Iduladha selalu saja lekat dengan kisah keluarga nabiyullah Ibrahim, Ismail dan Siti Hajar álaihimu al-salam. Keluarga penuh teladan itu seakan tak pernah habis kisahnya untuk dibahas.
Teladan keluarga Ibrahim mengemuka dari banyak sisi, salah satunya, ialah ketaatan penuh dari mereka semua terhadap perintah Allah taála, tak ada tetapi dan kenapa, semuanya sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami patuh).
Allah menganugerahkan khalilullah Ibrahim ‘alaihi al-salam anak setelah penantian yang amat panjang, ada yang mengatakan 80 hingga 90 tahun. Sulit untuk menggambarkan bagaimana gembiranya Nabi Ibrahim ‘alaihi al-salam yang sudah begitu tua akhirnya memiliki putra. Namun, belumpun usai masa Ismail disapih oleh ibunya, nabiyullah Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk membawa Ismail kecil dan Hajar ke sebuah lembah kering kerontang dan meninggalkan mereka di sana.
Ada rasa getir di dada Ibrahim saat meninggalkan Hajar dan Ismail kecil di lembah tersebut, yang tidak berpenghuni, tidak berair, tidak bertanaman, dan di sana mereka hanya berteman bebatuan dan desir angin padang pasir.
Saat itu Ibrahim dihadapkan pada dua pilihan hebat yang berkecamuk di hatinya, tetapi totalitasnya sebagai hamba Allah mengalahkan rasa cintanya pada keluarga. Ibrahim yakin bahwa Allah tidak akan menyuruh pada kesia-siaan.
Nabi Ibrahim berbalik pergi dengan untanya, ada air mata yang tersembunyi di balik setiap derap langkah unta itu. “Relakah engkau meninggalkan kami?’’ Hajar mempersoalkan. Ibrahim tak bergeming di atas untanya yang terus berjalan. ‘’Mungkinkah ini perintah Allah?’’ Tanya Hajar untuk ketiga kalinya. Tak ada suara tegas, Ibrahim hanya menjawab lirih sembari sedikit menoleh ‘’iya’’.
Seketika air muka Hajar berubah, air muka sedih karena ditinggal suami berubah menjadi air muka kesabaran, ikhlas dan penuh yakin; ‘’Pergilah, kami akan terjaga bersama Allah’’, sahut Hajar dengan pasti.
Ujian keberhambaan Ibrahim tak berakhir di situ. Beberapa tahun kemudian, ketika sang anak telah sampai pada usia sa’ya (7-15 tahun), Ibrahim kembali mendapatkan perintah besar dari Allah untuk menyembelih sang anak tercinta yang dikaruniakan padanya setelah berusia 80 tahun lebih. Beliau pun tunduk terhadap perintah Rabbnya. Allah mengabadikan kisah ayah dan anak yang sarat dengan teladan tersebut dalam Al-Qur`an.
“Wahai (bunayya) anakku sayang, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?” Putranya menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang Allah perintahkan, insyaallah engkau akan mendapatiku tergolong kepada orang-orang yang sabar.”
Ada kesedihan dalam dialog tersebut, tetapi menjadi indah karena dibungkus dengan keikhlasan dan keimanan yang luar biasa dari ayah dan anak tersebut. Kisah ini menyiratkan kepada kita betapa paripurnanya kepatuhan serta ketundukan Ibrahim dan Ismail sebagai hamba Allah.
Demikianlah, Iduladha, kurban dan rangkaian ibadah haji seakan mengajak kita melakukan napak tilas terhadap kisah keluarga mulia sang khalilullah. Keluarganya menjadi teladan umat tentang ketundukan terhadap perintah Allah, menjadi teladan perihal keimanan dan tawakal kepada Allah, juga menjadi teladan dalam keikhlasan menjalankan perintah Allah. Perbuatan Ibrahim dan keluarganya merupakan wujud dari paripurnanya keimanan seorang hamba kepada Tuhannya.
Sudah seharusnya bagi kita sebagai orang yang beriman kepada Allah untuk meneladani Ibrahim dan keluarganya, patuh atas pilihan yang Allah pilih untuk kita, beriman dengan lurus dan tunduk tanpa pembangkangan.
Wallahu a’lam
Penulis: Misbahul
Editor: Nauval Pally Taran