Harari secara konsisten menyandarkan diri pada pemahaman sains yang tidak memadai. Prediksinya tentang prospek biologis kita, misalnya, didasarkan pada pandangan evolusi yang berpusar pada gen—cara berpikir yang (sayangnya) mendominasi wacana publik karena tokoh publik seperti dia. Reduksionisme semacam itu menyodorkan pandangan realitas yang disimplifikasi, dan lebih buruk lagi, menikung secara berbahaya ke wilayah eugenika.
Dalam bab terakhir Sapiens, Harari menulis,
“Mengapa tidak kembali ke papan sketsa Tuhan dan merancang Sapiens yang lebih baik? Kemampuan, kebutuhan dan keinginan homo sapiens memiliki dasar genetik. Dan genom sapiens tidak lebih kompleks daripada tikus. (Genom tikus mengandung sekitar 2,5 miliar nukleobasa, genom sapiens sekitar 2,9 miliar basa, artinya yang terakhir hanya 14 persen lebih besar). … Jika rekayasa genetika dapat menciptakan tikus jenius, mengapa tidak manusia jenius? Jika itu bisa menciptakan tikus monogami, mengapa manusia tidak terprogram untuk tetap setia pada pasangannya?”
Memang akan lebih mudah jika rekayasa genetika berlaku seperti tongkat ajaib—kibasan cepat yang dapat mengubah para filander menjadi pasangan yang setia, dan semua orang menjadi Einstein. Sayangnya, perkaranya tidaklah demikian. Katakanlah kita ingin menjadi spesies yang anti kekerasan. Para ilmuwan telah menemukan bahwa aktivitas rendah dari gen monoamine oxidase-A (MAO-A) menyebabkan perilaku agresif dan kekerasan—tetapi jika kita tergoda untuk “kembali ke papan sketsa Tuhan dan merancang Sapiens yang lebih baik” (seperti yang Harari bilang kita bisa), tidak semua orang dengan aktivitas MAO-A rendah melakukan kekerasan, juga tidak semua orang dengan aktivitas MAO-A tinggi tanpa kekerasan. Orang yang tumbuh di lingkungan yang sangat kasar sering kali menjadi agresif atau kasar, tak peduli apa gen mereka. Memiliki MAO-A dengan aktivitas tinggi bisa saja melindungi Anda dari kondisi ini, tetapi itu bukanlah sesuatu yang terberi begitu saja. Sebaliknya, ketika anak-anak dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih dan sportif, bahkan mereka yang memiliki aktivitas MAO-A rendah sering kali berkembang menjadi lebih baik.
Gen kita bukanlah dalang kita, yang dapat menarik tali ukur tepat pada waktu yang tepat untuk mengontrol peristiwa yang membentuk kita. Ketika Harari menulis tentang mengubah fisiologi kita, atau “merekayasa” manusia menjadi setia atau pintar, dia melewatkan banyak mekanisme non-genetik yang menentukan kita.
Sebagai contoh, bahkan sesuatu yang tampaknya terprogram seperti fisiologi kita—sel yang membelah, bergerak, menentukan nasibnya, dan mengaturnya menjadi jaringan dan organ—tidak direkayasa oleh gen saja. Pada 1980-an, ilmuwan JL Marx melakukan serangkaian eksperimen pada Xenopus (katak air asli Afrika sub-Sahara) dan menemukan bahwa peristiwa biofisik “biasa” (seperti reaksi kimia dalam sel, tekanan mekanis di dalam dan pada sel, juga gravitasi) dapat menghidupkan dan mematikan gen, serta menentukan nasib sel. Tubuh hewan, ia menyimpulkan, hasil dari tarian rumit antara gen dan peristiwa fisik dan lingkungan yang berubah.
Coba bayangkan itu. Membaca seseorang seperti Harari, orang mungkin berpikir bahwa perilaku bayi manusia yang baru lahir, misalnya, hampir secara eksklusif didominasi oleh gen mereka, karena bayi hampir tidak memiliki “pengasuhan” untuk dapat berbicara. Namun, penelitian menunjukkan bahwa bayi berusia enam bulan dari wanita yang minum banyak jus wortel pada trimester terakhir kehamilan mereka menikmati sereal rasa wortel lebih banyak daripada bayi lainnya. Bayi-bayi ini menyukai rasa wortel tetapi bukan karena gen “penyuka wortel”. Ketika ibu (biologis atau asuh) menyusui bayinya, rasa makanan yang mereka makan tercermin dalam ASI mereka, dan bayi mereka mengembangkan preferensi untuk makanan ini. Bayi “mewarisi” preferensi makanan dari perilaku ibu mereka.
Selama beberapa generasi, ibu muda dari Korea telah diberitahu untuk meminum semangkuk sup rumput laut, dan wanita Cina memakan kaki babi yang direbus dengan jahe dan cuka segera setelah melahirkan. Anak-anak Korea dan Cina dapat mewarisi preferensi rasa budaya khusus tanpa perlu gen “pemakan jahe” atau gen “penyuka cuka”.
Di dunia modern ini, di mana pun kita tinggal, kita mengonsumsi gula olahan. Diet tinggi gula yang berkepanjangan dapat menyebabkan pola makan yang tidak normal dan obesitas. Para ilmuwan telah menggunakan model hewan dan menemukan mekanisme molekuler yang melaluinya hal ini terjadi. Diet tinggi gula mengaktifkan kompleks protein yang disebut PRC2.1, yang kemudian mengatur ekspresi gen untuk memprogram ulang neuron rasa dan mengurangi sensasi rasa manis, mengunci hewan ke dalam pola makan yang maladaptif. Di sini kebiasaan diet mengubah ekspresi gen—contoh “pemrograman ulang epigenetik”—yang mengarah pada pilihan makanan yang tidak sehat.
Pemeliharaan membentuk alam, dan alam membentuk pengasuhan. Itu bukan dualitas; itu lebih seperti strip mobius. Realitas bagaimana “kemampuan, kebutuhan, dan keinginan homo sapiens” menjadi jauh lebih canggih (dan elegan!) daripada yang digambarkan Harari.
Ahli genetika Eva Jablonka dan Marion J. Lamb mengatakan demikian dalam buku mereka Evolution in Four Dimensions:
“Gagasan bahwa ada gen untuk petualang, penyakit jantung, obesitas, religiusitas, homoseksualitas, rasa malu, kebodohan, atau aspek lain dari pikiran atau tubuh tidak memiliki tempat dalam platform wacana genetik. Meskipun banyak psikiater, ahli biokimia, dan ilmuwan lain yang bukan ahli genetika (namun mengekspresikan diri mereka dengan daya luar biasa dalam masalah genetik) masih menggunakan bahasa gen sebagai agen penyebab sederhana, dan menjanjikan solusi cepat kepada audiens mereka untuk semua jenis masalah, mereka itu tidaklah lebih dari propagandis yang pengetahuan atau motifnya harus dicurigai.”
Harari tetap misterius; tetapi uraiannya tentang biologi (dan prediksi tentang masa depan) dipandu oleh ideologi yang lazim di kalangan teknolog Silicon Valley seperti Larry Page, Bill Gates, Elon Musk, dan lainnya. Mereka mungkin memiliki pendapat yang berbeda tentang apakah algoritma akan menyelamatkan atau menghancurkan kita. Namun mereka sama-sama percaya pada kekuatan transenden komputasi digital. “Kita sedang menuju situasi di mana AI jauh lebih pintar daripada manusia dan saya pikir rentang waktunya kurang dari lima tahun dari sekarang,” kata Musk dalam wawancara New York Times 2020. Musk salah. Algoritma tidak akan mengambil semua pekerjaan kita, atau menguasai dunia, atau mengakhiri umat manusia dalam waktu dekat (jika ada). Sebagai spesialis AI, François Chollet mengatakan tentang kemungkinan algoritma mencapai otonomi kognitif, “Hari ini dan di masa mendatang, ini adalah fiksi ilmiah.” Dengan menggemakan narasi Silicon Valley, populis sains Harari mempromosikan—sekali lagi—krisis palsu. Lebih buruk lagi, dia mengalihkan perhatian kita dari bahaya nyata algoritma dan kekuatan industri teknologi yang tak terkendali.
Dalam bab terakhir Homo Deus, Harari memberi tahu kita tentang agama baru, “Agama Data”. Para praktisi agama ini—“Datais” ia menyebut mereka—memandang seluruh alam semesta sebagai aliran data. Mereka melihat semua organisme sebagai pemproses data biokimia, dan percaya bahwa “panggilan kosmik” manusia adalah untuk menciptakan pemproses data yang mahatahu dan mahakuat yang akan memahami kita lebih baik daripada yang bisa kita pahami sendiri. Kesimpulan logis dari kisah ini, Harari memprediksi, adalah bahwa algoritma akan mengambil alih semua aspek kehidupan kita—mereka akan memutuskan siapa yang harus kita nikahi, karier apa yang mesti kita kejar, dan bagaimana kita akan diatur. (Silicon Valley, seperti yang bisa Anda tebak, adalah pusat Agama Data.)
“Homo sapiens adalah algoritma usang,” kata Harari, mengutip para datais.
“Lagi pula, apa kelebihan manusia dibanding ayam? Hanya saja pada manusia, informasi mengalir dalam pola yang jauh lebih kompleks daripada ayam. Manusia menyerap lebih banyak data, dan memprosesnya menggunakan algoritma yang lebih baik. Kalau begitu, jika kita bisa membuat sistem pemprosesan data yang menyerap lebih banyak data daripada manusia, dan yang memprosesnya lebih efisien, bukankah sistem itu lebih unggul dari manusia dengan cara yang persis sama seperti manusia lebih unggul daripada ayam?”
Akan tetapi, manusia nyatanya bukanlah ayam yang dibumbui, atau bahkan harus lebih unggul dalam segala hal daripada seekor ayam. Faktanya, ayam dapat “menyerap lebih banyak data” daripada manusia, dan “memprosesnya dengan lebih baik”—setidaknya dalam domain penglihatan. Retina manusia memiliki sel fotoreseptor yang peka terhadap panjang gelombang merah, biru, dan hijau. Retina ayam memiliki ini, ditambah sel kerucut untuk panjang gelombang ungu (termasuk beberapa ultraviolet), ditambah reseptor khusus yang dapat membantu mereka melacak gerakan dengan lebih baik. Otak mereka dilengkapi untuk memproses semua informasi tambahan ini. Dunia ayam adalah ekstravaganza warna teknik yang bahkan tidak bisa kita pahami. Maksud saya di sini bukanlah bahwa seekor ayam lebih baik daripada manusia—ini bukan kompetisi—tetapi bahwa ayam adalah “ayam” yang unik dengan cara yang sama seperti kita adalah “manusia” yang unik.
Baik ayam maupun manusia bukanlah algoritma belaka. Otak kita memiliki tubuh, dan tubuh itu berhubungan dengan dunia. Perilaku kita muncul karena aktivitas duniawi dan jasmani kita. Makhluk hidup tidak hanya menyerap dan memproses aliran data dari lingkungan kita; kita terus menerus mengubah dan menciptakan lingkungan kita sendiri—dan lingkungan masing-masing—sebuah proses yang disebut “konstruksi ceruk” dalam biologi evolusioner. Ketika berang-berang membangun bendungan di atas sungai, itu menciptakan sebuah danau, dan semua organisme lain sekarang harus hidup di dunia dengan danau di dalamnya. Berang-berang dapat menciptakan lahan basah yang bertahan selama berabad-abad, mengubah tekanan seleksi yang dihadapi keturunan mereka, yang berpotensi menyebabkan pergeseran dalam proses evolusi. Homo sapiens memiliki fleksibilitas yang tak tertandingi; kita memiliki kemampuan luar biasa untuk beradaptasi dengan lingkungan kita, dan juga memodifikasinya. Sikap hidup kita tak hanya membedakan kita dari algoritma; itu juga membuat hampir mustahil bagi algoritma untuk secara akurat memprediksi perilaku sosial kita, seperti siapa yang akan kita cintai, seberapa baik kita akan melakukan pekerjaan di masa depan, atau apakah kita akan cenderung melakukan kejahatan.
Harari sangat berhati-hati untuk mencerminkan dirinya sebagai juru tulis yang objektif. Dia bersusah payah untuk memberi tahu kita bahwa dia menyajikan pandangan dunia para datais, dan bukan miliknya sendiri. Namun kemudian ia melakukan sesuatu yang begitu picik. Pandangan datais “mungkin mengejutkan Anda sebagai gagasan pinggiran yang eksentrik,” katanya, “tetapi sebenarnya itu telah menaklukkan sebagian besar pendirian ilmiah.” Dalam menyajikan pandangan dunia Datais secara konklusif (telah “menaklukkan sebagian besar pendirian ilmiah”), ia memberi tahu kita bahwa “secara objektif” benar bahwa manusia adalah algoritma, dan perjalanan kita menuju keusangan—sebagai penerima pasif dari keputusan yang dibuat oleh algoritma yang lebih baik—tidak dapat dihindari, karena itu kita terikat secara integral dengan kemanusiaan kita. Menilik ke catatan kaki untuk mendukung pernyataan menyeluruh ini, kami menemukan bahwa dari empat buku yang ia kutip, tiga buahnya ditulis oleh mereka yang bukan ilmuwan—penerbit musik, penyiar tren, dan penerbit majalah.
Tidak ada yang dapat ditentukan sebelumnya tentang nasib umat manusia. Otonomi kita terkikis bukan karena karma kosmik, tetapi karena model ekonomi baru yang diciptakan oleh Google dan disempurnakan oleh Facebook—suatu bentuk kapitalisme yang telah menemukan cara untuk memanipulasi kita demi tujuan menghasilkan uang. Ilmuwan sosial, Shoshana Zuboff, telah memberi model ekonomi ini dengan nama “kapitalisme pengawasan”. Korporasi kapitalis pengawasan—Google, Facebook, Amazon, Microsoft, dan lainnya— membangun platform digital yang makin kita andalkan untuk hidup, bekerja, dan bermain. Mereka memantau aktivitas online kita dengan sangat detail dan menggunakan informasi tersebut untuk memengaruhi perilaku kita guna memaksimalkan keuntungan mereka. Sebagai produk sampingan, platform digital mereka telah membantu menciptakan ruang gema yang menghasilkan penolakan iklim yang meluas, skeptisisme sains, dan polarisasi politik. Dengan menamai musuh, dan mencirikannya sebagai penemuan manusia—bukan fakta alam atau keniscayaan teknologi—Zuboff memberi kita cara untuk melawannya. Seperti yang bisa Anda bayangkan, Zuboff, tidak seperti Harari, bukanlah sosok yang dicintai di Silicon Valley.
Pada Oktober 2021, Harari merilis Volume 2 dari adaptasi grafis Sapiens. Berikutnya adalah buku Sapiens versi anak-anak, Sapiens Live, pengalaman mendalam, dan acara TV multi-musim yang terinspirasi oleh Sapiens. “Nabi Populis” kita itu tak kenal lelah dalam mencari pengikut baru— dan bersama mereka, tumbuhlah ketenaran dan pengaruh baru.
Harari telah merayu kita dengan ceritanya, tetapi melihat lebih dekat pada catatannya, menunjukkan bahwa dia mengorbankan sains untuk sensasionalisme, sering membuat kesalahan faktual yang parah, dan menggambarkan apa yang seharusnya spekulatif sebagai sesuatu yang pasti. Dasar pernyataannya tidak jelas, karena ia jarang memberikan catatan kaki atau referensi yang memadai dan sangat pelit dalam mengakui para pemikir yang merumuskan gagasan yang ia sajikan—seraya mengakui—sebagai miliknya. Dan yang paling berbahaya, dia memperkuat narasi pengawasan kapitalis, memberi mereka kebebasan untuk memanipulasi perilaku kita agar sesuai dengan kepentingan komersial mereka. Untuk menyelamatkan diri kita dari krisis saat ini, dan krisis yang ada di depan kita, kita harus dengan tegas menolak populis sains berbahaya Yuval Noah Harari.
Selesai.
Penulis: Darshana Narayanan
Ia adalah seorang neuroscientist dari Princeton University
Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor: Nauval Pally Taran
Sumber: Current Affairs