Kepak sayap Susi Air di Aceh dan Papua ikut menyangga ekonomi dan membuka mata dunia dalam membaca pelosok Indonesia.
Pekan-pekan terakhir ini nama Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Kerja 2014-2019, riuh dan mendadak viral. Laman media siber, media mainstream, media sosial, grup-grup whatsapp, telegram, dan sindikasi perpesanan pribadi menukil kisah Susi.
Ini bukan tentang kabar gembira, tapi perihal nasib Kapten Philip Mehrtens, pilot Susi Air asal Selandia Baru, yang disandera Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), pada Selasa 7 Februari 2023, sekitar pukul 06.35 WIT.
Tragedi ini kemudian coba dibawa ke isu internasional. Kelompok kriminal bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya menyeret nama PBB, Selandia Baru, Amerika Serikat, Eropa, dan Australia agar ikut bicara. KKB menuding negara-negara itu selama ini mengirimkan peralatan perang ke Indonesia, melatih TNI/Polri untuk membunuh orang asli Papua selama 60 tahun.
KKB juga mengancam akan menghabisi dan menjadikan pilot Philip Mehrtens sebagai “budak” mereka jika Indonesia tidak memberi kedaulatan dan memerdekakan Papua.
Sandera menyandera dalam muslihat perang gerilya adalah hal lumrah. Itu bentuk psywar yang sengaja diumbar untuk menekan nyali lawan agar berkerut. Atau, paling tidak, para sandera dijadikan alat jaminan untuk sebuah negosiasi. Masing-masing pihak berupaya mencari titik lumpuh.
Diksi perang gerilya, atau guerilla, sejarahnya diambil dari bahasa Spanyol, artinya perang kecil. Kecil di sini berkaitan jumlah personel atau pasukan. Karena jumlahnya sedikit maka perang ini dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi.
Perang gerilya biasanya terkonsentrasi pada kecepatan, sabotase, namun tetap mengedepankan fokus dan efektifitas. Meski siasat perang gerilya dilakukan sejumlah pasukan kecil, tak jarang cara ini mampu mengalahkan musuh dalam skala besar. Setidaknya bikin teruk kekuatan lawan.
Kasus penyanderaan pilot Susi Air, misalnya. Meski sedikit merepotkan aparat keamanan di negeri ini, paling tidak TNI/Polri sudah bisa membaca kekuatan KKB di Papua; tampak panik dan kehabisan strategi gerilya-nya. Mereka mulai mempraktikkan cara-cara bar-bar; membakar fasilitas umum, menculik dan tak segan membunuh para penentang.
Sebaliknya, tragedi pembakaran dan penyanderaan pilot pesawat Susi Air Pilatus Porter PC 6/PK-BVY ini bisa menjadi cemeti dan cermin koreksi bagi lembaga intelijen negara dalam pelaksanaan operasi pencegahan dan deteksi dini pergerakan separatisme bersenjata, atau konflik komunal.
Beberapa dekade terakhir di Indonesia menunjukkan perlindungan negara terhadap rakyat tidak terlaksana dengan baik, begitu juga terhadap jaminan keamanan investasi. Negara harus hadir melindungi sekuat tenaga. Karena pertahanan dan keamanan negara menjadi prioritas utama yang harus dijaga kestabilannya. Agar investasi aman, tak terjadi lagi penculikan, pembakaran, dan huru-hara politik.
Legacy Susi Air
Destruksi Susi Air oleh KKB di Lapangan Udara Paro, Nduga, Papua Pegunungan, adalah isyarat bahwa “radar” kita tak membaca dengan baik pergerakan para gerilyawan OPM. Tragedi ini tak cuma mengusik ketenangan warga di Papua. Tapi, percikan api konflik itu telah mengirim pesan ke dunia internasional bahwa Indonesia (Papua) sedang kacuk kalut.
Ancaman perceraian politik bernegara tengah mencengkeram pulau terbesar kedua (setelah Greenland) di dunia yang terletak di sebelah utara Australia itu; di bagian baratnya wilayah Indonesia dan bagian timur negara Papua Nugini.
Di kawasan terpencil Pulau Cenderawasih ini, Susi Air punya cerita penting yang mengairi sejarah penerbangan dan ekonomi Papua. Susi Pudjiastuti, CEO PT ASI Pudjiastuti Aviation, ikut “bergerilya” menembus jalur udara perintis dengan mengoperasikan “burung besi” Susi Air hingga pelosok Papua.
Kepak sayap perdana Susi Air di Sorong Raya, Papua Barat, dilakukan pada 20 Januari 2021. Rute udara ini adalah jembatan untuk menghubungkan daerah-daerah terpencil dan terisolir yang tidak tersedia moda transportasi lainnya.
Jauh sebelum sayap bisnis Susi Air menjamah langit Papua, di provinsi paling ujung barat Indonesia, yaitu Aceh, sosok Susi Pudjiastusi telah lebih dahulu mewariskan legacy jalur penerbangan perintis. Perempuan 58 tahun ini pernah dicatat sejarah sebagai orang pertama mendarat di Aceh—ketika itu terisolasi karena bencana—untuk menyalurkan bantuan korban gempa dan tsunami 26 Desember 2004.
Kala itu, bantuan kemanusiaan mengalir deras dari dalam dan luar negeri. Namun bantuan itu menumpuk di Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, tak bisa menembus daerah bencana. Tsunami menghancurkan dan melumpuhkan akses darat sehingga bantuan tidak bisa disalurkan.
Dalam kondisi ini, Susi berinisiatif mengirimkan bantuan melalui pesawat udara. Bersama suaminya Christiant, Susi terbang menggunakan Cessna Caravan. Satu-satunya pesawat yang dia operasikan melalui bendera PT ASI Pudjiastuti Aviation. “Sumbangan titipan dari banyak teman,” ujar Susi kala itu, seperti dilansir dari laman www.mypangandaran.com.
Daerah pertama yang dituju adalah Pulau Simeuleu, pulau terdekat dari pusat bencana. Namun, ia tidak bisa langsung masuk ke pulau itu karena masih dinyatakan tertutup. Pesawat baru bisa mendarat di Pulau Simeuleu pada hari kedua setelah bencana ganda gempa dan tsunami mereda.
Susi menjadi orang pertama yang berhasil mendarat di Aceh. Dari kisah heroik penyaluran bantuan kemanusiaan ini, menyembullah nama Susi Air di langit Aceh yang sempat gelap gulita digebuk bencara. Setelah itu, peran Susi meluas hingga ke Nagan Raya, Kutacane, Bener Meriah-Takengon, Singkil, dan bandara perintis lainnya di Nusantara.
Susi Air adalah maskapai penerbangan perintis yang dioperasikan perusahaan milik Menteri Susi, PT ASI Pudjiastuti Aviation, didirikan pada 2004 setelah tsunami Aceh. Susi awalnya menerbangkan pesawatnya hanya untuk keperluan bisnis lobsternya dari Pangandaran, Jawa Barat, ke Jakarta untuk diekspor ke luar negeri.
Kini, Susi Pudjiastuti dengan Susi Air-nya telah mewariskan sejarah penting penerbangan perintis di Indonesia, meski ia tak berjuang melawan ganasnya gempa dan tsunami Aceh, atau memanggul senjata di rimba peperangan Papua.
Keberanian Susi “bergerilya” membuka jalur penerbangan perintis di pelosok-pelosok Nusantara, patut diberi apresiasi dan dilindungi oleh properti keamanan negara. Agar Susi Air tidak “ditenggelamkan” prahara dan perang, seperti Kapten Philip Mehrtens, sang pilot yang bernasib malang di tanah Papua itu.
Penulis: Ramadansyah MS
Ia adalah Pemimpin Redaksi sahih.co & CEO KBA.ONE