SAHIH.CO – Novel Franz Kafka yang tak selesai, The Trial (1914-1915), adalah salah satu karya sastra Barat modern yang paling bertahan lama. Di satu sisi—melalui kemalangan Joseph K.—novel ini adalah kritik terhadap sistem hukum modern, yang terjalin ke dalam birokrasi impersonal dan kompleks yang mengabaikan agensi individu, otonomi, dan bahkan kebebasan. Struktur kekuatan totaliter ini dengan demikian menundukkan manusia, yang secara metodis terasingkan dan kemudian diliputi oleh kegelisahan eksistensial.
Ada novel-novel lain yang menyampaikan nada serupa dalam menyasar pendekatan modernis terhadap legalitas (hukum), seperti Maurizius Case (1928) karya Jakob Wassermann (1928).
Novel-novel tersebut menyatukan topik-topik hukum di dunia modern dan sekuler yang pada dasarnya tidak memiliki rasa keadilan atau, dengan kata lain, tidak memiliki kepedulian terhadap kebenaran.
Penerapan rasionalisme beku di segala bidang, terutama dalam kaitannya dengan hukum, telah mengarah pada pendekatan mekanistik terhadap masalah-masalah manusia yang dulunya bersifat moral, yang sekarang menjadi semata-mata logis.
Sekularisasi hukum ini, yaitu pemisahan prinsip-prinsip hukum dan yurisprudensi dari hal-hal yang bersifat metafisik dan secara khusus agama, berakar pada pembentukan negara-bangsa modern. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa, untuk menegaskan kedaulatan mereka, negara memaksakan sistem hukum mereka sendiri yang seragam, yang pada dasarnya bersifat subjektif karena mereka berbeda dari hukum negara-bangsa lain, yang sering kali bersaingan, (pemikiran seperti ini ditemukan, misalnya, pada Thomas Hobbes).
Hal ini kemudian diperkuat oleh para pemikir Pencerahan dan, pada abad ke-19, ruang lingkupnya diperluas ketika empirisme juga diterapkan pada putusan hakim. Kaum realis hukum berpendapat bahwa hakim harus mempertimbangkan faktor-faktor subjektif, seperti praktik pengadilan, daripada semacam teori “ideal”.
Jeremy Bentham, pendiri filsafat moral utilitarian modern, mengantisipasi positivisme hukum yang berteorikan hukum komando yang menyatakan bahwa hukum pada dasarnya dianggap sah karena dikeluarkan oleh otoritas berdaulat yang memiliki kemampuan untuk menegakkannya melalui sanksi negara. Dalam pandangan utilitarian Bentham, dan juga pandangan muridnya, John Austin, hukum berfungsi untuk “kebahagiaan tertinggi bagi manusia”.
Dalam abad terakhir, positivisme hukum akhirnya menemukan pendukung terbesarnya pada Herbert Lionel Adolphus Hart.
Pada saat ini, pembaca mungkin telah mengidentifikasi bahaya bawaan dari positivisme hukum: pendekatan rasionalis dan empirisnya—yang menolak agama sebagai sumber hukum—tak terelakkan mengarah pada sekularisasi yang pada akhirnya menolak nilai-nilai seperti kebenaran dan keadilan sebagai sesuatu yang mendasar, karena ini merupakan nilai-nilai yang pada dasarnya bersifat religius.
Tentu saja, semua penulis ini sendiri juga berbicara tentang “kebahagiaan” (kemaslahatan), seperti yang dilakukan Bentham dan Austin; atau tentang “keadilan”, seperti yang dilakukan Hart. Akan tetapi, postulasi-postulasi emosional ini saling bertentangan. Seperti yang ditunjukkan oleh Michael Sandel dalam kritiknya terhadap filosofi “keadilan sosial” libertarian John Rawls. Rawls adalah seorang Kantian, yaitu seorang individualis liberal, dan “keadilan sosial” menurut definisinya adalah pendekatan kolektivis.
Demikian juga, jika positivis hukum berbicara tentang “kebahagiaan” dan “keadilan”, ini adalah kata-kata tak berarti yang telah dilucuti dari konteks spiritualnya. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa kata-kata tersebut menjadi subjektif dan individual (seseorang mungkin menemukan “kebahagiaan” dalam sesuatu yang orang lain tidak akan menemukannya di sana; beberapa orang mungkin melihat “keadilan” pada hal yang orang lain justru melihat kekejaman; dan seterusnya).
Ambiguitas Hart sendiri dalam kaitannya dengan homoseksualitas menunjukkan relativisme absolut dari positivisme hukum, seperti yang kita baca:
Setelah ceramah Lord Devlin, Hart, yang menggambarkan dirinya secara pribadi dalam surat-surat kepada teman-temannya sebagai “homoseksual yang tertindas”, merasa terdorong untuk berbicara di radio BBC. Seperti yang akan dia nyatakan dalam sebuah wawancara di kemudian hari, dia merasa berkewajiban untuk bertindak karena, seperti yang dia katakan: “Saya pikir argumen Devlin sangat buruk dan menyesatkan dan memungkinkan orang-orang reaksioner mengeklaim jubah filosofis.”
Hart, dalam tanggapannya kepada Devlin, setuju dengan pernyataan Laporan Wolfenden bahwa “harus tetap ada ranah moralitas atau amoralitas pribadi yang, secara singkat dan kasar, bukan urusan hukum.” Ide ini, menurut Hart, memiliki hubungan yang erat dengan doktrin John Stuart Mill dalam esainya On Liberty yang menyatakan, “satu-satunya tujuan kekuasaan yang dapat dilaksanakan secara sah atas setiap anggota masyarakat beradab yang bertentangan dengan keinginannya adalah untuk mencegah kerugian bagi orang lain.”
Hart adalah seorang positivis hukum, yang berarti ia mengambil pendekatan ilmu sosial terhadap hukum, yang menganggap hukum sebagai fakta sosial. Apa hukum itu, menurutnya, dan bagaimana seharusnya hukum itu adalah dua pertanyaan yang berbeda. Seperti yang ia katakan dalam bukunya yang terkenal, The Concept of Law, moralitas dapat memengaruhi hukum, tetapi hukum dan moral adalah fenomena sosial yang berbeda.
Dalam apa yang kemudian dikenal sebaggai “tesis keterpisahan” Hart, ia berargumen bahwa hukum seperti yang mewajibkan seseorang mengemudi di sisi kanan jalan mungkin merupakan hukum yang baik, namun itu bukanlah prinsip moral. Seseorang tidak akan pernah pergi ke Inggris dan berkata, moralitas saya memerintahkan saya untuk mengemudi di sebelah kanan, dan saya merasa terganggu secara moral jika mengemudi di sebelah kiri. Moralitas, menurutnya, dapat memengaruhi hukum, tetapi tidak identik dengan hukum. Di sisi lain, hukum yang melarang mengemudi yang berbahaya (atau, katakanlah, pembunuhan), misalnya, tidak diragukan lagi dipengaruhi oleh moralitas, tetapi juga merupakan bagian dari tatanan sosial-birokrasi. Dan negara yang tertata dengan baik belum tentu merupakan negara yang bermoral. Klaim Devlin bahwa hukum dibuat untuk menegakkan moralitas, menurut Hart, sama sekali tidah benar secara faktual.
[…]
Agar kohesi sosial tetap ada dalam masyarakat, Hart berpendapat, hukum tidak perlu memaksakan sebuah “jaringan moralitas yang murni” kepada masyarakat, seperti yang diklaim Devlin. Nyatanya, untuk hidup dalam keadaan bebas, kita harus diizinkan memilih sistem moral kita sendiri. Hukum tidak boleh memaksakan satu cara hidup pada masyarakat, sebuah cara hidup yang menafikan tindakan-tindakan yang sama sekali tidak berbahaya dan konsensual secara pribadi. Seperti pendapat Hart dalam bukunya Liberty, Law and Morality, ranah privat bukanlah urusan hukum, bukan pula urusan masyarakat.
Kaum positivis hukum, dalam perang salib sekuler mereka melawan hukum alam Eropa pra-modern, muncul dengan hukum “ilmiah” mereka sendiri, yang dengan demikian tanpa etika, yang oleh beberapa orang (seperti Hans Kelsen) tidak segan-segan memosisikannya dengan semacam agama sendiri.
Dengan demikian, perintah “hormatilah hukum” di Barat dapat dirasionalisasi sebagai salah satu cara unik bagi dunia liberal-sekuler untuk mengatakan “hormatilah agama kami”, bahkan jika agama semu ini tidak memiliki rasa keadilan atau kebenaran. Dengan kata lain, agama ini mengakui ketidakadilan dan kepalsuan yang melekat pada dirinya sendiri.
Terdapat beberapa kritik dalam filsafat hukum sekular. Di Amerika Serikat, yang paling terkenal adalah oleh Ronald Dworkin, yang “ interpretativisme”-nya mendorong gagasan bahwa kekuasaan diskresi hakim harus didasarkan pada pencarian keadilan dan kebenaran, yang dengan demikian entah bagaimana dapat “memoralisasi kembali” hukum.
Namun, alih-alih solusi semu yang terbatas, homeopati, dan pada akhirnya tidak memuaskan (dapatkah Anda benar-benar menyembuhkan sekularisme dengan sekularisme yang lebih banyak lagi?), mengapa mereka tidak bereksperimen dengan menerapkan Islam? Islam menawarkan hukum yang merupakan legislasi ilahi yang sebenarnya dari Sang Pencipta Yang Maha Mengetahui itu sendiri—bukan keputusan subjektif dari negara atau kolektivitas berdaulat lainnya yang secara tidak sadar mengakui bahwa mereka tidak benar-benar menghargai nilai-nilai manusia yang paling indah dan sehat.
Penulis: Bheria
Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor: Nauval Pally Taran
Sumber: Muslim Skeptic