SAHIH.CO – Meski terkesan murah dan mudah diperoleh, sebagai makanan temuan nenek moyang, tempe ternyata dapat diproyeksikan sebagai protein masa depan bahkan makanan penyelamat peradaban mengingat kandungannya yang kaya akan gizi.
Sejak lebih dari ratusan tahun yang lalu, tempe telah menjadi makanan khas dan populer di Indonesia, dan juga telah berperan sebagai sumber protein penting bagi banyak masyarakat Indonesia sejak lama. Hanya saja, karena murah, sederhana (dibungkus dengan daun pisang) dan mudah diperoleh, sebagian orang menganggap tempe sebagai makanan pinggiran yang berkualitas rendah dan sama sekali tidak menghargainya sebagai sumber protein nabati.
Padahal, kandungan protein pada tempe bahkan lebih tinggi daripada daging. Suatu hal yang kemudian menjadikan tempe dapat menjadi jawaban dari permasalahan kebanyakan anak di Indonesia selama ini, yakni stunting.
Stunting di Indonesia
Menurut hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), prevalensi balita yang mengalami stunting di Indonesia sebanyak 24,4% pada 2021. Artinya, hampir seperempat balita di dalam negeri mengalami stunting pada tahun lalu.
Dilansir dari databoks, stunting adalah kondisi di mana anak mempunyai tinggi di bawah standar menurut usia anak. Stunting ini merupakan salah satu indikator gagal tumbuh pada Balita akibat kekurangan asupan gizi kronis pada periode 1.000 hari pertama kehidupan, yakni dari anak masih dalam bentuk janin hingga berusia 23 bulan.
Di mana faktor utama yang melatari stunting adalah defisiensi zat gizi, terutama asupan energi dari zat gizi makro yang berupa karbohidrat, lemak dan protein. Menyikapi hal tersebut, pemerintah telah menargetkan stunting di Indonesia akan turun menjadi hanya 14% pada 2024.
Tempe dan Potensi Mengentas Stunting
Melansir dari artikel “Potensi Pangan Fermentasi Tempe Dalam Mengatasi Kejadian Stunting di Indonesia”, tempe merupakan produk fermentasi populer di Indonesia yang sudah ada sejak tahun 1600-an dengan basis utama kacang-kacangan.
Proses fermentasi digunakan sebagai upaya dalam menjaga kualitas dan keamanan makanan. Mulai dari memperpanjang umur simpan, mengurangi volume, meningkatkan flavor, mempendek waktu memasak, menyediakan ketersediaan gizi yang lebih baik, hingga dianggap sebagai makanan fungsional yang baik bagi kesehatan.
Produk hasil fermentasi, jika dibandingkan dengan bahan bakunya sendiri, memiliki keunggulan ditinjau dari segi gizi, nutrasetikal dan manfaat untuk kesehatan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh aktivitas mikroorganisme yang dapat meningkatkan kualitas produk. Adanya proses fermentasi menyebabkan kadar protein pada tempe meningkat cukup signifikan. Sebab pada dasarnya, proses fermentasi akan meningkatkan nilai manfaat, dan menurunkan dampak negatif dari suatu zat.
Sebagai salah satu sumber gizi yang kaya akan protein nabati lagi mudah dicerna, tempe dapat dimanfaatkan sebagai pangan pembangun dan pemelihara sel-sel tubuh yang rusak, serta dapat digunakan untuk menambah berat badan khususnya bagi kelompok balita. Apalagi, protein pada tempe merupakan makronutrisi yang mengandung asam amino. Di mana Asam amino memegang peranan penting dalam mengatur pertumbuhan manusia dan metabolismenya
Proses pengolahan fermentasi tempe dapat meningkatkan zat gizi yang terkandung, baik makro maupun mikro, yang dibutuhkan oleh tubuh. Dengan demikian, ditunjang oleh faktor harganya yang cukup terjangkau, jenis pangan ini cukup berpotensi sebagai bahan pangan penunjang pertumbuhan sehingga dapat mencegah kejadian stunting.
Melansir dari Better Nature, kandungan gizi pada tempe adalah sebagai berikut: protein 18 g per 100 g tempe, serat 6.6 g per 100 g, zat besi sekitar 2.1 mg per 100 g, Kalsium sekitar 96 mg per 100 g. Jika dibandingkan dengan gizi tahu, protein tempe lebih tinggi [protein tahu 8 g per 100 g]. Begitu juga dengan seratnya [serat tahu sekitar 1 g per 100 g]. Namun, tahu lebih kaya zat besi [2.7 mg per 100 g] dan kalsium [167 mg per 100 g] dari pada tempe.
Penulis: M. Haris Syahputra
Editor: Nauval Pally Taran