Ikhtilaf, atau perbedaan pendapat, memiliki jenis dan tingkat yang berbeda-beda. Gambaran luas dari subjek tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya ada dua jenis ikhtilaf. Yang satu terpuji dan yang lainnya tercela.
Ikhtilaf dalam hal-hal cabang, di mana prinsip-prinsip dan dasar-dasar yang dianut oleh kedua belah pihak adalah sama, patut diapresiasi. Hal ini karena maksud dan tujuan kedua belah pihak adalah untuk mencapai kebenaran.
Ikhtilaf dalam hal-hal prinsipiel dan mendasar adalah tercela, buruk, dan dipandang rendah. Contohnya adalah ikhtilaf [Perbedaan Pendapat] antara seorang muslim dan seorang Kristen; seorang suni dan seorang Syiah; atau, seperti halnya dalam konteks kita saat ini, antara tradisionalis dan modernis. Sistem kepercayaan, nilai dan semangat masing-masing pihak berbeda, dan maksud atau tujuan masing-masing pihak juga berbeda.
Sekarang, pertanyaan penting yang muncul adalah, bagaimana kita harus menghadapi, dan memperlakukan orang yang memiliki posisi yang berbeda dengan kita ketika itu adalah jenis (ikhtilaf) kedua, yaitu ikhtilaf dalam usul (prinsipiel)? Kasus di mana pihak lawan memiliki sistem kepercayaan dan pola pikir yang berbeda dari seorang muslim atau tradisionalis.
Haruskah kita menganggap ikhtilaf ini sebagai masalah kecil dan mengabaikan perbedaannya? Apa batasan dari perilaku semacam ini?
Ketika kita menelaah kehidupan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang saleh, kita menemukan bahwa mereka tidak memperlakukan perkara ini sebagai hal yang bisa dianggap enteng. Mereka tidak sepele atau mengabaikan, dan tidak pernah ada kasus kompromi.
Ya, dalam interaksi sosial (muamalah) dengan orang-orang yang memiliki posisi yang sama sekali berbeda, maka mereka sopan, baik hati, dan perhatian—dengan syarat tak ada kerugian yang ditimbulkan terhadap Islam. Bukti dari posisi ini dirinci di bawah ini.
“Kamu tidak akan pernah menemukan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir memiliki kasih sayang kepada orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, bahkan jika mereka adalah ayah mereka atau anak mereka atau saudara laki-laki mereka atau keluarga mereka.” [Surat Al – Mujadalah : 22].
“Dan janganlah condong kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu tersentuh neraka, sedangkan kamu tidak memiliki pelindung selain Allah; sehingga kamu tidak akan mendapat pertolongan.” [Surat Hud : 113].
Imam Qurṭubi raḥimahullah, salah satu ulama ahli tafsir yang paling terkenal dalam sejarah Islam, menjelaskan ayat Surat Hud di atas sebagai berikut,
“Pandangan yang benar dan otentik tentang tafsir ayat ini adalah bahwa ayat ini menunjukkan untuk menjauhi orang-orang kafir, orang-orang berdosa yang berbuat bid’ah dan lain-lain. Ini karena persahabatan mereka bertaut dengan kekufuran atau dosa. Persahabatan itu sendiri hanya terjadi karena cinta.” [Tafsir Qurtubi vol.9 hal.108].
Dalam hadis, kita diajarkan bahwa tanda iman yang benar dan sempurna adalah mencintai karena Allah dan tidak menyukai, atau membenci, karena Allah.
Abu Ummah radhiallahu’anhu dan Mu’adz Ibnu Anas radhiallahu’anhu mengatakan bahwa Rasulullah ṣallallahu’ alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang memberi karena Allah dan menahan karena Allah dan mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, maka dia telah menyempurnakan imannya.” [Tirmidzi, Abu Dawud, Hakim, Tabrani].
Mu’adz Ibnu Jabal radhiaallahu’anhu mengatakan bahwa Rasulullah ṣallallahu’ alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa mendatangi seorang pelaku bid’ah untuk menghormatinya, dia telah membantu kehancuran Islam.”
Sabda lain dari Rasūlullāh ṣallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk tidak bercampur, duduk, dan bergaul dengan orang-orang yang menyangkal takdir.
Dari sini, para ulama menyimpulkan bahwa seseorang tidak boleh mencintai orang-orang yang mengadopsi keyakinan yang menyimpang, dan mereka yang terlibat dalam pelaku bid’ah jahiliyyah. Faktanya, seseorang seharusnya tidak menyukai orang-orang seperti itu.
Ibnu Abbas radhiallahu’ anhuma berkata,
“Tidak ada seorang pun di permukaan bumi yang lebih saya benci daripada sekte kadariah. Ini hanya karena fakta bahwa mereka mengingkari kadar Allah.”
Yaḥya Ibnu Ya’mur raḥimahullah berkata,
“Aku berkata kepada Ibnu Umar raḍhiallahu’ anhu, “Ada suatu kaum yang bermunculan di Irak. Mereka membaca Al-Qur’an yang mulia dan memahaminya. Mereka mengatakan bahwa Qadar Allah tidak ada esensinya, yakni mengingkarinya.” Ibnu Umar radhiallahu’ anhu berkata, “Ketika kamu bertemu dengan mereka, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya Ibnu Umar telah berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku.’”
Pernyataan berikut disampaikan dari Abu Qilabah, Ḥasan Basri dan Sya’bi raḥimahumullah,
“Jangan bergaul dengan orang-orang yang menyembah hawa nafsunya dan jangan berdebat dengan mereka.”
Fuḍhail Ibnu Iyaḍ raḥimahullah berkata,
“Orang yang menghormati seorang pelaku bid’ah, Allah Ta’ala akan membuatnya buta sebelum dia mati.”
Catatan: Ini bisa mengacu pada kebutaan dalam makna literal; atau kebutaan hati, di mana seseorang tidak mampu membedakan antara kebenaran dan kepalsuan.
Imam Baghawi raḥimahullah berkata:
“Para saḥabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, dan para ulama Ahlus Sunnah sepakat pada posisi tidak menyukai para pelaku bid’ah dan menjauhi mereka.”
Imam Syatibi rahimahullah berkata:
“Kelompok yang diselamatkan, yaitu Ahlus Sunnah, telah diperintahkan untuk tidak menyukai para pelaku bid’ah dan menjauhi mereka. Mereka diperintahkan untuk menghukum mereka yang condong ke pelaku bid’ah. Kita diperintahkan untuk tidak menyukai mereka, dan mereka diperintahkan untuk menuju kita, membangun persahabatan dengan kita, dan kembali ke kelompok utama, yaitu jama’ah.”
Abul-Jauza’ rahimahullah berkata:
“Saya lebih suka monyet dan babi tinggal bersama saya di rumah daripada memiliki tetangga dari orang-orang yang menyembah keinginan mereka.”
Yahya Ibnu Abi Kathir raḥimahullah berkata:
“Ketika Anda bertemu seorang pelaku bid’ah baru di jalan, maka ambillah jalan lain.”
Fudhail rahimahullah berkata:
“Salah satu tanda tertimpa musibah adalah teman dan rekan seseorang adalah seorang yang mengganti ajaran Nabi dan yang membuat perkara baru dalam agama.”
Bersama-sama, bersamaan dengan pernyataan-pernyataan dari para pendahulu yang saleh ini, mereka telah mengizinkan umat untuk berhubungan secara damai dan baik dengan sekte-sekte dan para pembaharu yang sesat. Ada juga contohnya dalam sejarah.
Ringkasan
Sejauh menyangkut masalah agama, para pendahulu yang saleh tidak pernah berkompromi. Ya, sejauh menyangkut tingkah laku dan karakter sosial, diperbolehkan untuk berurusan dengan mereka secara damai dan ramah. Dari sini kami memahami bahwa kita tidak boleh memiliki cinta di hati kita untuk orang-orang kafir dan pelaku bid’ah, bahkan lebih penting dan perlu untuk tidak menyukai dan membenci mereka. Yang paling diizinkan bagi kita adalah untuk berurusan secara damai dalam masalah sosial. Karena alasan inilah para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah menyatakan bahwa tidak diperbolehkan memiliki hubungan pertemanan atau hubungan persahabatan dengan para pelaku bid’ah.
Dari referensi di atas, kita memahami bahwa kedudukan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa persatuan dan kesepakatan tidak akan pernah diizinkan dengan mereka yang berselisih dengan kita dalam hal-hal pokok, yaitu masalah usul. Ya, ketika membicarakan perbedaan, harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, di mana kekuatan dan keindahan Islam yang murni ditampilkan dengan segala keagungannya.
Apa yang harus kita hadapi setiap hari adalah kaum modernis memutarbalikkan instruksi Al-Qur’an untuk berargumen dengan cara terbaik. Mereka memilih untuk mengejek dan mencemooh Islam dan muslim tradisional, menyebarkan racun dan kefanatikan modern, sesuai keinginan mereka.
Setelah tanpa malu-malu mencemooh dan menyerang ajaran dan kepribadian Islam fundamental, kaum modernis tanpa adab kemudian mulai membuang “kartu adab” yang bahkan tak lagi berlaku. Subhanallah, itu adalah contoh nyata kuali menyebut cerek hitam.
Penulis: Mufti Abdullah Moola
Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor: Arif Rinaldi & Nauval Pally T
Sumber: Muslim Skeptic