Dalam perjalanan tumbuh dan berkembangnya seorang anak, orang tua sangat dituntut untuk mengetahui bagaimana seharusnya pola pengasuhan yang baik bagi anak dan turut memenuhi hak-hak mereka, sehingga pada akhirnya si buah hati dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan sesuai harapan.
Di antara hak anak yang seharusnya diberikan adalah menanyakan pendapat si anak jika keputusan yang akan diambil akan memengaruhi kehidupannya. Pemerintah di seluruh dunia telah menjanjikan agar hak tersebut dapat tertunaikan dengan baik. Hak anak untuk berpendapat tersebut tertuang pada pasal 12 dalam Konvensi Hak-Hak Anak oleh PBB yang ditandatangani pada 1989 dan mulai berlaku pada 1990.
Psikologi modern dan perkembangan ilmu parenting membahas panjang lebar mengenai pentingnya meminta pendapat anak terkait dengan keputusan yang menyangkut dengan kehidupan si anak. Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak KMPPA, Dra. Lenny Nurhayanti Rosalin, M.Sc menyebutkan bahwa menyertakan pendapat anak merupakan hal penting yang harus diperhatikan.
Selain itu, mengikutsertakan partisipasi anak dalam hal-hal terkait kehidupannya penting untuk menjamin seorang anak dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental maupun sosial. Di samping itu, hubungan emosional anak dan orang tua juga akan terjalin dengan lebih baik lagi.
Meskipun begitu, hingga kini praktik yang banyak terjadi justru sebaliknya. Ada banyak anak yang terjebak dalam pilihan orang tuanya tanpa didengar pendapatnya, padahal keputusan tersebut akan berlaku seumur hidup bagi sang anak. Bahkan para penggiat parenting sendiri belum tentu mempraktikkan teori yang mereka paparkan.
Ibrahim Sumber Teladan
Namun, jauh sebelum para penggiat parenting dan ilmu psikologi modern mengedukasi akan pentingnya menanyakan pendapat anak mengenai keputusan yang menyangkut hak si anak. Nabi Ibrahim—yang Allah sebutkan sebagai teladan dalam setiap kehidupan—telah mempraktikkan hal tersebut kepada putranya Ismail.
Allah mengabadikan kisah ayah dan anak yang sarat dengan teladan tersebut dalam Al-Qur`an. Disebutkan ketika sang anak telah sampai pada usia sa’ya (7-15 tahun), ayahnya mendapatkan perintah dari Allah untuk menyembelih sang anak tercinta. Sebuah dialog yang penuh cinta terjadi. Ibrahim memanggil anaknya dengan sebutan bunayya, panggilan lembut yang penuh dengan kasih saying.
“Wahai (bunayya) anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?”
Putranya menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang Allah perintahkan, insyaAllah engkau akan mendapatiku tergolong kepada orang-orang yang sabar.”
Dialog Ibrahim dan Ismail menggambarkan penghargaan seorang ayah kepada anaknya. Dari kisah tersebut, kita dapat belajar untuk menghargai anak dan mendengar pendapatnya. Meski Ibrahim jelas diperintah oleh Allah, tetapi tidak serta merta menyembelih Ismail. Nabi Ibrahim mengharuskan diri meminta pendapat sang anak.
Ibrahim, ribuan tahun yang lalu telah mempraktikkan apa yang baru saja disepakati sebagai hal penting dalam tahapan parenting oleh para penggiat parenting modern, kurang dari seabad lalu. Pada saat yang bersamaan, Ibrahim mampu menjadi hamba yang taat dan orang tua yang penuh kasih-sayang.
Penulis: Misbahul
Editor: Nauval Pally Taran