasnamakan masyarakat, menurut keterangan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Bireun, dr. Athaillah A Lathief Sp.OG kepada sahih.co.
“Kita rencanakan pak Din yang melakukan peletakan batu pertama dimulainya pembangunan, jadi, 31 Agustus (2017) pak Din datang, sudah terjadi penolakan sebelumya, sebelum Agustus itu dengan adanya surat dari Abu Mudi, Pimpinan Dayah Mudi Mesra, kemudian dari 44 keuchik yang ada di kecamatan Samalanga, kemudian ada 400 sekian orang yang katanya membubuhkan tanda tangan yang isinya menolak pembangunan masjid itu,” kata Athaillah.
Terkait surat yang menjelaskan keterlibatan Abu Mudi tersebut, jurnalis sahih.co telah berupaya menghubungi pihaknya lewat asisten pribadi beliau Tgk. Adnani, melalui telepon dan pesan WhatsApp, untuk meminta keterangan atau klarifikasi. Namun, sampai berita ini diturunkan belum juga ada tanggapan.
Meski adanya penolakan, pihak Muhammadiyah yang sudah mengantongi IMB tetap melakukan pembangunan masjid tersebut. Semua syarat pembangunan telah terpenuhi. Bahkan, pihak dari Kemenag Bireuen sudah melakukan pengukuran arah kiblat.
Berlanjut pada 17 oktober 2017 dengan dibangunnya tiang utama yang langsung dibakar pada malam harinya bersamaan dengan sebuah balai pengajian yang ada di lokasi.
Tak hanya melakukan pembakaran, para pelaku pengadangan pembangunan Masjid meletakkan batu besar untuk menutupi akses jalan menuju masjid tersebut dua hari berturut-turut, yaitu tanggal 25-26 September.
Berbagai upaya pelarangan pembangunan Masjid Muhammadiyah Sangso terus terjadi. Masyarakat yang mendukung hanya bersabar dan tidak melakukan perlawanan apa pun.
“Masyarakat tidak melakukan perlawanan (apa pun), masyarakat yang mendukung pembangunan masjid itu bersama-sama memindahkan batu, kemudian diletakkan lagi batu yang lain,” sebut Heri, yang pernah menjabat sebagai ketua Pemuda Muhammadiyah Bireuen.
Namun, pihak Pengurus Daerah Muhammadiyah Bireuen tak hanya diam. Mereka melaporkan setiap kasus tersebut ke Polres Bireuen, bahkan pihak kepolisian sudah mengantongi nama-nama terduga pelaku, bahkan pelakunya sudah mengaku di Mapolsek, tetapi kasus tersebut tidak kunjung selesai hingga hari ini. Para pelaku pembakaran berkeliaran bebas, sedangkan pihak yang dirugikan (Muhammadiyah) dilarang melanjutkan pembangunan masjid tersebut dengan alasan memecah belah.
Pelarangan tersebut masing-masing dilakukan oleh MPU, tertanggal surat 21 Maret 2018, dengan alasan keamanan dan ketertiban. Dalam surat tersebut juga termaktub anjuran agar minoritas mengikuti mayoritas sebagai bentuk kearifan lokal. Kemudian, Surat Keputusan Bupati Nomor 451.2/228, 4 April 2018, perihal penanganan masalah pembangunan Masjid At-Taqwa.
“Ini dilakukan demi menghindari bentrok fisik pada kegiatan yang berbeda di tempat yang sama, di mana panitia terus melakukan aktivitas pembangunan, sementara pihak lain akan menutup akses jalan menuju lokasi masjid, bahkan akan membongkarnya dengan melibatkan orang banyak,” demikian petikan dari SK Bupati tersebut.
Setelah dua surat tersebut menyusul kemudian pada 8 November 2018, Surat Penundaan IMB selama satu tahun dari Pemda Bireuen. Waktu satu tahun tersebut diharapkan oleh Pemda agar dapat tercapainya musyawarah antara panitia dan masyarakat yang menolak.
“Proses hukumnya sudah kita laporkan, tidak pernah diselesaikan yang membakar itu, mediasi juga tidak jalan, akhirnya pemerintah mengeluarkan surat penundaan IMB (Izin Mendirikan Bangunan), tidak mencabut, tetapi menunda” sebut Athaillah.
Mediasi Tanpa Arah
Jalan mediasi bukan tidak ditempuh oleh pihak Muhammadiyah, tetapi, selama ini, pada tiap pertemuan mediasi masyarakat yang hadir selalu berganti-ganti, tak ada kejelasan. Oleh karenanya, pihak Muhammadiyah meminta Pemerintah Bireuen, dalam hal ini bupati, agar memediasi pertemuan dengan pihak-pihak yang menginisiasi penolakan tersebut.
“Selama ini setiap ada pertemuan ataupun ada keributan, yang hadir itu tidak jelas, yang menolak itu tidak jelas, katanya masyarakat, tetapi masyarakat siapa? Karena kalau kita mengacu kepada surat itu mestinya merekalah yang mewakili, tetapi (mereka) tidak pernah datang,” lanjut Athaillah.
Saat itu bupati menanggapi hal tersebut dengan responsif dan meminta agar pihak Muhammadiyah mengirimkan surat. Namun, yang terjadi setelahnya hanya pertemuan seperti biasa kembali. Bahkan tokoh dibalik gerakan menolak hadirnya Masjid Muhammadiyah di Sangso tidak diketahui.
“Tidak ada, kita tidak tahu siapa, tapi kalau kita mengacu kepada surat, ya surat itu, surat Abu Mudi dan keuchik-keuchik itu, tetapi mereka hilang begitu saja. Saat itu kita juga meminta Komnas HAM untuk memediasi, tetapi Komnas HAM juga bertanya mengenai pihak yang dihadapi oleh Muhammadiyah siapa, kita juga tidak bisa menyebut, karena yang membuat surat itu tidak pernah muncul dalam mediasi-mediasi atau pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh pemerintah,” lanjut Athaillah.
Pihak Muhammadiyah kemudian meminta Komnas HAM agar mendesak Bupati untuk bertindak sebagai mediator. Atas desakan tersebut, Dinas Syariat Islam Bireuen kembali mengadakan pertemuan di kantor Camat pada tanggal 5 Maret, dan seperti yang sudah-sudah, pertemuan tersebut hanya menghimpun pendapat-pendapat.
“Inti pertemuan itu hanya menghimpun pendapat saja, yang pro apa pendapatnya, yang kontra apa pendapatnya, setelah itu pendapat-pendapat itu dibawah ke bupati. Apa yang diputuskan bupatilah yang kita terima, begitu komitmennya. Akhirnya, keluarlah surat penundaan yang kedua dari Dinas Penanaman Modal, bahkan surat yang ke dua ini lebih bias lagi, karena tidak ada batas waktu seperti yang dulu,” tutur Athaillah.
Dalam kesempatan lain, sahih.co juga menghubungi Yahya, Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Samalanga, ia menyatakan pernah bersilaturrahmi ke kediamannya Abu Mudi, tetapi beliau memulangkan hal tersebut kepada Pemerintah Kabupaten Bireuen.
“Kami pernah (bersama) panitia 5 orang bersilaturrahmi ke rumah Abu Mudi, (beliau) Abu Mudi (menanggapi) itu urusan bupati bukan urusan saya,” sebut Pimpinan Cabang Muhammadiyah Samalanga.
“Tapi begitu kami mulai ribut lagi, dibilangnya masyarakat belum menerima, dibilangnya mengundang konflik, dibilangnya mengundang perpecahan, seolah ada yang bermain di balik layar, tetapi tidak tampak,” lanjut Yahya.
Hal tersebut dibenarkan oleh Athaillah. Bupati Bireuen menyarankannya agar bersilaturrahmi dengan tokoh agama, tetapi hal tersebut tidak juga menghasilkan titik temu. “Mereka mengatakan bangun masjid adalah urusan Pemkab Bireuen, ulama yang kami kunjungi mengaku tidak pernah melarang membangun rumah ibadah, kesannya ada upaya membenturkan Muhammadiyah dengan ulama dan masyarakat,” pungkasnya.
Dukungan Masyarakat Desa Sangso
Selama pembangunan Masjid Muhammadiyah di Desa Sangso, baik panitia pembangunan maupun PCM Samalanga tidak pernah mendapat gangguan apa pun dari masyarakat Desa Sangso, justru yang selama ini melakukan demonstrasi dan meributkan pembangunan masjid tersebut adalah masyarakat dari luar Desa Sangso.
Yahya, PCM Samalanga menyebutkan bahwa ada banyak masyarakat Gampong Sangso yang mendukung pembangunan masjid tersebut. Bahkan sumbangan pembebasan tanah itu hampir 60 persen bersumber dari swadaya masyarakat Gampong Sangso, baru sisanya dari sumbangan masyarakat luar Sangso.
“(Bahkan) sampai hari ini engga ada satu pun masyarakat Sangso yang bangun (untuk) protes,” tegas Yahya.
Muhammadiyah di Samalanga
Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Kementerian Agama Republik Indonesia menyebut dalam temuannya, bahwa Muhammadiyah hadir di Samalanga sudah sejak 1930-an, dan keberadaanya secara nyata mulai tampak sejak tahun 1950-an, ketika masyarakat Muhammadiyah mendirikan sebuah masjid tanpa label Muhammdiyah yang sekarang menjadi Masjid Jamik Samalanga. Di masjid tersebut telah berdiri TK Aisyiyah sejak 1980-an sebagai tanda masjid tersebut diurus oleh masyarakat Muhammadiyah. Tak jauh dari masjid itu juga berdiri SMP dan SMA Muhammadiyah Samalanga.
Imam Besar masjid tersebut juga dijabat oleh orang Muhamamdiyah. Baru kemudian tahun pada 2000-an, saat imam dari Muhammadiyah meninggal, orang-orang yang belakangan disebut aswaja terpilih sebagai imam masjid dan kemudian menyingkirkan semua aktivis Muhammadiyah dari kepengurusan masjid jamik dan mengubah tata cara ibadahnya.
Awalnya, orang-orang Muhammadiyah mengikuti tata cara beribadah yang mulai berubah di masjid tersebut, tetapi kemudian khotbahnya mulai sering menyerang dan menyindir ajaran Muhammadiyah, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dan mengakibatkan orang-orang Muhammadiyah pindah ke masjid di desa tetangga yang dikelola oleh orang-orang Muhammadiyah.
Mencari Akar Konflik
Ada banyak motif yang memengaruhi penolakan terhadap Masjid Muhammadiyah. Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan RI, pada Desember 2017, menyebut motif tersebut cukup beragam; bisa berupa perebutan sumber daya politik, ekonomi, kewibawaan, harga diri, dan ketidakpuasan terhadap pemahaman agama kelompok lainnya. Namun, Ketua Puslitbang menyebutkan hal tersebut masih perlu kajian mendalam.
Hal yang sama turut disebutkan oleh Sosiolog yang juga akademisi UIN Ar-Raniry, Sehat Ihsan Shadiqin. Ia menerangkan bahwa penolakan masjid tersebut sarat muatan politis, ada kekhawatiran dari kelompok yang sudah mapan terusik oleh keberadaan masjid ini. Terlebih, sudah sejak lama Muhammadiyah ada di Samalanga, tetapi tidak terjadi gesekan apa pun.
“Saya kira soal perebutan otoritas, karena keberadaan beberapa masjid Muhammadiyah memperngaruhi itu (otoritas),” kata Sehat.
“Muhammadiyah ini perserikatan yang punya rekam jejak cukup lama di Aceh, sejauh ini semua harmonis saja. Kalau ada persoalan, dugaan kuat saya, sifatnya politis seperti tadi,” tambahnya.
Sehat mengharapkan masyarakat Samalanga yang notabenenya kota santri tetap melestarikan keberagaman di lingkungan masyarakatnya. Terlebih banyaknya lembaga pendidikan agama di sana justru seharusnya membuat masyarakat semakin terbuka dengan berbagai pandangan keagamaan.
“Masyarakat di kota santri diharapkan menjadi contoh bahwa ragamnya pemahaman agama antara sesama muslim harus dihargai, bukan dinegasikan,” tutup Sehat.
Upaya Mencapai Kerukunan
Upaya mencapai kerukunan sudah ditempuh sejak mula bergulirnya kasus pengadangan terhadap pembangunan Masjid Muhammadiyah Sangso, Samalanga. Namun, entah sudah berapa kali upaya tersebut ditempuh, hingga kini tak menghasilkan apa pun, justru terkesan mundur ke belakang.
Ketua MPU Aceh, Tgk H Faisal Ali atau akrab disapa Lem Faisal, menuturkan bahwa betapa penting bagi kedua belah pihak untuk tidak memaksakan kehendak. Jika tidak begitu, maka akan sulit bagi pemerintah untuk memediasi kedua pihak dan akan sulit kerukunan dapat tercapai.
Reporter & Penulis: Misbahul
Editor: Nauval Pally Taran