Dalam kehidupan bermasyarakat, kita tidak akan pernah lepas dari yang namanya perselisihan, entah itu hanya masalah sepele seperti bubur diaduk atau tidak, sampai masalah-masalah pelik yang berkaitan dengan nyawa seperti membunuh orang yang berbuat kejahatan. Semua permasalahan yang terjadi di masyarakat bisa diibarakatkan seperti bilangan matematika dari minus tak hingga sampai positif tak hingga. Di sana ada dua kubu ekstrem (kiri dan kanan). Kadar ekstremisme mereka pun berbeda-beda, ada yang memang berada di salah satu ujung parameter tersebut, ada pula yang tidak.
Tentu saja di antara keduanya ada titik tengah alias titik nol, biasanya mereka mengambil titik tengah antara kedua perselisihan ekstrem yang terjadi. Pada umumnya pula, titik pertengahanlah yang cenderung lebih dekat kepada kebenaran dan bisa diterima oleh mereka yang mau berpikir.
Beberapa contoh ekstrem yang mungkin saat ini tersebar adalah tentang hiruk pikuk yang terjadi di Palestina ataupun tempat-tempat di mana seorang muslim tidak bisa mengekspresikan agamanya dengan bebas (tertindas). Di sana ada kubu ekstrem yang begitu keukeuh untuk ikut berjuang bersama mereka, sampai-sampai mengajak (atau bahkan menyuruh) orang-orang di negeri lain untuk ikut berperang ke sana tanpa memikirkan konsekuensi ataupun dasar-dasar yang cukup untuk mengikuti perang. Saya tidak mengatakan jihad itu tidak boleh, saya ingin mengajak pembaca berpikir lebih tenang dan tidak terburu-buru dalam mengikuti tokoh tertentu. Mereka seolah-olah lupa atau tidak pernah mendengar tentang seorang sahabat yang dilarang oleh Nabi untuk ikut jihad (perang) karena kedua orangtuanya masih hidup. Tentunya ada landasan-landasan lain menjadi pertimbangan apakah seseorang itu layak ikut berperang atau tidak, baik dari sisi agama ataupun ilmu perang. Termasuk kubu ini adalah mereka yang mencoba berbicara tentang hal-hal yang berkaitan tentang Palestina tanpa ilmu, mereka merasa telah membantu kaum muslimin Palestina padahal mungkin yang terjadi mereka menjerumuskan saudara seagamanya yang sebelumnya aman di negerinya menjadi terancam.
Sebaliknya, ada pula kubu yang sama sekali tidak peduli. Mereka mungkin merasa bahwa apa yang terjadi di sana tidak ada kaitannya dengan diri mereka di sini. Selama hidup mereka di sini aman sentosa, untuk apa memikirkan orang lain yang tidak memiliki hubungan darah dengan dirinya? Akhirnya, selama hal yang terjadi di luar sana tidak mengganggu kesehariannya, dia tidak begitu peduli dengan apa yang terjadi di sana hingga memilih apatis dan tidak mau tahu. Atau mungkin, dia justru berpura-pura bersikap pertengahan dengan berargumentasi “kita tidak tahu siapa yang benar dan salah,” “kita tidak tahu kejadian yang sebenarnya,” atau “kita tidak tahu apa yang ada di hati mereka.” Sejatinya mereka hanya tidak ingin terusik oleh apa yang terjadi di sana, dan alasan-alasan mereka sama sekali tidak menunjukkan sikap pertengahan kecuali hanya topeng untuk menyembunyikan rasa apatis mereka.
Padahal, jikalau seseorang benar-benar memikirkan maslahat dan mafsadat suatu perbuatan, niscaya mereka pasti bisa untuk mengambil pendapat yang lebih pertengahan (dekat dengan kebenaran). Mereka bisa memilih untuk membantu saudara seiman dengan hal-hal yang mereka mampu, baik itu dari sisi finansial ataupun setidaknya mengajak orang untuk bersedekah. Seminimalnya—meski sebenarnya itu senjata utama—mereka berdoa untuk kaum muslim di berbagai daerah tertindas.
Jadilah umat pertengahan, tidak terlalu ekstrem ke titik negatif tak hingga juga tidak terlalu ekstrem ke titik positif tak hingga. Tidak tahu bagaimana caranya? Belajarlah.
Penulis: Arif Rinaldi
Editor: Nauval Pally Taran