SAHIH.CO – E-Nose merupakan teknologi mutakhir untuk deteksi penyakit TBC saat ini. Inovasi ini diperkenalkan pertama kali pada pertemuan penerima Hadiah Nobel di Lindau, Jerman pada Juni silam.
Dilansir dari DW, Electoric Nose ini digunakan untuk mendiagnosis penyakit lewat aroma tubuh atau napas. Untuk menggunakannya, seseorang perlu bernafas ke dalam kantong yang menampung udara yang terkoneksi ke alat e-Nose. Data tersebut kemudian terkoneksi ke laptop, dan kecerdasan buatan di laptop akan menganalisis data dan akan memberi informasi soal apakah seseorang sedang sakit atau tidak.
Yang menarik dari inovasi ini adalah upayanya dalam mendisrupsi permasalahan umum kesehatan di Indonesia.
Pertama, permasalahan jarak. Biasanya, untuk mendiagnosis atau men-screening penyakit membutuhkan alat besar yang tidak akan mudah dibawa ke mana-mana. Padahal di Indonesia banyak sekali orang yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Sehingga sulit bagi mereka untuk berjalan jauh menuju pusat kesehatan. Akhirnya, banyak kasus yang tidak terdiagnosis, tidak mendapatkan terapi, hingga tak jarang meninggal.
Kedua, alat-alat untuk mendiagnosis harganya tidak murah. Misalnya untuk TB, harga kultur (alat pemeriksaan dahak mikroskopis) itu masih cukup mahal. Ditambah lagi, pengaplikasiannya juga tergolong tidak mudah: masih harus pakai mikroskop dan petugas kesehatan khusus yang meneliti. Sehingga tidak mungkin melakukan diagnosis secara mandiri.
Ketiga adalah masalah efek samping. Salah satu alat diagnosis TB adalah menggunakan foto Rontgen, di mana efek sampingnya adalah paparan radiasi, sehingga cenderung tidak aman. Pasien yang ingin mendapatkan pemeriksaan pun masih harus datang ke pusat kesehatan. Tidak mungkin bagi pasien untuk melakukannya secara mandiri di rumah.
E-Nose diproyeksikan dapat menjadi solusi yang revolusioner atas kerumitan tersebut. Ia didesain sebagai alat yang murah, portable atau mudah dibawa, sehingga bisa digunakan mandiri. Hasil pemeriksaan e-Nose di rumah dapat diakses oleh petugas di pusat kesehatan masyarakat. Sehingga mereka bisa tahu di daerah tertentu ada orang yang positif TB. Selanjutnya, petugas dari pusat kesehatan akan datang ke rumah orang tersebut guna memberikan langkah medis.
Tidak hanya soal jarak, e-Nose juga menjadi solusi dari masalah budaya. Kadang, orang yang mau ke pusat kesehatan perlu menunggu persetujuan dari keluarga, sehingga jumlah yang terlambat didiagnosis menjadi sangat besar.
Menurut Morita, permasalahan utama kenapa kasus TB tidak turun adalah karena diagnosisnya yang cenderung lama. Sehingga selama dia belum terdiagnosis, dia akan terus menyebar ke lebih banyak orang.
Sedangkan E-Nose diciptakan guna mampu membuat diagnosis yang lebih cepat. Selain lebih cepat dapat terapi dan angka kesembuhan yang lebih tinggi. Diagnosis yang lebih cepat juga dapat mengurangi angka penyebaran penyakit tersebut.
Hingga kini, ada 4.820 e-Nose yang telah didistribusikan. Meski begitu, inovasi ini masih dalam tahap awal pengembangan. Jadi masih dalam fase melatih alat untuk bisa mendiagnosis secara sensitif dan spesifik.
“Untuk fase pelatihan hasil dari e-Nose sudah bagus. Sekarang tantangannya ada di fase validasi. Tahapan ini sudah dilatih, namun alat itu sekarang diperintahkan untuk menebak. Kira-kira orang yang datang itu positif atau negatif? Sekarang kami sedang mengembangkan supaya faktor-faktor itu bisa masuk ke otaknya alat ini,” ujar Morita dalam wawancaranya bersama DW.
Morita juga berharap bisa menciptakan alat yang benar-benar mudah dan murah. Sehingga bisa dipakai orang secara mandiri seperti alat tes kehamilan. Tapi untuk sekarang, e-Nose masih tergolong besar dan memerlukan listrik saat digunakan.
“Nantinya mungkin bisa pakai baterai. Karena kita tahu di daerah terpencil, listrik sering mati. Untuk sekarang, yang penting akurat dulu. Jika sudah akurat, nanti dipikirkan praktikalnya. Ini sebenarnya temuan tim. Saya dari sisi medisnya, nanti dari tim fisika yang merakit sensornya,” lanjut Morita dalam wawancaranya.
Penulis: M. Haris Syahputra
Editor: Nauval Pally Taran