SAHIH.CO – Sejak berabad-abad silam, tahu dan tempe telah menjadi makanan khas yang cukup populer di Indonesia. Namun, tahukah Anda bahwa mayoritas bahan baku untuk memproduksi kedua makanan tersebut masih diimpor.
Kementerian Pertanian mencatat sekitar 86,4% kebutuhan kedelai masih berasal dari impor. Bahkan hingga 2020, BPS mencatat impor kedelai sebesar 2,48 juta ton dengan nilai mencapai US$ 1 miliar.
Bagaimana kedua makanan ini cukup lekat dengan masyarakat, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rata-rata konsumsi tahu dan tempe per kapita di Indonesia sebesar 0,304 kilogram (kg) setiap minggu pada 2021. Angka tersebut naik 3,75% dibanding tahun sebelumnya sebesar 0,293 kg setiap minggu.
Secara rinci, sebagaimana dilansir dari Dataindonesia, rata-rata konsumsi per kapita untuk tahu sebesar 0,158 kg setiap minggunya pada 2021. Jumlah tersebut naik 3,27% dibanding 2020 sebesar 0,153 kg setiap minggu. Sementara, rata-rata konsumsi per kapita untuk tempe sebesar 0,146 kg setiap minggu. Jumlahnya meningkat 4,29% dibanding tahun sebelumnya sebanyak 0,146 kg.
Di samping itu, menurut Statista, konsumsi kedelai per kapita Indonesia sebesar 2,09 kg pada 2019. Angka ini memang turun 5,85% dibandingkan 2018 yang sebesar 2,22 kg. Namun konsumsi diperkirakan akan terus meningkat mulai 2020 hingga 2029.
Hal tersebut karena resesi ekonomi menyebabkan kemampuan masyarakat membeli protein hewani menurun. Alhasil tempe dan tahu adalah alternatif untuk memenuhi kebutuhan protein.
Untuk memenuhi kebutuhan tinggi tersebut, impor kedelai besar-besaran masih harus jadi solusi, karena produksi kedelai dalam negeri yang relatif rendah. Produksi kedelai nasional cenderung turun, dari 907 ribu ton pada 2010 menjadi 424,2 ribu ton pada 2019.
Penurunan kapasitas produksi tersebut disebabkan oleh luas lahan panen yang terus menyusut dari 660,8 ribu ha pada 2010 menjadi 285,3 ribu ha pada 2019. Hal ini juga dipengaruhi oleh masifnya perubahan fungsi lahan ke sektor non-pertanian.
Padahal, tingginya ketergantungan bahan baku impor dapat menyebabkan harga tempe dan tahu tak stabil. Sebagaimana barang impor yang terpengaruh fluktuasi nilai tukar.
Baca juga: Tempe dan Masa Depannya yang Cerah di Amerika
Tempe dan tahu yang diproduksi di Indonesia mayoritas (lebih dari 70%) menggunakan kedelai impor dari Amerika, dan kebanyakan penduduk Indonesia tidak menyadari jika tempe dan tahu yang sehari-hari dikonsumsi merupakan Produk Rekayasa Genetika (PRG).
Bahkan pada 2016, lebih dari 2 juta ton kedelai yang merupakan hasil rekayasa genetika, diimpor dari Amerika Serikat guna memenuhi kebutuhan konsumsi serta produksi tahu dan tempe di Indonesia. Itu artinya, sebagian besar tempe dan tahu yang beredar di pasar berbahan dasar kedelai yang telah direkayasa gennya karena produksi kedelai dalam negeri yang terlampau sedikit.
Selanjutnya, sebagaimana dilansir dari Theconversation, terkait cara pandang terhadap PRG ini melahirkan dua kelompok besar yang berseberangan secara global. Kelompok investor industri pangan dan sebagian peneliti mendukung genetically modified organism (GMO) dan produk rekayasa genetika (PRG) sebagai solusi ketahanan pangan dan pemeliharaan sumber daya lingkungan dari serangan hama.
Di sisi lain, peneliti independen, pengamat lingkungan, dan konsumen mengkhawatirkan risiko baru dari pangan PRG seperti alergi makanan, kenaikan resistensi antibiotik, dan dampak kesehatan manusia yang tidak diinginkan lainnya.
Penulis: M. Haris Syahputra
Editor: Nauval Pally Taran