Tangguh, teguh, dan pantang runtuh. Jika boleh, setidaknya itulah kalimat singkat yang layak menggambarkan sedikit tentang potret Cut Nyak Dhien sepanjang hayatnya. Ia telah mengenyam pendidikan sedari kecilnya, baik itu agama ataupun selainnya. Hal tersebut tercermin dari sejarah panjang perjuangannya yang ditutup dengan aktivitas mengajar.
Usianya baru 12 tahun kala dikawinkan secara gantung oleh keluarganya dengan Teuku Ibrahim Lamnga, seorang bangsawan muda yang tangkas, lugas, dan amat cerdas. Darinya Cut Nyak Dhien belajar soal seni pedang, kepemimpinan serta taktik perperangan. Keduanya baru berkumpul saat Cut Nyak Dhien telah dirasa cukup siap. Tercatat, mereka telah memiliki seorang anak lelaki saat perang Aceh meletus.
“Jika engkau telah dewasa, bertulang delapan karat, berbidang bahu lebar, mahir bersilat, turunlah ke medang perang untuk menghalau Belanda dari kampung halaman kita. Seluruh Aceh akan menghunuskan senjata. Tempat ayahmu ada di depan mereka. Karena itulah kau harus turun juga ke muka peperangan. Janganlah kau tinggal di muka rumah saja,” kata Cut Nyak Dhien sembari menimang anaknya.
Kala periode kedua Perang Aceh (1874-1880), Ibrahim Lamnga tewas sebagai martir dalam penyerangan tiba-tiba Belanda di Gle Tarum. Di samping jasad suaminya, ia bergumam “Mengapa kau tinggalkan kami? Siapakah penggantimu untuk meneruskan perjuangan yang panjang ini?”. Tak ia ratapi perginya sang suami dengan ratapan penuh kesedihan, namun ia khawatir, siapakah gerangan yang akan meneruskan perang suci itu.
Kekhawatiran itu terjawab 2 tahun kemudian, setelah ia menerima pinangan Teuku Umar yang menjanjikan balas dendam dan perjuangan penuh melawan kaphe Belanda. Keduanya terikat oleh dua tali, yaitu pernikahan dan hasrat perjuangan melawan Belanda. Pernah suatu ketika ia harus menanggung malu sebab suaminya tunduk pada Belanda, namun rasa malu itu kemudian menjelma menjadi kebanggaan kala sang suami hanyalah memainkan psy war melawan Belanda.
Ia menjanda untuk kedua kalinya setelah hampir dua dekade berumah tangga dengan penuh romantisme perjuangan dengan Teuku Umar. Adalah Belanda yang lagi-lagi menjadi penyebabnya. Putri remaja mereka bernama Cut Gambang menangis tersedu atas kematian ayahnya. Cut Nyak Dhien bergegas menegur, katanya “sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid”.
Setelahnya, ia mengarungi kehidupan dengan perang demi perang. Ia juga mahir dalam orasinya, “Demi Allah! Polim masih hidup! Bait hidup! Imam Luengbata hidup! Sultan Daud hidup! Tuanku Hasyim hidup! Menantuku, Teuku Majet di Tiro masih hidup! Anakku Cut Gambang masih hidup! Ulama Tanah Abee hidup! Pang La’ot hidup! Kita semua masih hidup! Belum ada yang kalah! Umar memang telah Syahid! Marilah kita meneruskan pekerjaannya! Untuk Agama! Untuk kemerdekaan bangsa kita! Untuk Aceh! Allahu Akbar!” teriaknya dengan lantang membakar semangat pasukannya.
Tercatat, ia tak hanya berperang dengan mengangkat senjata, ia juga berperang melawan kebodohan dengan mengajarkan ilmu selama pengasingannya di Sumedang. Padahal ia sendiri sudah kepayahan, tua, renta, dan berpenyakit, namun rasa sungguhnya tak sedikitpun surut. Orang-orang Sumedang memanggilnya Ibu Perbu. Hingga wafatnya tahun 1908, tak pernah sekalipun ia menyerah. “Selama aku masih hidup, kita masih memiliki kekuatan, perang gerilya ini akan kita teruskan! Demi Allah!” katanya pada pasukannya.
Masa-masa itu, wanita-wanita Aceh hidup sebagai tokoh utama dalam perjuangan. Mereka berdiri setara dengan para lelaki di barisan depan. Karenanya, Zentgraff terkesima ketika pihak militer Hindia Belanda menginvasi Aceh kemudian mendapati kalangan perempuan begitu membara melakukan perlawanan. Ia menyebut wanita Aceh sebagai de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) dan grandes dames (wanita-wanita hebat) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor, jauh sebelum barat berbicara tentang persamaan hak yang dinamai emansipasi wanita.
Meneladani Kehidupan Cut Nyak Dhien
Semakin kesini, keadaan wanita-wanita kita semakin memprihatinkan, padahal mereka adalah calon ibu-ibu yang akan mendidik generasi bangsa kedepannya serta mengarahkan mereka, generasi yang akan menggenggam dunia di tangan mereka. Maka, tak salah jika Syauqi dalam syairnya menyebutkan:
شئت كان العير أو * أن شئت كان الأسدا إن
ترد غيا غواى * أو تبغ رشدا رشدا إن
Jika engkau (ibu) kehendaki anak akan menjadi keledai.
Jika engkau kehendaki ia akan menjadi singa.
Jika engkau kehendaki menyimpang ia akan menyimpang.
Dan jika engkau kehendaki lurus ia akan menjadi lurus.
Karenanya, sungguh prihatin jika wanita-wanita kita hari ini kehilangan perannya. Mereka buta terhadap tingginya harga diri mereka, abai terhadap pendidikan mereka, serta tenggelam dan terus lestari dalam nilai-nilai kolonialisme yang dahulu diperangi oleh Cut Nyak Dhien. Daripada memeranginya, mereka justru memilih bersungguh-sungguh dalam mengikutinya. Maka, alih-alih diharapkan melahirkan singa-singa yang membanggakan, dikhawatirkan mereka justru melahirkan anak-anak keledai yang mempermalukan bangsa.
Sebenarnya, ada sangat banyak hal yang dapat dilakukan oleh wanita-wanita masa kini untuk terus melestarikan kehebatan mereka dalam mendidik generasi penerus. Kehebatan yang oleh Napoleon disebut dapat menggerakkan dunia hanya dengan satu tangan. Kehebatan yang oleh Cut Nyak Dhien sudah ditampakkan lebih dari se-abad lalu.
Meniru Cut Nyak Dhien tidak hanya soal nama dan romantisme dengan suaminya, juga bukan hanya soal semangat perjuangan dan lenturnya lidah dalam berorasi. Tapi lebih jauh lagi, meniru Cut Nyak Dhien berarti mendedikasikan usia untuk perjuangan membebaskan bangsa dari penjajahan. Terlebih hari-hari ini, kita terjajah secara moral dan nilai.
Karenanya, aktualisasi spirit perjuangan Cut Nyak Dhien harus diwujudkan dengan tindakan nyata dimulai dari diri sendiri. Di antaranya adalah dengan mempersiapkan diri guna menyongsong kehidupan bermasyarakat ke depannya. Langkahnya sederhana; tekunlah dalam belajar dan sungguh-sungguh, terutama ilmu agama, karena dengannya manusia dapat menghidupsempurnakan nilai-nilai kemanusiaan yang ada, terlebih wanita adalah peluru utama dari pendidikan.
Tentang pentingnya pendidikan bagi wanita, Brigham Young mengatakan “Jika anda mendidik seorang pria, maka seorang pria akan terdidik. Tapi jika anda mendidik seorang wanita, sebuah generasi akan terdidik.” Karenanya, ayolah para wanita, belajar dengan benar, karena kalian adalah ibu! Jika tidak, bagaimana anak-anak akan terdidik?
Kemudian setelah terdidik, para wanita harus teguh di atas pendiriannya sebagaimana teguhnya Cut Nyak Dhien dahulu. Bahwa kita dengan etika ketimuran yang kita miliki sudah sangat mencukupi. Karenanya, jangan goyah dan tertipu dengan nilai-nilai sekuler dan liberal yang dibawa oleh orang lain. Keteguhan itu harus dipertahankan meskipun dinginnya bilah kelewang menyentuh leher-leher kita.
Setelah terdidik, para wanita juga harus mampu mendidik generasi penerus, minimalnya anak mereka sendiri. Tentu tak patut jika anak sendiri harus mereguk ‘asi’ mendasar tentang agama dari orang lain. Peran sebagai madrasatul ula harus dioptimalkan dengan baik oleh para wanita. Jika tidak, peran madrasatul ula justru akan diisi dengan sangat baik oleh gawai-gawai yang beragam mereknya dan layar-layar televisi analog, yang semakin kesini keragaman isinya justru semakin buruk.
Maka, perjuangan pendidikan merupakan perjuangan yang sangat penting. Terlebih hari-hari ini, kita tak mungkin lagi mengangkat rencong dan pedang-pedang untuk menusuk jantung lawan. Peran rencong dan pedang-pedang sudah tergantikan oleh pena-pena dan ujung jari. Adapun untuk menggerakkan pena-pena dan ujung jari dengan baik dan benar, sangat dibutuhkan pentunjuk yang hanya dapat digapai melalui pendidikan.
Pada akhirnya, hadirnya wanita-wanita terdidik yang teguh di atas pendiriannya merupakan wujud dari hidupnya spirit Cut Nyak Dhien. Sebaliknya, terbelakang dan hilangnya harga diri wanita merupakan sikap abai terhadap perjuangan Cut Nyak Dhien, tak ada nilai yang ditinggalkan selain nama yang harum. Tentu, sebagai penerus Cut Nyak Dhien yang mulia, tak mungkin kan kita akan membuat nama itu malu?
Penulis: Misbahul
Editor: Arif Rinaldi